Tampilkan postingan dengan label #1minggu1cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #1minggu1cerita. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 September 2018

Siapa Berani jadi (C)PNS? (2)



Hi guys! (tolong dibaca ala vlogger Youtube)

Kalau kamu sampai ke halaman ini, gue anggap kamu sudah membaca tulisan gue sebelumnya, artinya kamu sudah meluruskan niat dan siap jadi PNS terbaik. Kalau belum, gue mohon untuk kamu untuk membaca dulu tulisan gue sebelum ini, supaya kamu tidak buang-buang energi ikut rekrutmen padahal nggak siap atau nggak suka dengan pekerjaan PNS itu sendiri.

Oke, sip! Let’s make it fast.

Berdasarkan pengalaman merasakan sendiri seleksi CPNS di Kementerian ESDM dan ngobrol dengan beberapa teman, gue ingin berbagi beberapa hal. Sekali lagi ini bukan informasi teknis, kalau yang teknis, silahkan baca di website atau media sosial kementerian/lembaga (K/L) yang kamu minati. Jangan males baca!

1. Seleksi CPNS dimulai dari seleksi administrasi. Sangat sederhana, kamu cuma harus unggah dokumen, submit dan tunggu pengumuman. Yang harus diunggah juga nggak ada yang aneh-aneh amat: Ijazah dan transkrip (nggak boleh surat keterangan lulus ya, harus ijazah asli), nilai TOEFL terbaru, surat pernyataan, dan lain sebagainya sesuai syarat K/L atau pemerintah daerah yang buka formasi. Kayaknya selagi dokumen yang kamu unggah sudah benar dan lengkap, dan sesuai dengan syarat administrasi, harusnya bisa lulus sih tahap ini. Gue nggak tau sih apakah ada faktor lain yang bisa bikin nggak lulus seleksi administrasi. Jadi yaa pastikan saja men-submit semua persyaratan setelah yakin benar dan lengkap. Seinget gue kalau udah submit nggak bisa di-cancel deh. Untuk menghindari faktor-faktor non teknis, sebaiknya juga jangan mepet-mepet amat submit-nya.

2. Kalau ada syarat administrasi yang kurang jelas, jangan sungkan untuk bertanya ke K/L tersebut. Mereka pasti punya call center. Dulu gue sempet ingin apply di Bappenas, tapi ada persyaratan yang kurang jelas, lalu gue coba WA nomor call center yang tertulis di pengumuman, dan mereka cukup fast response kok. Kalau ada yang nggak jelas, mendingan ditanya daripada berkesimpulan sendiri.

3. Kalau udah lulus tahap administrasi, maka kamu akan memasuki tahap seleksi Tes Kompetensi Dasar dengan sistem Computer Assisted Test (CAT). Nah menurut gue bagian paling susah dari tes CPNS adalah CAT ini, karena sistemnya efektif mengeliminasi banyak orang, hehehe. Kalau gue sih menyarankan kamu untuk belajar sebelum CAT, walaupuuun ada aja sih manusia-manusia beruntung yang lulus CAT tanpa belajar. Gue sendiri termasuk kelompok yang belajar sebelum CAT, karena dari dulu gue nggak pernah bisa cukup percaya diri untuk ikut ujian (apapun) tanpa belajar sama sekali. Buku-buku soal tes CPNS yang banyak dijual di toko buku itu membantu kok. Pilih buku yang ada rangkuman materinya, teruma untuk bagian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), jadi sambil ngerjain soal bisa sambil baca-baca materi. Rata-rata temen gue yang nggak lulus CAT itu gagal di bagian TWK, jadi mungkin butuh extra effort untuk belajar TWK. Senior gue di kantor pernah bilang, soal CAT itu tiap tahun sebenarnya berulang. Mungkin benar, tapi masalahnya kemungkinan soalnya itu ada banyaaaak bangeeet. Kalau gue nyaranin untuk belajar materi UUD 1945 termasuk amandemennya karena soal-soal kayak gitu sering banget keluar. Ohiya simulasi CAT di website BKN juga bisa dicoba tuh, cukup membantu.

4. Kalau tahun lalu (2017), yang lulus CAT itu sejumlah kebutuhan formasi dikali tiga. Jadi kalau formasi yang kamu inginkan itu butuh dua orang, maka yang lulus CAT paling banyak adalah 6 orang. Gue lihat di pengumuman CPNS ESDM, syarat tersebut masih sama (nggak tau kalau di K/L lain ya, tapi mungkin sama). Aturan ini membuat lulus saja tidak cukup tapi nilai kamu juga harus bisa setinggi-tingginya supaya masuk rangking. Saran gue adalah cari nilai sebanyak-banyaknya dari Tes Karakteristik Pribadi (TKP), karena menurut pengamatan gue merhatiin soal TKP di buku latihan soal, jawaban-jawaban TKP yang nilainya 5 itu ada cirinya. Coba kerjain soal-soal TKP di buku jadi bisa membayangkan tipe-tipe jawaban yang nilainya 5 supaya bisa dapat skor setinggi-tingginya. Sebisa mungkin raih nilai tinggi disini karena rada suram kalau ngarep nilai tinggi dari TWK, hehehe. TWK itu punya kemungkinan soal yang random dan banyak. Gue inget banget waktu itu dapat soal tentang UU Agraria, yang mana gue tidak tahu sama sekali jadi nebak deh jawabnya. Seleksi TKD itu memang tidak bisa menjaring kompetensi teknis kamu, jadi mau kamu punya kompetensi sebaik apapun, seleksi ini memang tidak akan bisa melihatnya karena (kayaknya) tujuan TKD memang bukan buat itu, tapi untuk mengeliminasi banyak orang melalui mekanisme yang fair menjadi beberapa orang terpilih yang untuk selanjutnya akan disaring berdasarkan kompetensi. 

5. Sabar. Ini nasihat umum tapi penting banget. Tes CPNS itu beda dengan saat kamu seleksi kerja di swasta. Tes ini diikuti lebih banyak orang. Namanya kegiatan yang melibatkan banyak orang, pasti ada banyak keinginan dan banyak hal yang harus diurus. Jadi ya sabar aja. Ikuti aja aturan mainnya. 

6. Jangan pernah berpikir untuk mainan duit supaya lolos seleksi. Kalau kamu masih kepikiran hal-hal kayak gitu, maka otak kamu perlu di upgrade karena udah ketinggalan zaman setidaknya 20 tahun. 

7. Kalau udah lulus SKD, maka selanjutnya adalah SKB. Di sini gue tidak punya tips khusus selain jaga kesehatan, jaga kewarasan dan banyak-banyak berdoa. Pokoknya ikutin aja aturannya dan lalukan yang terbaik. Inget, prinsip “let God do the rest” itu baru berlaku kalau kamu udah “do your best”.

Okee, semoga bermanfaat. Silahkan jika ada yang ingin ditanyakan, semoga gue punya jawaban, hihi.
Untuk kita semua yang lagi mengusahakan apapun itu dalam hidup kita, semoga Allah meridhoi usaha kita.  Stay positive guuuys!


Salam,
Venessa Allia

Sabtu, 21 Juli 2018

Cerpen Ketiga: Kisah Pak Sopir


Kisah Pak Sopir

             “Halo Teh Navia, rumahnya yang warna kuning, kan? Saya sudah di depan rumah ya,” suara sopir taksi online terdengar di telepon. Via pun memintanya menunggu. Dia segera mengambil sepatu coklat tanpa hak di gudang lalu memakainya, membuka kembali shoulder bag miliknya untuk memastikan bahwa barang-barang penting sudah dibawa semuanya: dompet, ponsel, power bank, kotak bedak, pembalut, tisu, kunci rumah dan minyak wangi. Via yakin tidak ada barang yang tertinggal, dia siap berangkat.
            “Bun, Via berangkat sekarang ya, Via bawa kunci kok jadi nanti Ibun bobo aja nggak usah nunggu Via pulang,” kata Via menghampiri ibundanya yang sedang membaca majalah di ruang tengah untuk berpamitan.
            “Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Nak,” ucap Ibun sambil menutup majalah di tangan. Dilihatnya anak gadis semata wayangnya yang sudah tumbuh dewasa, parasnya persis seperti saat ia muda. Kulitnya putih, rambutnya ikal sebahu dan matanya yang terkesan galak, bedanya Via jauh lebih modis dibandingkan dia dulu.
            “Konsernya sih baru selesai jam 9, Bun. Habis itu Via langsung pulang kok dianterin Dewi. Tenang aja. Via jalan sekarang ya, udah ditungguin sopir taksi tuh,” Via menyalami tangan ibunya dengan agak terburu-buru.
            “Yaudah hati-hati, kamu bawa mukena kan? Botol minum bawa nggak?” kata Ibu sambil menegakan posisi duduk, “Itu ada roti di meja dibawa saja biar nanti kalau lapar waktu nonton konser Tulus kamu bisa isi perut, bawa yaa rotinya,” Ibu menunjuk meja di tengah ruangan yang diatasnya terdapat beberapa potong roti isi dan kue kering dalam toples.
            “Via kan lagi ‘dapet’, Bun, jadi nggak sholat. Minuman sama makanannya nanti beli aja deh di sana, berat bawanya. Dadaah Ibun. Assalamualaikum,” respon Via singkat lalu melangkah keluar rumah.
            “Kamu jangan lupa makan malam ya, Vi. Cari makannya juga yang bersih. Waalaikumsalam,” jawab Ibun sambil tetap mengingatkan Via soal isi perut. Via mendengarkan instruksi dari ibunya namun tidak menjawab, dalam hatinya dia bergumam,
            “Ckckck, Ibun..Ibun.. Via kan udah 20 tahun, masih aja ngingetin soal makan tiap Via mau pergi. Nasib anak bungsu, nggak pernah lepas dari wejangan nyokap.”     
            Via masuk ke dalam mobil sedan hitam yang menjadi kendaraannya sore ini menuju sebuah gedung pertunjukan di daerah Bandung Utara dimana Tulus, penyanyi muda favorit Via, mengadakan konser mini malam ini. Dia berjanji bertemu Dewi dan dua teman lainnya di sana. Sopir taksi ini ialah seorang bapak berusia sekitar 40 tahun. Penampilannya cukup rapi dengan kaos berkerah warna hijau dan celana jeans. Via duduk di kursi depan supaya tidak terlihat seperti penumpang karena saat ini keberadaan taksi online masih kontroversi sehingga sebaiknya tidak menimbulkan kesan bahwa mobil sedan yang dinaikinya adalah taksi online. Bapak sopir menyapa Via ramah.
            “Selamat sore Teh Navia, kita ke Jalan Tamansari ya, Teh? Kita jalan sekarang yaa,” sapa Pak Sopir sambil memindahkan persneling mobil. Mobil pun melaju menjauhi rumah Via. Jalanan komplek mulai ramai oleh anak-anak yang berangkat mengaji ke masjid.
            “Kalau bisa agak cepat ya pak nyetirnya. Saya ada janji jam 18.30,” kata Via sambil mengamati interior di dalam mobil yang masih terlihat baru. Mobil yang dinaikinya ini nampaknya belum lama keluar dari showroom.
            “Baik Teh, saya usahakan, semoga jalanan tidak terlalu macet, tapi jam segini biasanya macet sih Teh,” respon Pak Sopir sambil melirik ke ponsel di dekatnya, “Saya keluar komplek lewat jalan belakang saja ya, Teh. Kalau lewat depan lebih macet.”
Waktu menunjukan pukul 17.30. Ekspresi Pak Sopir agak serius. Dalam hatinya, sebenarnya ia tidak yakin bisa sampai tempat tujuan dalam waktu satu jam karena lalu lintas Bandung seharian ini padat di mana-mana. Apalagi sekarang malam minggu sehingga banyak orang menghabiskan waktu di luar rumah. Untungnya dia sudah beberapa kali menjemput penumpang di komplek ini sehingga dia tahu jalan terdekat menuju jalan utama. Lima belas menit waktu berlalu. Sejauh ini mobil masih melaju walau kecepatannya tidak bisa lebih dari tiga puluh kilometer per jam karena padatnya jalan raya. Setidaknya tidak berhenti total, begitu pikir Pak Sopir. Sementara itu, Via tenggelam dalam berbagai aplikasi di ponselnya, tidak berbicara atau memperhatikan jalanan yang dilaluinya.
            Mobil akhirnya sampai pada titik kemacetan. Lampu lalu lintas yang seharusnya mengatur arus kendaraan di sebuah perempatan saat ini sedang tidak berfungsi. Beberapa pengemudi mobil yang tidak sabar menyalip antrian mengakibatkan kemacetan menjadi semakin parah. Bunyi klakson mobil riuh membuat jalan raya semakin bising. Kalau sudah begini yang paling diuntungkan adalah pedagang asongan yang jadi ramai pembeli. Pedagang asongan hilir mudik melewati jendela Via, menawarkan air mineral, tisu atau sebungkus permen. Begitu juga pedagang majalah. Via tidak memperdulikan tawaran mereka, berulang kali dia melihat jam di ponselnya, sudah pukul 18.10 dan posisinya masih jauh dari tempat tujuan, nampaknya dia akan terlambat. Keresahan Via tertangkap oleh Pak Sopir.
            “Duh maaf ya Teh, kayaknya nggak keburu sampai sana jam 18.30. Ini saya sudah memilih jalur yang paling cepat, tapi tetap saja kena macet,” Pak Sopir merasa tidak enak, “Ada janji penting ya Teh?” tanya Pak Sopir sambil terus fokus mengamati jalan raya.
            “Emmm mau nonton konser aja sih, Pak. Sayang aja kalau sudah bayar tiket tapi nggak bisa nonton pertunjukannya dari awal,” jelas Via sambil masih tenggelam dalam ponselnya. Dia baru saja mengabari Dewi bahwa dia tidak bisa sampai tujuan tepat waktu.
            “Hoooo, memang mahal banget ya Teh harga tiketnya?” Pak sopir mulai KEPO: Knowing Every Particular Object. Kedua alisnya terangkat dan matanya membesar, wajahnya antusias ingin tahu.
“Nggak juga sih Pak, cuma tiga ratus ribu aja,” jawab Via, datar cendrung ketus. Sekilas ia menoleh ke Pak Sopir yang nampak terkejut mendengar jawaban Via.
“Walah! Tiga ratus ribu mah mahal Teh, uang segitu bisa untuk bayar uang sekolah anak saya di Solo,” seru Pak Sopir, suaranya meninggi tanda ia terkejut.
Via sedikit terusik mendengar respon dari Pak Sopir. Dia lantas berpikir bahwa uang tiga ratus ribu nampaknya sangat berharga bagi bapak ini, sementara dirinya baru saja menghabiskan uang dalam jumlah yang sama untuk berbelanja di sebuah layanan fashion e-commerce ternama. Itulah mengapa sedari tadi Via asik dengan ponselnya sendiri, dia sibuk memilih-milih sepatu dan aksesoris. Tidak terlalu suka membahas soal uang, Via pun mengalihkan pembicaraan. Sementara itu mobil masih terjebak di tengah kemacetan. Hari sudah mulai gelap dan dibuat semakin ramai oleh klakson-klakson yang bersahutan. Klakson mobil angkot maupun mobil pribadi sama berisiknya sedari tadi.
“Oh, anak bapak tinggal di Solo?” tanya Via tanpa bermaksud benar-benar ingin tahu. Ponselnya kini telah ia masukan kembali ke dalam tas. Ekspresinya sekarang lebih santai dengan senyum tipis di bibirnya yang juga tipis. Dewi baru saja mengabarinya bahwa dia juga akan datang terlambat karena masih terjebak macet akibat proyek perbaikan jalan.
“Iya, anak saya masih SMP di Solo, tinggal dengan ibu saya,” kata Pak Sopir sambil tetap sigap di tengah kemacetan. Dia tidak membiarkan ada mobil lain menyalip jalannya. Di luar sana, beberapa polisi lalu lintas terlihat berusaha mengurai kemacetan.
“Hooo.. jadi Bapak di Bandung dengan istri bapak?” Kali ini giliran Via yang KEPO. Badannya terarah menghadap Pak Sopir, menunjukan ia mulai antusias dengan pembicaraan ini.
“Oh nggak Teh, istri saya sudah meninggal sekitar enam bulan yang lalu. Saya ini baru tiga bulan tinggal di Bandung, baru tiga bulan juga bawa taksi online. Ini juga bukan mobil saya sendiri, Teh, ini mobil saudara saya yang berbaik hati menolong,” Pak Sopir menjawab pertayaan Via lebih dari yang Via tanyakan. Via jadi merasa tidak enak sudah menyinggung soal istrinya.
“Oh maaf Pak. Saya turut berduka cita,” kata Via berusaha terdengar tulus.
“Nggak apa-apa Teh, kalau sekarang saya sudah bisa menerima. Walaupun saat itu saya akui sangat berat, satu bulan setelah istri saya meninggal, bisnis saya bangkrut karena saya ditipu oleh teman sendiri. Panjang ceritanya,” Pak sopir diam sejenak lalu menarik napas, “Tapi saya bersyukur Tuhan masih baik sama saya, saya masih punya saudara yang cukup berada dan baik hati. Saudara saya itu membeli mobil baru untuk dijadikan taksi online, kemudian menawarkan saya untuk menjadi sopirnya. Yasudah karena butuh pekerjaan untuk menghidupi anak dan ibu saya, ya saya terima tawarannya. Jadilah saya pindah ke Bandung.” Pak sopir bercerita panjang lebar. Suaranya tetap tenang tanpa tersirat adanya kesan kesedihan atau penyesalan atas apa yang terjadi di hidupnya. Sayangnya, Via belum dapat mengerti, matanya mengerung heran.
“Istri Bapak meninggal, bisnis Bapak bangkrut, lalu Bapak harus tinggal jauh dari anak untuk mencari nafkah. Saya nggak ngerti kok tadi Bapak masih bisa bilang soal bersyukur ya Pak?” Kali ini Via betul-betul ingin tahu. Kepalanya menoleh memperhatikan Pak Sopir yang seketika tersenyum lebar.
“Sederhana saja Teh, saya tahu kalau Tuhan mau memberikan saya cobaan yang lebih berat dari ini, Dia bisa melakukannya, tapi Tuhan masih baik sama saya, cobaan untuk saya sudah ditakar sesuai kemampuan saya, dan saya masih diberikan pertolongan. Masa iya saya masih nggak bisa bersyukur?” Pak Sopir menjelaskan dengan santai, sambil sedikit melirik ke arah Via yang kini resah dalam duduknya. Penjelasan Pak Sopir membuat Via tiba-tiba saja merasa…salah.
Pak Sopir berhasil membawa mobilnya ke barisan paling depan antrian lampu merah yang tidak berfungsi. Petugas kepolisian terlihat memberikan instruksi jalur mana yang boleh jalan terlebih dahulu dan mana yang harus berhenti. Pak Sopir memperhatikan aplikasi peta di ponselnya, jalan raya setelah perempatan ini kelihatannya cukup lancar.
Via masih sibuk memikirkan kalimat Pak Sopir barusan tentang mensyukuri kehidupan. Wajahnya menegang tanda dia serius berpikir. Hatinya tiba-tiba merasa tak nyaman mengingat apa yang selama ini dia lakukan. Hidupnya sangat nyaman karena setiap bulan orang tua Via memberikan uang jajan dan sering memanjakan dirinya. Dia tidak pernah merasakan kepahitan seperti yang Pak Sopir alami. Tapi mengapa dia tidak pernah merasa cukup? Selalu ada saja yang kurang hingga harus dilengkapi, seperti beberapa saat yang lalu dia membeli sepatu baru karena merasa sepatu yang dipakainya sudah tidak nyaman, padahal dia masih punya belasan pasang sepatu lain di rumah. Juga selalu ada saja yang salah sehingga harus dikeluhkan, sebagaimana beberapa menit yang lalu Via mengeluhkan kemacetan Kota Bandung kepada Dewi di WhatsApp, padahal saat itu dia masih dapat duduk manis menikmati kemacetan tanpa harus berdesakan di dalam angkot atau harus menghirup asap kendaraan seperti nasib para pengemudi sepeda motor. Via juga jadi teringat Ibun di rumah, betapa Via selalu sibuk sendiri dan sering merasa sudah dewasa sehingga dia tidak menghargai perhatian yang ibundanya berikan. Tiba-tiba saja mata Via terasa perih seperti ingin menangis, namun ia berusaha menguasai diri.
Via menengok bapak sopir yang duduk di sampingnya, belum ada satu jam dia berjumpa dengan bapak ini, tapi dia merasa sudah mendapatkan suatu pelajaran berharga. Ada ratusan taksi online di Bandung, mengapa harus Pak Sopir ini yang menjemput Via? Pemilik semesta pasti ingin Via belajar dari kisah Pak Sopir. Via membuka aplikasi taksi online di ponselnya, dicarinya nama sopir yang sedang mengantarnya, ternyata nama Pak Sopir ini adalah Hendra. Tiba-tiba saja Via terpikir sebuah ide brilian.
“Pak, anak bapak di Solo, laki-laki atau perempuan?” tanya Via sambil tersenyum melihat ke arah Pak Hendra. Kali ini dia tersenyum lebar.
 “Perempuan Mbak, usianya 14 tahun,” jawab Pak Hendra sambil menekan pedal gas mobil. Akhirnya mobil mereka berhasil lepas dari kemacetan. Pak Hendra melirik jam di mobilnya. Kalau proyeksi kepadatan jalan di peta ini benar, seharusnya pukul 18.45 penumpangnya dapat tiba di tujuan.
Sementara itu Via menyimpan nomor telepon yang tadi digunakan Pak Hendra untuk meneleponnya. Anak Pak Hendra perempuan, sangat sempurna untuk rencananya. Via punya ide, nampaknya aksesoris yang baru saja dia beli secara online akan lebih baik jika dimiliki oleh putri Pak Hendra. Aksesoris milik Via sudah banyak sekali tersimpan di laci meja, dia tidak butuh lebih dari itu. Nanti jika barang yang dia pesan sudah datang, dia akan segera menghubungi Pak Hendra dan mengatakan maksudnya. Rasanya senang sekali memiliki rencana baik.
Via menghirup napas panjang. Tiba-tiba saja dia menyukai harum stroberi yang berasal dari pewangi mobil. Hampir satu jam dia berada di dalam mobil tapi baru sekarang dia dapat menikmati wangi ini.
“Ketika hati sudah memilih untuk bersyukur, maka rasakanlah ada banyak nikmat yang sebelumnya tidak kau rasakan.” Kalimat itu terlintas begitu saja dalam benak Via.

------
Salam,
Venessa
P.S: kalau hari ini nggak post tulisan di blog, besok bisa di kick dari grup #1minggu1cerita. Ahahaha. Syukurlah masih ada stok cerpen di laptop yang belum pernah di publikasikan. Saya share disini saja yaaa. Stay positive, people!

Sabtu, 09 Juni 2018

TANGGUH

Tulisan ini bukan tentang lapangan LNG  British Petroleum nun jauh di Papua sana. Tulisan ini ingin bicara soal kekuatan tekad bocah 8 tahun yang terlihat benar menikmati kondisi hidupnya. Padahal apa yang dia hadapi tidak mudah. Anak kelas 2 SD ini setiap hari berangkat sekolah dari rumahnya di Parung Panjang menuju sekolahnya di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Setiap hari dia berjalan kaki menuju stasiun Parung Panjang, lalu naik commuter line hingga stasiun Tanah Abang, kemudian lanjut jalan kaki lagi menuju sekolah. Pulang ke rumah dia lakukan dengan cara yang sama. Sudah pernah dengar ceritanya? Belakangan ternyata anak ini viral sekali, cuma saya aja yang basi hingga baru tau kisah anak ini kira-kira dua jam yang lalu. Yeah, nama anak ini Alviansyah, atau akrab disapa Alpin.

Saya tahu Alpin bukan satu-satunya anak Indonesia yang harus begitu kerasnya berjuang untuk bisa sampai ke sekolah. Sayangnya masih banyak anak Indonesia yang nasibnya sebelas dua belas dengan Alpin. Tapi kisah Alpin rasanya kena banget di hati saya. Simply, karena saya hampir setiap hari juga naik kereta kayak Alpin. Jalur kereta yang sama, hanya naik di stasiun yang berbeda saja. Tapi bukan itu perbedaan paling signifikan diantara kami. 

Perbedaan terbesar diantara kami adalah, saya mengeluh, Alpin tidak.
Padahal, saya naik mobil dari rumah ke stasiun Rawabuntu, Alpin jalan kaki ke stasiun
Padahal, saya naik Trans Jakarta/taksi/ojek dari stasiun Tanah Abang ke kantor. Alpin jalan kaki ke sekolah.
Padahal, saya naik mobil dari stasiun Rawabuntu kembali ke rumah. Alpin masih jalan kaki.
Sekali lagi pernyataan ini ingin saya ulang: saya mengeluh, Alpin tidak. 
Saya ulang bukan karena saya bangga dengan kondisi yang ada, tapi saya harus mengingatkan diri sendiri bahwa saya itu nggak ada pantes-pantesnya deh ngeluh. 

Anak ini usianya 21 tahun lebih muda dari saya, tapi mentalnya sepuluh juta kali lebih kuat. Orang lain boleh bilang hal itu terjadi karena kondisi ekonomi keluarga Alpin yang susah sehingga memaksanya tumbuh menjadi anak yang tangguh. Tapi menurut saya itu pendapat yang salah, karena Alpin pun punya pilihan untuk menyerah dan tidak sekolah, sebagaimana banyak manusia dewasa lainnya yang menyerah pada keadaan yang sulit. Namun, Alpin tidak mengambil pilihan itu. Dia tetap sekolah di Jakarta, betapa pun jauhnya, betapa pun sangarnya roker (rombongan kereta) berdesakan, betapa pun padatnya stasiun. Anak ini berani, seakan tidak peduli pada hambatan yang dijumpai, fokus sama tujuannya: MAU SEKOLAH.

Saya tersentuh sekali waktu tadi nonton Hitam Putih, melihat wawancara Deddy Corbuzier dengan Alpin dan Caroline Ferry, wanita yang sudah sangat berjasa memviralkan berita ini sehingga dunia bisa tahu ada anak tangguh seperti Alpin. Singkat cerita, dari wawancara itu saya tahu bahwa:

1. Alpin  sekolah di Jakarta karena di kota ini dia bisa sekolah gratis pakai Kartu Jakarta Pintar, sementara kalau sekolah di Parung Panjang dia harus bayar buku. Hal ini menunjukan betapa powerful kebijakan KJP, dan kalau pemerintah Kabupaten Bogor atau dinas pendidikan setempat mendengar berita ini, mestinya jadi tamparan keras untuk berbenah supaya bisa punya sistem semacam KJP atau yang lebih baik lagi, simply supaya jangan sampai ada lagi anak yang mau sekolah gratis aja mesti jauh-jauh ke Jakarta.

2. Alpin ke sekolah cuma dikasih ongkos sama ibunya, kalau pun dikasih jajan biasanya Alpin tolak karena katanya mending buat ibu aja beli beras. Ayah Alpin bekerja sebagai sopir proyekan, tidak selalu pulang ke rumah. Alpin juga masih punya dua orang adik. Alpin bilang ke ibunya kalau dia bisa makan di sekolah karena teman-temanya baik. Seketika saya terharu dengernya. Lagi-lagi cerita ini mengingatkan saya pada nilai relatifitas uang, selembar uang dua puluh ribu bagi ibunya Alpin adalah uang makan sehari untuk sekeluarga. Untuk saya selembar dua puluh ribu bisa hanya berarti segelas kopi yang habis dalam hitungan menit. Nilai ekonomi uangnya sama-sama dua puluh ribu rupiah, tapi nilai urgensi kebermanfaatannya bisa sangat berbeda. Kisah ini juga mengingatkan saya bahwa dalam setiap keberlimpahan yang Tuhan berikan pada seseorang, ingatlah bahwa ada hak orang lain di dalamnya, jadi jangan "dimakan" sendirian.

3. Alpin, walaupun udah capek jalan kaki, tapi kalau di kereta dia masih mau kasih duduk untuk orang lain. Rombongan commuter line sejagat raya dimana pun berada harus belajar dari anak ini. Ini anak punya lebih dari cukup alasan untuk merasa lelah dan nggak mau berbagi tempat duduk, tapi dia masih mau loooh ngasih duduk buat orang lain. Orang dewasa harus ekstra belajar soal empati dengan anak ini. Naik kereta itu nggak perlu norak dorong-dorongan hanya untuk dapat tempat duduk, kalem ajeeeeee (pernyataan terakhir adalah curahan hati saya terdalam).

Saya dapat banyak refleksi dari ketangguhan dan ketulusan Alpin. Semoga kamu jadi orang besar ya, dek. Kamu punya modal ketangguhan yang akan jadi kekuatan sangat berharga, baik di saat ini maupun di masa depanmu nanti. Kamu bilang ingin jadi masinis, kan? Kita memang belum pernah bertemu, oh atau bisa jadi kita pernah satu gerbong, atau berpapasan di stasiun, tapi salah saya yang terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak peduli dengan anak belia seperti kamu yang mungkin sedang berjalan atau duduk sendiri. Saya doakan kamu menjadi masinis terbaik yang pernah ada di negeri ini, atau karena kamu setiap hari naik kereta, kamu cocok deh jadi Dirut PT KAI di masa depan. Jangan takut, dek, ketangguhanmu dalam berusaha akan mengundang bantuan terbaik dari Tuhan kita. Sudah terbukti, kan? Kegigihan kamu menggerakan hati manusia lain untuk membantu kamu dan keluarga.

Kabar terakhir, dibantu oleh sebuah yayasan, Alpin dan keluarga saat ini sudah pindah rumah ke Rusun Benhil, dekat sekolah Alpin. Yayasan tersebut juga akan membantu biaya sekolah kakak Alpin yang sempat putus sekolah, juga memberikan sepeda motor untuk ayah Alpin supaya bisa jadi pengemudi ojek online.

Yeah, ketangguhan Alpin dan kepedulian seorang Caroline Ferry, jadi jalan kebaikan untuk satu keluarga Alpin, juga jadi cahaya inspirasi untuk banyak sekali orang, termasuk saya.
Semoga kamu juga terinspirasi dari kisah ini. Stay positive ya.


Salam,
Venessa Allia

Sabtu, 12 Mei 2018

He Was In Town


He was in town. 
Here, in Jakarta.
Who?
USTAD NOUMAN ALI KHAAAAAN!!!

Ini screenshot dari akun Instagram Mario Irwinsyah, saya lihat beliau dari lantai 2, nggak sedekat ini, hehehe


Jujur se-jujur-jujurnya, rasanya ini kali pertama saya beneran excited datang kajian (Ya Allah maafin). Biasanya mah excited kalau mau nonton film atau konser, ini saya excited ke Masjid Istiqlal buat denger kuliah beliau (lumayanlah yaa, alhamdulillah ada kemajuan dikit). Dan rasanya ini kali pertama saya mengidolakan seorang ustad, sampai-sampai kemarin saya lihat beliau dari lantai 2 masjid yang segede gaban itu aja rasanya kena starstruck (hahaaa lebay). Tapi beneran deh, doa terbaik untuk beliau, semoga amal jariyah terus mengalir untuk beliau. Karena dengan izin Allah, saya yakin sekali ada banyak orang yang tergugah hatinya mengetahui keindahan Al-Quran. Bagi saya pribadi, setelah mendengar kuliah beliau, sekali lagi atas izin Allah, saya jadi sadar tentang hubungan saya dengan Al-Quran yang ternyata terlalu “seadanya”. Heff..istigfar banyak-banyak.

Kuliah Ustad Nouman yang selama ini saya dengar, selalu membahas soal Al Quran, begitupun kuliahnya kemarin, topiknya tentang “Reconnect With Al Quran”. Begini, sebelumnya saya mau menjelaskan dulu, apa yang akan saya tulis dibawah ini semata-mata karena 2 hal:
1. Saya merasa mendapat manfaat dari kuliah Ustad NAK kemarin
2. Kata Ustad “If you got benefit, you have to share it”.

Apa yang akan saya tulis adalah gabungan dari apa yang saya pahami dari kuliah beliau kemarin dan ditambah dengan refleksi yang saya dapat. Jadi mohon maaf sebelumnya, tidak sedikitpun bermaksud menggurui apalagi sok suci karena ampun deh ilmu agama saya juga masih cetek bangeeeet. Tapi saya pun yakin, setiap orang yang diberikan kemewahan ilmu maka dia punya kewajiban juga untuk berbagi, maka bismillah, tulisan ini adalah sarana saya membayar hutang tersebut. Selain itu, setiap orang yang menyaksikan kuliah beliau bisa mendapatkan insight yang berbeda-beda. Sederhana saja, itu semua terserah Allah yang punya ilmu, ilmu atau pemahaman mana yang mau Allah kasih ke hambanya J. Jadi bagi siapa saja yang juga datang ke kuliah beliau kemarin lalu membaca tulisan ini, sangat dipersilahkan untuk melengkapi atau memperbaiki informasi pada tulisan ini. Semoga jadi kebaikan untuk kita semua yaaa, Aammiin.   

Ketika kuliah sudah selesai, dosen sudah pergi tapi mahasiswa masih pengen nongkrong.
Anyway, saya pertama kali ke Istiqlal. Gede yaaa mesjidnyaa #anaknorak


Reconnect With Al-Quran. Yuk terhubung KEMBALI dengan Al-Quran

Saya ingin sekali menuliskan isi kajian Ustad Nouman Ali Khan (NAK) kemarin dengan runut sehingga semua yang ditakdirkan membaca tulisan ini juga dapat memahami kajian beliau dengan logika yang tepat. Tapi ternyata saya kesulitan menuliskannya :D. Jadi, saya merangkum dalam beberapa poin saja yaa. Ini adalah isi kajian Ustad Nouman yang paling bikin saya amazed:

1. Manusia membaca, mendengar, bahkan menghafal Al Quran, namun apakah hatinya sudah terhubungan dengan Quran? THIS IS A HUGEEE QUESTION. Makna reconnect with Al-Quran adalah mengembalikan koneksi hati dengan Quran, karena Al-Quran itu ya untuk hati manusia. Bingung gak? Pertama kali saya mendengarnya juga rasanya abstrak dan terbayang akan sulit. Dan benar saja, Ustad NAK bilang, menjaga koneksi hati dengan Quran itu bukan perkara mudah, melainkan menjadi masalah bagi semua manusia, dari mulai yang nggak bisa baca Quran sama sekali sampai seorang penghafal Quran sekalipun. Itulah mengapa manusia harus selalu berusaha untuk terhubung dengan Al-Quran. Usahanya harus terus menerus diulang supaya selalu ingat dengan Al-Quran dan terus terhubung. Sejujurnya, selama ini kayaknya saya nggak pernah memikirkan soal seberapa kuat koneksi saya dengan Al-Quran. Ya, saya ngaji, berusaha tilawah setiap hari walau masih suka bolong-bolong, berusaha baca terjemahannya juga walau masih suka sambil ngantuk, tapi selama ini nampaknya saya lupa bahwa seluruh aktifitas tersebut seharusnya dilakukan dengan kesadaran dan excitement, bukan sekedar menunaikan kewajiban karena yang saya baca itu adalah kalam Allah. 

Dalam pemahaman saya, kalau manusia sudah terkoneksi dengan Al-Quran maka manusia akan dapat menjalani kehidupannya dengan taat tanpa memilih dan memilah, atau lebih tepatnya lagi dengan ketakwaaan. Kenapa takwa harus saya jadikan target? Karena saya ingin masuk surga, untuk itu koneksi hati saya dengan Al-Quran harus terus menerus saya perjuangkan.

Kata Ustad NAK, semakin kita terkoneksi dengan Quran, maka kita akan semakin mudah mengambil keputusan yang baik (di mata Allah). Ini masuk akal banget sih, kalau udah terkoneksi dengan Al Quran, ya udah nggak ada lagi aturan lain yang berlaku di kehidupan selain Al Quran itu sendiri serta hadis. Bahkan Nabi Ibrahim aja pernah berdoa “Give me the strength to make good decision”. Masya Allah. Al-Quran juga cahaya bagi kehidupan manusia, dan manusia membutuhkan cahaya itu sepanjang hidupnya, bukan sekali dua kali doang. Hidup manusia akan gelap tanpa Quran.

2. Pernah nggak bener-bener mikirin Quran itu datangnya dari mana atau dari siapa? Saya sendiri juga suka nggak sadar kalau Al-Quran itu kalam Tuhan. Dan kalau lagi inget, rasanya merinding T_T. Al-Quran itu datang dari Allah Ar Rahman, dari Allah yang paling cinta sama kita.

Kalimat Ustad NAK ini beneran bikin saya merinding “Someone who loves you, who wrote to you.” 

Itulah sebabnya semakin kita terkoneksi dengan Quran, semakin juga Allah akan sayang sama kita. Terlebih lagi, Quran juga merupakan nasihat dan petunjuk yang datangnya dari Tuhan. Manusia biasanya nyari nasihat dari manusia lain yang dia percaya kan? Nah ini nasihat datangnya dari Allah yang paling tahu kita dan paling cinta sama kita, kurang apa lagi? Subhanallah. Petunjuk dari Quran juga datang dari Allah yang MAHA TAHU dan lagi-lagi PALING SAYANG SAMA MANUSIA, makanya udah seharusnya manusia itu nurut kalau dibilangin “do this, and don’t do that”. Satu lagi tentang Quran yang paling bikin adem untuk saya yang suka galau, Al-Quran juga selayaknya obat yang menyembuhkan (healing), melegakan semua perasaan negatif yang suka bikin sesak dada (perasaan sedih, marah, kekhawatiran, ketakutan, sebuuuut negative feeling lainnya). Koneksi hati dengan Al-Quran akan menyembuhkan.

3. Ketika kita punya koneksi dengan Al-Quran, kita akan sadar bahwa sesungguhnya Al-Quran itu bicara tentang kita.
“Quran is talking about YOU. It is not talking about Adam a.s, Isa a.s, or anyone else, BUT YOU. The Quran has story about YOU”. 

Subhanallah. Semakin kita terkoneksi dengan Quran, kita akan semakin sadar bahwa Quran itu tentang kitaaaa. Quran itu punya cerita buat kitaaaa. Bahkan ayat Alif-Lam-Mim yang selama ini kita nggak tau apa artinya aja punya makna untuk manusia, bahwa Allah-lah yang punya hak prerogatif untuk memutuskan apa yang bisa kita pahami dan apa yang tidak bisa. Ustad NAK mengucap sebuah doa yang bagi saya pribadi sangat penting biar nggak pusing sama dunia “God, teach me what I need to know, don’t make me obsessed with all that I dont need to know.” Yakinlah selalu bahwa Allah itu terhubung dengan kita

4. Quran dan doa adalah bentuk komunikasi dua arah. 
Quran = Allah speaks to you. 
Doa = You speak (connect) to Allah
Masya Allah. Menurut saya ini indah banget. Al-Quran pun isinya penuh dengan doa. Surat Al-Fatihah saja contohnya, surat yang minimal seorang Muslim baca 5x sehari juga isinya adalah doa. 

5. Nah poin yang ini, adalah pesan dari Ustad NAK bahwa jangan punya koneksi dengan Quran sendirian, tapi bagi-bagi karena bisa jadi koneksi orang lain dengan Quran itu terjadi karena kamu :). Beliau juga memberikan penekanan soal pelajarilah Al-Quran untuk diri sendiri karena pada intinya Al-Quran bicara tentang diri kita, dan ketika kita mendapatkan pengalaman baik karena koneksi yang kita rasakan, berbagilah dengan yang lain. Share something beautiful with people around you. Jadi bukannya malah menjadikan Quran sebagai sarana menyakiti orang lain (Ustad dengan sangat tegas bilang “Don’t hurt other people with Allah’s word”). Karena Allah aja Ar-Rahman. Mengutip kata-kata Ustad Nouman,

“Quran should bring mercy to people. Because of Quran you should be full of happiness, optimistic, overjoy, and positive. This Quran, is better than anything you collect in your life. Collect Quran in your heart.”

Bagian terakhir dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan cara dari Ustad Nouman untuk meningkatkan level koneksi dengan Quran: dengar atau baca bagian tertentu dari Quran, dengarkan penjelasannya, ulang-ulang ayat tersebut setiap hari sehingga kita merasa terkoneksi dengan ayat tersebut (saya membayangkan analoginya seperti kalau kita lagi ngulang-ngulang nyanyiin bagian chorus dari sebuah lagu yang sering kita dengar, lama-lama lirik lagu itu jadi kepikiran terus). Yang penting setiap hari kita terkoneksi dengan ayat-ayat Quran, nggak perlu semuanya (saya nggak sanggup juga kayaknya, hehehe). Nah, setiap hari, coba tambah sedikit demi sedikit ayat yang kita baca dan tadaburi, Insya Allah koneksi kita dengan Quran akan semakin kuat.


Okeee itu saja yang bisa saya ceritakan. Kita doakan semoga in the near future Ustad Nouman Ali Khan bisa datang lagi ke Indonesia, atau kita dikasih jalan sama Allah untuk datang ke kajian Ustad NAK di belahan lain dunia ini. Sekali lagi apa yang saya tulis adalah apa yang saya pahami, tanpa bermaksud menggurui, hanya ingin berbagi dan semoga ada manfaatnya J

“Ushikum wa nafsiy bitaqwallah, aku menasehati kamu semua dan diriku sendiri untuk bertakwa kepada Allah.”

Stay positive yaaaa.


Salam,
Venessa Allia

P.S tulisan ini juga sebagai setoran #1minggu1cerita yang minggu ini punya topik soal “kembali”. Yuk kita kembalikan hati ke Quran :)
(bisa kan aku sambung-sambungin biar nyambung sama tema, mihihi)

Rabu, 07 Maret 2018

Nonton TV, eh Nonton Youtube


Selamat malam!

Apa kabar dunia di luar wisma PPSDM Aparatur, Cisitu Lama, Bandung, tempat saya menulis tulisan hari ini? #lebaywoy

Malam ini suasana hati saya lagi enak banget. Hari ini saya banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang punya selera humor yang sama (sama recehnya :D), keresahan yang sama, pemikiran yang mirip dan tugas diklat yang sama juga, hihihi. Ya intinya, saya bersyukur berada di lingkungan yang membuat saya nyaman. Buat saya itu penting :).

Sekarang udah jam 10 malam dan seharusnya saya tidur karena besok harus bangun jam 4 pagi, tapi tadi pagi udah niat pengen nulis demi ikrar #1minggu1cerita (ini grup memang efektif deh bikin saya konsisten menulis). Minggu ini #1m1c punya topik yaitu perubahan. Kemarin sempat kepikiran ingin nulis soal jilbab, karena keputusan berjilbab adalah sebuah keputusan yang menuntut saya berubah total. Yaa dari yang sebelumnya kemana-mana ngeliatin rambut, sekarang rambutnya harus ditutup, perubahan besar kan? Tapi niat itu saya urungkan, karena saya ingin menulis sesuatu yang lebih ringan. Nanti deh kalau waktu dan suasana hatinya lagi tepat, saya cerita apa yang dulu saya pikirkan hingga saya mau berjilbab.

Nah, tadi pagi saya nemu topik lain berkaitan dengan perubahan. Topik yang lebih ringan (atau receh ya?!). Berawal dari ritual leyeh-leyeh in the morning, sambil nungguin Yovita (temen sekamar) mandi, saya nonton NebengBoy, channel-nya Boy William, di Youtube, and you know what? I really enjoyed it!!! 

Terus apa hubungannya sama perubahan?

Saya cuma mau bilang: Dunia berubah cuuuuy, TV udah nggak laku kagi, banyak orang cari hiburan di Youtube !!!

Oke revisi dikit,
TV masih laku tapi untuk kelompok manusia tertentu, dan asumsi saya jumlahnya tidak sebanyak dulu (karena nggak punya data, jadi bilangnya asumsi). Kayaknya kelompok orang yang udah bersahabat banget dengan handphone, internet dan YouTube sudah jauh dengan dunia televisi. Malah jadi stasiun TV yang ikut menyesuaikan diri, mereka tidak hanya membuat tayangan di TV, tapi juga punya channel di YouTube.

Untuk saya pribadi, saat ini acara TV yang saya tonton secara rutin cuma satu: Indonesian Idol, hahaha. Tadi pagi juga bisa nonton NebengBoy di YouTube gara-gara judul acaranya bawa-bawa Indonesian Idol. Beberapa acara di Net TV juga masih saya tonton, tapi tidak rutin, atau tidak secara sengaja menyediakan waktu untuk nonton acara tersebut, karena semua acara TV yang saya sukai, ada di YouTube.

Hal ini berdampak, kuota internet saya cepet banget abisnya :))

Kalau kata Maliq & The Essentials dalam lagu Ananda, "Di kehidupan yang berjalan, yang tak berubah hanya perubahan." Bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu berkembang dan berubah, menurut saya menjadi fenomena tersendiri yang sangat menarik. Ini juga tanda kebesaran Tuhan. Tapi yang terpenting sebenarnya bukan apa berubah menjadi apa, tapi bagaimana manusia merespon perubahan tersebut dengan dewasa berdasarkan keyakinannya.

Kembali mengutip lirik lagu Ananda milik Maliq & The Essentials featuring Indra Lesmana,

"Ananda, dewasalah dengan cara yang kau percaya. Sempurna hanya di Surga" 


Sempurna hanya di Surga.
Sempurna hanya di Surga.
Sempurna hanya di Surga.
Sengaja ditulis 3x, biar meresap, hehehe.

Terakhir, saya ingin berbagi beberapa channel Youtube yang jadi favorit saya:
- Indonesian Idol 2018
- The Voice Indonesia (anak dan dewasa)
- The Voice USA (maklum penggemar talent show)
- Tonight Show Net TV
- Muvilla, Woman Talk, pokoknya channel yang ngomongin soal film.
- Kadang-kadang nonton Vlog, biasanya Vlognya Fitrop, sama tadi pagi Boy William (dan ternyata seru juga lihat dia muter-muter Jakarta sambil ngobrol sama VJ Daniel)
- Bayyinah Institute (kajian Nouman Ali Khan, super highly recommended).


Kedua terakhir, perubahan kebiasaan dari nonton TV jadi nonton Youtube, sebenarnya hanya perubahan media saja. Sekarang, apapun media hiburannya, semoga membuat kita semakin baik dan semakin ingat sama Yang Maha Baik yaa :)

Stay positive!

Salam,
Venessa Allia






Minggu, 18 Februari 2018

Cerpen Kedua: Semesta Sedang Bercanda

Hai dunia! #naonsih.

Jadi malam ini ceritanya saya ingin tulis sesuatu di blog, karena minggu lalu udah bolos untuk komit #1minggu1cerita, tapi yaa kok bingung yaa mau nulis apa. Ada materi di kepala, kok bahasannya serius semua, hehehe. Masalahnya buat saya nulis serius itu butuh energi lebih euy, dan butuh sedikit 'emosi' biar asik gitu tulisannya #naoooon. Aaah intinya malam ini lagi mental bercanda. Terus bingung mau nulis apa, buka-buka Facebook berharap dapat inspirasi, eh yang ada malah lihat-lihat foto yang bikin saya nyinyir dalam hati. Duh istigfar.

Yaudah yaa, daripada batal bercerita, lebih baik saya share satu lagi stok cerpen saya, hihihi. Saya kepengen ikutan lomba cerpen deh, tapi kalau kalah suka bete, jadi kalau ikut pengennya menang (duuuh ini mental macam apaaa). Ini salah satu cerpen hasil saya ikut kelas cerpen (KECE) yang diadakan oleh Inspirator Academy. Info lebih lanjut tentang Inspirator Academy boleh lihat disini atau cari aja IGnya. Untuk yang menyempatkan baca cerpen ini, suka tidak suka, boleh dong komentarnya, hehehe. Terimakasiiiih :)


Semesta Sedang Bercanda

GIANNISA KURNIADI
“Gia, Natalie, thanks for today guys. Sorry kalian jadi harus lembur lagi malam ini. Kalau kita dapet tender ini, kalian silahkan ambil cuti deh, saya nggak akan larang,” kata Mas Setyo kepada Gia dan Natalie yang masih membereskan dokumen di atas meja. Kantor mereka berada di lantai delapan belas salah satu gedung perkantoran di kawasan sentral bisnis Jakarta. Lampu-lampu di lantai delapan belas masih menyala, menerangi sedikit orang yang masih bertahan di meja kerja mereka, termasuk Gia, Natalie dan Mas Setyo. Sesaat Gia melihat keluar jendela, langit Jakarta gelap tanpa bintang, bulan bersembunyi entah dimana. Lampu gedung hadir sebagai pengganti bintang, sementara di bawah sana, jalanan masih ramai oleh mobil-mobil menuju berbagai arah. Gia melihat jam tangannya, sudah jam sepuluh malam, saatnya pulang.
  “Kalau kita dapat tender ini, Mas, itu artinya aku dan Gia akan bertemu dengan hari-hari lembur lainnya. Iya kan, Gi?” Natalie menyenggol tangan Gia yang masih asik memandang keluar jendela. Gia pun menoleh.
“Oh. Iya, Nat. Mas Setyo sendiri kan yang waktu itu bilang, akhir dari perjuangan memenangkan tender adalah awal dari perjuangan lainnya. Tapi nggak apa-apa, Nat. Bagaimanapun juga lebih bagus kalau kita menang tender, at least itu artinya tahun ini kita dapat bonus, hihihi, iya kan Mas Set?” Gia dan Natalie saling lirik dan tersenyum. Mas Setyo pun tidak bisa menahan tawa. Dia bersyukur mendapatkan staf yang bukan hanya bisa diandalkan tapi juga punya selera humor yang baik.
“Hahaha, iya janji bonus tahun ini pasti turun dua kali lipat. Kalau nggak turun, bukan hanya kalian yang bakal marah, istri saya nanti juga bisa murka, hahaha. Yasudah sana kalian pulang. Anak gadis jam segini masih pada nongkrong di kantor, ckckck,” Mas Setyo pun mematikan laptopnya, dia juga ingin segera pulang.   
In the name of dedication, Mas. Kita rela jam segini masih jadi penghuni gedung,” sahut Natalie masih bersemangat padahal dia sudah menghabiskan waktu lebih dari dua belas jam di kantor.
“Hmmm, gimana ya Nat?” respon Gia sambil pura-pura berpikir, “Masalahnya antara dedikasi, butuh duit sama nasib jomblo tuh bedanya tipis banget sih, hahaha,” komentar Gia memancing tawa diantara mereka bertiga. Sejatinya, waktu lembur masih bisa terasa menyenangkan asalkan punya rekan kerja yang satu frekuensi, dan Gia sangat bersyukur memilikinya.
Gia dan Natalie berpamitan kepada Mas Setyo, mereka bersama-sama menuju pintu belakang gedung. Lobi utama hanya buka hingga jam delapan malam, sementara saat ini sudah lebih dari pukul sepuluh. Sambil menunggu pengemudi ojek online menjemput, Natalie memastikan rencana nonton besok malam, “Gi, besok kita jadi nonton, kan?”
“Jadi doong, Jumat malam kan selalu jadi NataGia’s movie time,” kata Gia sambil mengamati posisi pengemudi ojek di aplikasi ojek pada ponselnya. NataGia adalah akronim nama mereka berdua: Natalie dan Gia.    
“Emmm, kita nonton berdua aja nih?” Natalie menatap wajah Gia dengan ekspresi agak serius. Mereka berdua sama tinggi. Gia balas melihat Natalie, dia tahu apa maksud pertanyaan ini.
“Mau nonton sama siapa lagi? Mas Setyo? Bisa dirajam lo sama istrinya,” Gia spontan menoyor kepala Natalie. Mereka berdua tidak tampak seperti dua pekerja kantoran yang pulang lembur dan kelelahan.
Natalie mulai menerawang, melihat jalanan yang sudah mulai lengang, “Kapan yaa Gi kita ketemu prince charming kayak di film-film? Masa tiap hari pulang kantor harus dijemput sama tukang ojek terus sih.” Gia sangat kenal watak temannya yang terlalu banyak nonton film drama.
“Duh, mulai deh ini ratu drama, feeling insecure about her life. Coba lo cek foto tukang ojek lo, siapa tahu charming mirip Ryan Gosling,” kata Gia. Ekspresinya sok serius padahal sebenarnya dia sedang menahan tawa mendengar kata-katanya sendiri. Mendengar saran Gia, spontan saja Natalie membuka aplikasi ojek di ponselnya.
Gia dan Natalie sama-sama memperhatikan foto pengemudi ojek di ponsel Natalie, seorang bapak-bapak dengan alis dan kumis yang sangat tebal.
“Aaaah Giaaaa. Ryan Gosling apaaaan, ini mah Pak Raden namanyaaa,” Natalie memasang muka masam. Alisnya mengerung dan bibirnya manyun.
“HAHAHAHA,” Gia tertawa terpingkal-pingkal melihat foto pengemudi ojek yang tidak bersalah.   
Tidak lama kemudian, dua pengemudi ojek menjemput Gia dan Natalie. Gia masih tersenyum-senyum geli melihat sosok pengemudi ojek yang menjemput Natalie. Natalie hanya merengut, namun sebelum mereka berpisah, Natalie sempat bilang, “Di kereta nanti lo jangan tidur, perhatiin penumpang sekitar, siapa tau prince charming lo muncul hari ini. Cowok pecinta alam yang juga cinta kebebasan. See you tomorrow, Gi!”
Gia tidak menanggapi ocehan Natalie. Temannya ini selalu percaya bahwa pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Tapi Gia tidak pernah serius memikirkan teori Natalie tersebut. Dia memang selalu mengidolakan cowok pecinta alam yang hidupnya bebas tak terikat aturan. Tapi dalam bayangannya, lelaki seperti itu akan dijumpainya di satu perjalanan liburan ke Sumba atau Wakatobi, bukan di kereta dalam kota.
Gia dan Natalie berpisah, menaiki motor pengemudi ojek yang akan mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Natalie beruntung, rumahnya masih berada di kawasan Jakarta Selatan, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit seharusnya dia sudah bisa tiba di rumah. Sementara Gia tinggal kota satelit Tangerang Selatan. Sopir ojek akan membawanya ke Stasiun Palmerah untuk selanjutnya Gia akan naik kereta menuju Stasiun Sudimara, stasiun terdekat dari rumahnya. Mobil Gia diparkir di stasiun, jadi nanti sampai stasiun, Gia masih harus mengendarai mobilnya menuju rumah. Perjalanan panjang sebelum bisa sampai ke kasur empuknya di kamar.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai stasiun Palmerah. Turun dari ojek, Gia berjalan santai menuju peron kereta. Beberapa orang dilihatnya setengah berlari menuju peron, padahal kereta belum juga datang. Terkadang Gia bingung melihat kelakukan para penumpang kereta yang selalu tergesa-gesa. Masuk kereta terburu-buru sepertinya amat khawatir tidak dapat tempat duduk, padahal kalau sudah jam sibuk, mau secepat apapun mereka bergerak tetap saja tidak akan dapat tempat. Keluar kereta pun tergesa-gesa seakan-akan dunia akan hancur jika mereka terlambat. Ah lelah sekali hidup seperti itu, tidak ada ketenangan dan dikendalikan kesibukan.
Peron kereta menyisakan beberapa orang pria dan wanita. Sepengamatan Gia, ada sekitar sepuluh orang yang sama-sama menunggu dengannya. Lima menit menunggu di peron, kereta pun datang dari arah Tanah Abang. Gia naik gerbong terdekat dari tempatnya berdiri menunggu, gerbong nomor delapan. Gerbong yang dipilihnya cukup lengang dan bersih, hanya ada tiga orang perempuan dan empat laki-laki yang duduk menyebar dan tidak saling mengenal. Gia memilih tempat duduk terdekat dari pintu gerbong yang paling tengah, lalu dia membuka tasnya, mengambil sebuah cermin kecil, dia penasaran bagaimana rupanya malam ini. Ikatan rambutnya sudah tidak rapi, wajahnya berminyak, tidak terlihat lagi sisa sapuan bedak di kulitnya yang kuning langsat. Warna merah masih sedikit bersemi di bibirnya, sisa pulasan lipstik tadi sore. Hanya alisnya yang masih tergambar sempurna.
Gia masih asik bercermin, saat seorang pria berbaju biru masuk ke dalam gerbong nomor delapan hanya beberapa detik sebelum pintu kereta tertutup rapat. Hampir saja kaki pria itu terjepit pintu kereta. Pria itu meletakan tas ranselnya tepat di samping Gia, lalu dia duduk. Tas itu kini berada tepat diantara Gia dan pria berbaju biru. Gia bisa melihat baju pria itu basah oleh keringat, nampaknya dia habis berlari.
Hmmm, satu lagi jenis manusia malang yang hidupnya selalu terburu-buru,” bisik hati Gia sambil tersenyum getir.

FIRMAN RAMADHAN      
“Dod, gue turun di sini aja deh. Macet tuh di depan,” kata Firman sambil menepuk bahu Dodi, teman SMA-nya yang berbaik hati mengantarkannya ke Stasiun Palmerah.
“Nanggung Fir, udah deket. Itu paling macet dikit doang gara-gara ojek sama bus berhenti sembarangan,” jelas Dodi, hampir setiap hari dia melewati jalan ini.
“Nggak apa-apa Dod, gue lari aja, sekalian olahraga,” Dodi pun akhirnya menurut. Dia berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan Firman, temannya yang selama dua minggu terakhir ini menemaninya backpacking menjelajahi Nusa Tenggara.
Thank you so much, Bro! Kapan-kapan kita backpacking bareng lagi. Maluku perlu banget nih kita jajal,” Firman menjabat erat tangan Dodi. Nusa Tenggara memberikan mereka banyak pengalaman luar biasa yang membuat mereka ketagihan liburan ala backpacker lagi.
“Siaaaap Bro! Nantilah kita susun rencana lagi. Oke deh, gue cabut yaaa, Fir,” Dodi melambaikan tangannya lalu kembali mengarahkan motornya ke tengah jalan raya. Firman menarik napas panjang sejenak memandang ke arah tangga stasiun yang sudah terlihat. Dia pun berlari menuju stasiun, bukan karena tergesa atau terdesak ingin buang air, dia hanya senang berlari di malam hari, selalu begitu dari kecil. Hobi yang tidak semua orang bisa mengerti. Walau saat berlari ia harus menghidup udara kota Jakarta yang jenuh oleh asap kendaraan, tapi saat itulah Firman merasa bebas, tidak dikendalikan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
            Firman berhasil masuk ke dalam gerbong kereta nomor delapan hanya selang beberapa detik sebelum pintu gerbong tertutup, “Ah nyaris saja gue ketinggalan kereta, untung masih sempat masuk,” pikir Firman. Malam ini Firman akan menginap di rumah kakaknya yang berada tidak jauh dari Stasiun Serpong, sebelum besok dia akan kembali ke Kota Serang, tempat tinggalnya. Tidak banyak penumpang di dalam gerbong. Sambil sedikit ngos-ngosan dan menyapu keringat di keningnya, Firman meletakan tasnya secara asal, lalu duduk disampingnya. Tidak ia perhatikan seorang gadis manis yang duduk di dekatnya dan sedang memperhatikannya.

GIANNISA KURNIADI
            Kereta dalam kota terus melaju menuju stasiun akhir, Serpong. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilalui, sedikit penumpang masuk ke dalam gerbong, lebih banyak yang keluar menuju peron. Tidak banyak suara yang terdengar, hanya berasal dari operator kereta yang memberikan informasi atau bunyi roda yang beradu dengan rel. Di dalam gerbong kereta yang berlari kencang, Gia memperhatikan pria yang duduk di dekatnya. Ada sesuatu dalam diri pria tersebut yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Apakah rambutnya yang gondrong? Apakah badannya yang atletis? Apakah tulang mukanya yang keras? Bukan, dorongan di hati Gia bukan karena daya tarik fisik semata. Gia memperhatikan tas ransel yang disimpan pria ini tepat disampingnya. Sebuah tas ransel berwarna abu-abu yang besar, penuh dan kotor. Gia mengenali merek tas ransel ini, merek andalan yang sering digunakan para pecinta alam atau turis backpacker.
“Yaampun, jangan-jangan pria ini baru saja menyelesaikan ekspedisi Rinjani, atau Semeru atau mungkin baru selesai diving di Wakatobi, kulitnya seperti terbakar, ah dia pasti anak alam,” kata Gia dalam hatinya tidak berhenti menerka. Gia tidak mengerti, ia ingin sekali mengajak pria ini bicara. Dia seperti melihat ‘kebebasan’ dalam wujud manusia.
 Gia teringat kata-kata Natalie tadi sebelum mereka berpisah. Hatinya terjebak dilema antara mempercayai perkataan Natalie atau keyakinannya bahwa prince charming idolanya tidak akan ditemui di kereta dalam kota. Sementara itu, sang pria sedang duduk santai sambil memakai headset, kakinya bergerak-gerak pelan seperti sedang mengikuti irama musik.   
            Entah malaikat atau iblis yang berbisik ke dalam hati Gia, tiba-tiba saja dia berpikir, you only live once, Gia. Do whatever it takes.
    
FIRMAN RAMADHAN
            Firman baru saja selesai menggulung kabel headset miliknya. Baterai ponselnya habis dan dia tidak seperti anak muda zaman sekarang yang kemana-mana selalu membawa power bank. Saat dia hendak memasukan headset dan ponselnya ke dalam tas di sisi kirinya, dia baru sadar, ada wanita bermata sayu yang sedang melihatnya.

GIANNISA KURNIADI
            “Ya Tuhan, cowok ini nengok ke arah sini,” Gia panik. Lalu tiba-tiba saja hal itu terjadi, sebuah nyali yang datang entah darimana.
Gia menjulurkan tangannya, “Halo saya Gia, boleh kenalan?” Gia tersenyum tipis tapi manis.
Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri, “Mati gue, mampus gue, wafat gue, kalau cowok ini nyuekin gue, kelar hidup gue. Finish. Fin.”

FIRMAN RAMADHAN
“Ada cewek kantoran ngajak cowok berantakan kayak gue kenalan? Semesta sedang bercanda,” pikir Firman saat melihat wanita yang memakai kemeja formal, rok selutut dan lipstik merah sedang menjulurkan tangannya.
            “Emm, ada yang bisa saya bantu?” tanya Firman kaku, dia memandang wanita itu dengan waspada. Zaman sekarang bahkan copet dan tukang hipnotis bisa berwujud wanita manis dengan gaya necis.
            Wanita di hadapan Firman tidak menjawab pertanyaannya, mulutnya terbuka sedikit namun tetap tidak ada suara, tangan wanita ini tetap terjulur dan matanya tidak berkedip memandang Firman. Firman semakin yakin bahwa wanita ini adalah tukang hipnotis berkedok wanita kantoran yang akan mencuri isi tasnya. Yang Firman tidak tahu, wanita di sampingnya sedang mengalami starstruck, yaitu kondisi seseorang tidak bisa bicara, merasa kewalahan dan tiba-tiba paralisis akibat bertemu dengan sosok yang diidolakan. 
Firman adalah putera Banten yang paham betul bahwa tukang hipnotis akan selalu berusaha menjaga kontak mata. Demi menyelamatkan diri dan harta benda yang dibawanya (tidak banyak sih, tapi kalau dicuri tetap saja bikin sakit hati), Firman memilih membawa tasnya pergi menjauh dari wanita disampingnya yang masih membatu.
“Kasian, cakep-cakep tukang hipnotis,” pikir Firman saat pindah ke gerbong lain.

GIANNISA KURNIADI
            Wajah Gia pucat, mulutnya masih terbuka sedikit namun tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mulai mengucur di lehernya. Matanya kosong. Tangannya sudah tidak terjulur seperti saat tadi mengenalkan diri, namun dia masih membatu. Harga dirinya baru saja dibom habis oleh teroris pria berkedok prince charming yang memilih meninggalkannya pindah ke gerbong lain saat Gia sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk berkenalan. 
“Semesta sedang bercanda.. Semesta sedang bercanda..,” hanya itu yang berulang kali Gia ucapkan dalam hatinya.
Esok hari, saat Gia sudah lebih tenang dan dapat memaknai kejadian ini, dia akan tahu bahwa sejatinya Natalie benar, pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Namun, mungkin perlu satu kalimat tambahan untuk melengkapi teori Natalie,

…dan karena tidak bisa diprediksi, maka sudahlah, berhenti mengarang skenario-skenario sendiri.


Salam,
Venessa Allia

P.S: Habis ikutan kelas cerpen, saya menyadari satu hal, ternyata saya bukan cuma suka nulis, tapi saya suka bikin cerita, hihihi. Semoga jadi jalan kebaikan yaa, aamiin. Stay positive!