Jadi malam ini ceritanya saya ingin tulis sesuatu di blog, karena minggu lalu udah bolos untuk komit #1minggu1cerita, tapi yaa kok bingung yaa mau nulis apa. Ada materi di kepala, kok bahasannya serius semua, hehehe. Masalahnya buat saya nulis serius itu butuh energi lebih euy, dan butuh sedikit 'emosi' biar asik gitu tulisannya #naoooon. Aaah intinya malam ini lagi mental bercanda. Terus bingung mau nulis apa, buka-buka Facebook berharap dapat inspirasi, eh yang ada malah lihat-lihat foto yang bikin saya nyinyir dalam hati. Duh istigfar.
Yaudah yaa, daripada batal bercerita, lebih baik saya share satu lagi stok cerpen saya, hihihi. Saya kepengen ikutan lomba cerpen deh, tapi kalau kalah suka bete, jadi kalau ikut pengennya menang (duuuh ini mental macam apaaa). Ini salah satu cerpen hasil saya ikut kelas cerpen (KECE) yang diadakan oleh Inspirator Academy. Info lebih lanjut tentang Inspirator Academy boleh lihat disini atau cari aja IGnya. Untuk yang menyempatkan baca cerpen ini, suka tidak suka, boleh dong komentarnya, hehehe. Terimakasiiiih :)
Semesta
Sedang Bercanda
GIANNISA
KURNIADI
“Gia, Natalie, thanks
for today guys. Sorry kalian jadi
harus lembur lagi malam ini. Kalau kita dapet tender ini, kalian silahkan ambil cuti deh, saya nggak akan
larang,” kata Mas Setyo kepada Gia dan Natalie yang masih membereskan dokumen
di atas meja. Kantor mereka berada di lantai delapan belas salah satu gedung
perkantoran di kawasan sentral bisnis Jakarta. Lampu-lampu di lantai delapan
belas masih menyala, menerangi sedikit orang yang masih bertahan di meja kerja
mereka, termasuk Gia, Natalie dan Mas Setyo. Sesaat Gia melihat keluar jendela,
langit Jakarta gelap tanpa bintang, bulan bersembunyi entah dimana. Lampu
gedung hadir sebagai pengganti bintang, sementara di bawah sana, jalanan masih
ramai oleh mobil-mobil menuju berbagai arah. Gia melihat jam tangannya, sudah jam
sepuluh malam, saatnya pulang.
“Kalau kita
dapat tender ini, Mas, itu artinya
aku dan Gia akan bertemu dengan hari-hari lembur lainnya. Iya kan, Gi?” Natalie
menyenggol tangan Gia yang masih asik memandang keluar jendela. Gia pun
menoleh.
“Oh. Iya, Nat. Mas Setyo sendiri kan yang waktu itu
bilang, akhir dari perjuangan memenangkan tender
adalah awal dari perjuangan lainnya. Tapi nggak apa-apa, Nat. Bagaimanapun juga
lebih bagus kalau kita menang tender,
at least itu artinya tahun ini kita
dapat bonus, hihihi, iya kan Mas Set?” Gia dan Natalie saling lirik dan
tersenyum. Mas Setyo pun tidak bisa menahan tawa. Dia bersyukur mendapatkan
staf yang bukan hanya bisa diandalkan tapi juga punya selera humor yang baik.
“Hahaha, iya janji bonus tahun ini pasti turun dua
kali lipat. Kalau nggak turun, bukan hanya kalian yang bakal marah, istri saya
nanti juga bisa murka, hahaha. Yasudah sana kalian pulang. Anak gadis jam
segini masih pada nongkrong di kantor, ckckck,” Mas Setyo pun mematikan
laptopnya, dia juga ingin segera pulang.
“In the name
of dedication, Mas. Kita rela jam segini masih jadi penghuni gedung,” sahut
Natalie masih bersemangat padahal dia sudah menghabiskan waktu lebih dari dua
belas jam di kantor.
“Hmmm, gimana ya Nat?” respon Gia sambil pura-pura berpikir,
“Masalahnya antara dedikasi, butuh duit sama nasib jomblo tuh bedanya tipis banget sih, hahaha,” komentar Gia
memancing tawa diantara mereka bertiga. Sejatinya, waktu lembur masih bisa terasa
menyenangkan asalkan punya rekan kerja yang satu frekuensi, dan Gia sangat
bersyukur memilikinya.
Gia dan Natalie berpamitan kepada Mas Setyo, mereka bersama-sama
menuju pintu belakang gedung. Lobi
utama hanya buka hingga jam delapan malam, sementara saat ini sudah lebih dari pukul
sepuluh. Sambil menunggu pengemudi ojek online
menjemput, Natalie memastikan rencana nonton besok malam, “Gi, besok kita jadi
nonton, kan?”
“Jadi doong, Jumat malam kan selalu jadi NataGia’s movie time,” kata Gia sambil
mengamati posisi pengemudi ojek di aplikasi ojek pada ponselnya. NataGia adalah
akronim nama mereka berdua: Natalie dan Gia.
“Emmm, kita nonton berdua aja nih?” Natalie menatap
wajah Gia dengan ekspresi agak serius. Mereka berdua sama tinggi. Gia balas
melihat Natalie, dia tahu apa maksud pertanyaan ini.
“Mau nonton sama siapa lagi? Mas Setyo? Bisa dirajam
lo sama istrinya,” Gia spontan menoyor kepala Natalie. Mereka berdua tidak
tampak seperti dua pekerja kantoran yang pulang lembur dan kelelahan.
Natalie mulai menerawang, melihat jalanan yang sudah
mulai lengang, “Kapan yaa Gi kita ketemu prince
charming kayak di film-film? Masa tiap hari pulang kantor harus dijemput
sama tukang ojek terus sih.” Gia sangat kenal watak temannya yang terlalu banyak
nonton film drama.
“Duh, mulai deh ini ratu drama, feeling insecure about her life. Coba lo cek foto tukang ojek lo,
siapa tahu charming mirip Ryan
Gosling,” kata Gia. Ekspresinya sok serius padahal sebenarnya dia sedang
menahan tawa mendengar kata-katanya sendiri. Mendengar saran Gia, spontan saja
Natalie membuka aplikasi ojek di ponselnya.
Gia dan Natalie sama-sama memperhatikan foto
pengemudi ojek di ponsel Natalie, seorang bapak-bapak dengan alis dan kumis
yang sangat tebal.
“Aaaah Giaaaa. Ryan Gosling apaaaan, ini mah Pak
Raden namanyaaa,” Natalie memasang muka masam. Alisnya mengerung dan bibirnya
manyun.
“HAHAHAHA,” Gia tertawa terpingkal-pingkal melihat
foto pengemudi ojek yang tidak bersalah.
Tidak lama kemudian, dua pengemudi ojek menjemput
Gia dan Natalie. Gia masih tersenyum-senyum geli melihat sosok pengemudi ojek
yang menjemput Natalie. Natalie hanya merengut, namun sebelum mereka berpisah,
Natalie sempat bilang, “Di kereta nanti lo jangan tidur, perhatiin penumpang
sekitar, siapa tau prince charming lo
muncul hari ini. Cowok pecinta alam yang juga cinta kebebasan. See you tomorrow, Gi!”
Gia tidak menanggapi ocehan Natalie. Temannya ini
selalu percaya bahwa pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya
sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi.
Tapi Gia tidak pernah serius memikirkan teori Natalie tersebut. Dia memang
selalu mengidolakan cowok pecinta alam yang hidupnya bebas tak terikat aturan.
Tapi dalam bayangannya, lelaki seperti itu akan dijumpainya di satu perjalanan liburan
ke Sumba atau Wakatobi, bukan di kereta dalam kota.
Gia dan Natalie berpisah, menaiki motor pengemudi
ojek yang akan mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Natalie beruntung,
rumahnya masih berada di kawasan Jakarta Selatan, dalam waktu kurang dari tiga
puluh menit seharusnya dia sudah bisa tiba di rumah. Sementara Gia tinggal kota
satelit Tangerang Selatan. Sopir ojek akan membawanya ke Stasiun Palmerah untuk
selanjutnya Gia akan naik kereta menuju Stasiun Sudimara, stasiun terdekat dari
rumahnya. Mobil Gia diparkir di stasiun, jadi nanti sampai stasiun, Gia masih
harus mengendarai mobilnya menuju rumah. Perjalanan panjang sebelum bisa sampai
ke kasur empuknya di kamar.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai
stasiun Palmerah. Turun dari ojek, Gia berjalan santai menuju peron kereta.
Beberapa orang dilihatnya setengah berlari menuju peron, padahal kereta belum
juga datang. Terkadang Gia bingung melihat kelakukan para penumpang kereta yang
selalu tergesa-gesa. Masuk kereta terburu-buru sepertinya amat khawatir tidak
dapat tempat duduk, padahal kalau sudah jam sibuk, mau secepat apapun mereka
bergerak tetap saja tidak akan dapat tempat. Keluar kereta pun tergesa-gesa
seakan-akan dunia akan hancur jika mereka terlambat. Ah lelah sekali hidup
seperti itu, tidak ada ketenangan dan dikendalikan kesibukan.
Peron kereta menyisakan beberapa orang pria dan
wanita. Sepengamatan Gia, ada sekitar sepuluh orang yang sama-sama menunggu
dengannya. Lima menit menunggu di peron, kereta pun datang dari arah Tanah
Abang. Gia naik gerbong terdekat dari tempatnya berdiri menunggu, gerbong nomor
delapan. Gerbong yang dipilihnya cukup lengang dan bersih, hanya ada tiga orang
perempuan dan empat laki-laki yang duduk menyebar dan tidak saling mengenal.
Gia memilih tempat duduk terdekat dari pintu gerbong yang paling tengah, lalu
dia membuka tasnya, mengambil sebuah cermin kecil, dia penasaran bagaimana
rupanya malam ini. Ikatan rambutnya sudah tidak rapi, wajahnya berminyak, tidak
terlihat lagi sisa sapuan bedak di kulitnya yang kuning langsat. Warna merah
masih sedikit bersemi di bibirnya, sisa pulasan lipstik tadi sore. Hanya
alisnya yang masih tergambar sempurna.
Gia masih asik bercermin, saat seorang pria berbaju
biru masuk ke dalam gerbong nomor delapan hanya beberapa detik sebelum pintu
kereta tertutup rapat. Hampir saja kaki pria itu terjepit pintu kereta. Pria
itu meletakan tas ranselnya tepat di samping Gia, lalu dia duduk. Tas itu kini
berada tepat diantara Gia dan pria berbaju biru. Gia bisa melihat baju pria itu
basah oleh keringat, nampaknya dia habis berlari.
“Hmmm, satu
lagi jenis manusia malang yang hidupnya selalu terburu-buru,” bisik hati
Gia sambil tersenyum getir.
FIRMAN
RAMADHAN
“Dod, gue turun di sini aja deh. Macet tuh di depan,”
kata Firman sambil menepuk bahu Dodi, teman SMA-nya yang berbaik hati
mengantarkannya ke Stasiun Palmerah.
“Nanggung Fir, udah deket. Itu paling macet dikit
doang gara-gara ojek sama bus berhenti sembarangan,” jelas Dodi, hampir setiap
hari dia melewati jalan ini.
“Nggak apa-apa Dod, gue lari aja, sekalian olahraga,”
Dodi pun akhirnya menurut. Dia berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan
Firman, temannya yang selama dua minggu terakhir ini menemaninya backpacking menjelajahi Nusa Tenggara.
“Thank you so
much, Bro! Kapan-kapan kita backpacking
bareng lagi. Maluku perlu banget nih kita jajal,” Firman menjabat erat tangan
Dodi. Nusa Tenggara memberikan mereka banyak pengalaman luar biasa yang membuat
mereka ketagihan liburan ala backpacker
lagi.
“Siaaaap Bro! Nantilah kita susun rencana lagi. Oke
deh, gue cabut yaaa, Fir,” Dodi melambaikan tangannya lalu kembali mengarahkan
motornya ke tengah jalan raya. Firman menarik napas panjang sejenak memandang
ke arah tangga stasiun yang sudah terlihat. Dia pun berlari menuju stasiun,
bukan karena tergesa atau terdesak ingin buang air, dia hanya senang berlari di
malam hari, selalu begitu dari kecil. Hobi yang tidak semua orang bisa
mengerti. Walau saat berlari ia harus menghidup udara kota Jakarta yang jenuh
oleh asap kendaraan, tapi saat itulah Firman merasa bebas, tidak dikendalikan
oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Firman berhasil masuk ke dalam
gerbong kereta nomor delapan hanya selang beberapa detik sebelum pintu gerbong
tertutup, “Ah nyaris saja gue ketinggalan
kereta, untung masih sempat masuk,” pikir Firman. Malam ini Firman akan
menginap di rumah kakaknya yang berada tidak jauh dari Stasiun Serpong, sebelum
besok dia akan kembali ke Kota Serang, tempat tinggalnya. Tidak banyak
penumpang di dalam gerbong. Sambil sedikit ngos-ngosan
dan menyapu keringat di keningnya, Firman
meletakan tasnya secara asal, lalu duduk disampingnya. Tidak ia perhatikan
seorang gadis manis yang duduk di dekatnya dan sedang memperhatikannya.
GIANNISA
KURNIADI
Kereta dalam kota terus melaju
menuju stasiun akhir, Serpong. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilalui,
sedikit penumpang masuk ke dalam gerbong, lebih banyak yang keluar menuju peron.
Tidak banyak suara yang terdengar, hanya berasal dari operator kereta yang
memberikan informasi atau bunyi roda yang beradu dengan rel. Di dalam gerbong
kereta yang berlari kencang, Gia memperhatikan pria yang duduk di dekatnya. Ada
sesuatu dalam diri pria tersebut yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
Apakah rambutnya yang gondrong? Apakah badannya yang atletis? Apakah tulang
mukanya yang keras? Bukan, dorongan di hati Gia bukan karena daya tarik fisik semata.
Gia memperhatikan tas ransel yang disimpan pria ini tepat disampingnya. Sebuah
tas ransel berwarna abu-abu yang besar, penuh dan kotor. Gia mengenali merek
tas ransel ini, merek andalan yang sering digunakan para pecinta alam atau
turis backpacker.
“Yaampun,
jangan-jangan pria ini baru saja menyelesaikan ekspedisi Rinjani, atau Semeru
atau mungkin baru selesai diving di Wakatobi, kulitnya seperti terbakar, ah dia
pasti anak alam,” kata Gia dalam hatinya tidak berhenti
menerka. Gia tidak mengerti, ia ingin sekali mengajak pria ini bicara. Dia
seperti melihat ‘kebebasan’ dalam wujud manusia.
Gia teringat
kata-kata Natalie tadi sebelum mereka berpisah. Hatinya terjebak dilema antara
mempercayai perkataan Natalie atau keyakinannya bahwa prince charming idolanya tidak akan ditemui di kereta dalam kota.
Sementara itu, sang pria sedang duduk santai sambil memakai headset, kakinya bergerak-gerak pelan
seperti sedang mengikuti irama musik.
Entah malaikat atau iblis yang
berbisik ke dalam hati Gia, tiba-tiba saja dia berpikir, you only live once, Gia. Do whatever it takes.
FIRMAN
RAMADHAN
Firman baru saja selesai menggulung
kabel headset miliknya. Baterai
ponselnya habis dan dia tidak seperti anak muda zaman sekarang yang kemana-mana
selalu membawa power bank. Saat dia
hendak memasukan headset dan
ponselnya ke dalam tas di sisi kirinya, dia baru sadar, ada wanita bermata sayu
yang sedang melihatnya.
GIANNISA
KURNIADI
“Ya
Tuhan, cowok ini nengok ke arah sini,” Gia panik. Lalu
tiba-tiba saja hal itu terjadi, sebuah nyali yang datang entah darimana.
Gia menjulurkan tangannya, “Halo saya Gia, boleh kenalan?”
Gia tersenyum tipis tapi manis.
Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri, “Mati gue, mampus gue, wafat gue, kalau
cowok ini nyuekin gue, kelar hidup gue. Finish. Fin.”
FIRMAN
RAMADHAN
“Ada cewek
kantoran ngajak cowok berantakan kayak gue kenalan? Semesta sedang bercanda,” pikir
Firman saat melihat wanita yang memakai kemeja formal, rok selutut dan lipstik
merah sedang menjulurkan tangannya.
“Emm, ada yang bisa saya bantu?”
tanya Firman kaku, dia memandang wanita itu dengan waspada. Zaman sekarang
bahkan copet dan tukang hipnotis bisa berwujud wanita manis dengan gaya necis.
Wanita di hadapan Firman tidak
menjawab pertanyaannya, mulutnya terbuka sedikit namun tetap tidak ada suara,
tangan wanita ini tetap terjulur dan matanya tidak berkedip memandang Firman.
Firman semakin yakin bahwa wanita ini adalah tukang hipnotis berkedok wanita
kantoran yang akan mencuri isi tasnya. Yang Firman tidak tahu, wanita di
sampingnya sedang mengalami starstruck,
yaitu kondisi seseorang tidak bisa bicara, merasa kewalahan dan tiba-tiba
paralisis akibat bertemu dengan sosok yang diidolakan.
Firman adalah putera Banten yang paham betul bahwa
tukang hipnotis akan selalu berusaha menjaga kontak mata. Demi menyelamatkan
diri dan harta benda yang dibawanya (tidak banyak sih, tapi kalau dicuri tetap
saja bikin sakit hati), Firman memilih membawa tasnya pergi menjauh dari wanita
disampingnya yang masih membatu.
“Kasian,
cakep-cakep tukang hipnotis,” pikir Firman saat
pindah ke gerbong lain.
GIANNISA
KURNIADI
Wajah Gia pucat, mulutnya masih
terbuka sedikit namun tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mulai
mengucur di lehernya. Matanya kosong. Tangannya sudah tidak terjulur seperti
saat tadi mengenalkan diri, namun dia masih membatu. Harga dirinya baru saja
dibom habis oleh teroris pria berkedok prince
charming yang memilih meninggalkannya pindah ke gerbong lain saat Gia sudah
bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk berkenalan.
“Semesta sedang
bercanda.. Semesta sedang bercanda..,” hanya itu yang
berulang kali Gia ucapkan dalam hatinya.
Esok hari, saat Gia sudah lebih tenang dan dapat
memaknai kejadian ini, dia akan tahu bahwa sejatinya Natalie benar, pertemuan
seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta
melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Namun, mungkin perlu satu
kalimat tambahan untuk melengkapi teori Natalie,
…dan karena
tidak bisa diprediksi, maka sudahlah, berhenti mengarang skenario-skenario
sendiri.
Salam,
Venessa Allia
P.S: Habis ikutan kelas cerpen, saya menyadari satu hal, ternyata saya bukan cuma suka nulis, tapi saya suka bikin cerita, hihihi. Semoga jadi jalan kebaikan yaa, aamiin. Stay positive!
0 comments:
Posting Komentar