Minggu, 18 Februari 2018

Cerpen Kedua: Semesta Sedang Bercanda

Hai dunia! #naonsih.

Jadi malam ini ceritanya saya ingin tulis sesuatu di blog, karena minggu lalu udah bolos untuk komit #1minggu1cerita, tapi yaa kok bingung yaa mau nulis apa. Ada materi di kepala, kok bahasannya serius semua, hehehe. Masalahnya buat saya nulis serius itu butuh energi lebih euy, dan butuh sedikit 'emosi' biar asik gitu tulisannya #naoooon. Aaah intinya malam ini lagi mental bercanda. Terus bingung mau nulis apa, buka-buka Facebook berharap dapat inspirasi, eh yang ada malah lihat-lihat foto yang bikin saya nyinyir dalam hati. Duh istigfar.

Yaudah yaa, daripada batal bercerita, lebih baik saya share satu lagi stok cerpen saya, hihihi. Saya kepengen ikutan lomba cerpen deh, tapi kalau kalah suka bete, jadi kalau ikut pengennya menang (duuuh ini mental macam apaaa). Ini salah satu cerpen hasil saya ikut kelas cerpen (KECE) yang diadakan oleh Inspirator Academy. Info lebih lanjut tentang Inspirator Academy boleh lihat disini atau cari aja IGnya. Untuk yang menyempatkan baca cerpen ini, suka tidak suka, boleh dong komentarnya, hehehe. Terimakasiiiih :)


Semesta Sedang Bercanda

GIANNISA KURNIADI
“Gia, Natalie, thanks for today guys. Sorry kalian jadi harus lembur lagi malam ini. Kalau kita dapet tender ini, kalian silahkan ambil cuti deh, saya nggak akan larang,” kata Mas Setyo kepada Gia dan Natalie yang masih membereskan dokumen di atas meja. Kantor mereka berada di lantai delapan belas salah satu gedung perkantoran di kawasan sentral bisnis Jakarta. Lampu-lampu di lantai delapan belas masih menyala, menerangi sedikit orang yang masih bertahan di meja kerja mereka, termasuk Gia, Natalie dan Mas Setyo. Sesaat Gia melihat keluar jendela, langit Jakarta gelap tanpa bintang, bulan bersembunyi entah dimana. Lampu gedung hadir sebagai pengganti bintang, sementara di bawah sana, jalanan masih ramai oleh mobil-mobil menuju berbagai arah. Gia melihat jam tangannya, sudah jam sepuluh malam, saatnya pulang.
  “Kalau kita dapat tender ini, Mas, itu artinya aku dan Gia akan bertemu dengan hari-hari lembur lainnya. Iya kan, Gi?” Natalie menyenggol tangan Gia yang masih asik memandang keluar jendela. Gia pun menoleh.
“Oh. Iya, Nat. Mas Setyo sendiri kan yang waktu itu bilang, akhir dari perjuangan memenangkan tender adalah awal dari perjuangan lainnya. Tapi nggak apa-apa, Nat. Bagaimanapun juga lebih bagus kalau kita menang tender, at least itu artinya tahun ini kita dapat bonus, hihihi, iya kan Mas Set?” Gia dan Natalie saling lirik dan tersenyum. Mas Setyo pun tidak bisa menahan tawa. Dia bersyukur mendapatkan staf yang bukan hanya bisa diandalkan tapi juga punya selera humor yang baik.
“Hahaha, iya janji bonus tahun ini pasti turun dua kali lipat. Kalau nggak turun, bukan hanya kalian yang bakal marah, istri saya nanti juga bisa murka, hahaha. Yasudah sana kalian pulang. Anak gadis jam segini masih pada nongkrong di kantor, ckckck,” Mas Setyo pun mematikan laptopnya, dia juga ingin segera pulang.   
In the name of dedication, Mas. Kita rela jam segini masih jadi penghuni gedung,” sahut Natalie masih bersemangat padahal dia sudah menghabiskan waktu lebih dari dua belas jam di kantor.
“Hmmm, gimana ya Nat?” respon Gia sambil pura-pura berpikir, “Masalahnya antara dedikasi, butuh duit sama nasib jomblo tuh bedanya tipis banget sih, hahaha,” komentar Gia memancing tawa diantara mereka bertiga. Sejatinya, waktu lembur masih bisa terasa menyenangkan asalkan punya rekan kerja yang satu frekuensi, dan Gia sangat bersyukur memilikinya.
Gia dan Natalie berpamitan kepada Mas Setyo, mereka bersama-sama menuju pintu belakang gedung. Lobi utama hanya buka hingga jam delapan malam, sementara saat ini sudah lebih dari pukul sepuluh. Sambil menunggu pengemudi ojek online menjemput, Natalie memastikan rencana nonton besok malam, “Gi, besok kita jadi nonton, kan?”
“Jadi doong, Jumat malam kan selalu jadi NataGia’s movie time,” kata Gia sambil mengamati posisi pengemudi ojek di aplikasi ojek pada ponselnya. NataGia adalah akronim nama mereka berdua: Natalie dan Gia.    
“Emmm, kita nonton berdua aja nih?” Natalie menatap wajah Gia dengan ekspresi agak serius. Mereka berdua sama tinggi. Gia balas melihat Natalie, dia tahu apa maksud pertanyaan ini.
“Mau nonton sama siapa lagi? Mas Setyo? Bisa dirajam lo sama istrinya,” Gia spontan menoyor kepala Natalie. Mereka berdua tidak tampak seperti dua pekerja kantoran yang pulang lembur dan kelelahan.
Natalie mulai menerawang, melihat jalanan yang sudah mulai lengang, “Kapan yaa Gi kita ketemu prince charming kayak di film-film? Masa tiap hari pulang kantor harus dijemput sama tukang ojek terus sih.” Gia sangat kenal watak temannya yang terlalu banyak nonton film drama.
“Duh, mulai deh ini ratu drama, feeling insecure about her life. Coba lo cek foto tukang ojek lo, siapa tahu charming mirip Ryan Gosling,” kata Gia. Ekspresinya sok serius padahal sebenarnya dia sedang menahan tawa mendengar kata-katanya sendiri. Mendengar saran Gia, spontan saja Natalie membuka aplikasi ojek di ponselnya.
Gia dan Natalie sama-sama memperhatikan foto pengemudi ojek di ponsel Natalie, seorang bapak-bapak dengan alis dan kumis yang sangat tebal.
“Aaaah Giaaaa. Ryan Gosling apaaaan, ini mah Pak Raden namanyaaa,” Natalie memasang muka masam. Alisnya mengerung dan bibirnya manyun.
“HAHAHAHA,” Gia tertawa terpingkal-pingkal melihat foto pengemudi ojek yang tidak bersalah.   
Tidak lama kemudian, dua pengemudi ojek menjemput Gia dan Natalie. Gia masih tersenyum-senyum geli melihat sosok pengemudi ojek yang menjemput Natalie. Natalie hanya merengut, namun sebelum mereka berpisah, Natalie sempat bilang, “Di kereta nanti lo jangan tidur, perhatiin penumpang sekitar, siapa tau prince charming lo muncul hari ini. Cowok pecinta alam yang juga cinta kebebasan. See you tomorrow, Gi!”
Gia tidak menanggapi ocehan Natalie. Temannya ini selalu percaya bahwa pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Tapi Gia tidak pernah serius memikirkan teori Natalie tersebut. Dia memang selalu mengidolakan cowok pecinta alam yang hidupnya bebas tak terikat aturan. Tapi dalam bayangannya, lelaki seperti itu akan dijumpainya di satu perjalanan liburan ke Sumba atau Wakatobi, bukan di kereta dalam kota.
Gia dan Natalie berpisah, menaiki motor pengemudi ojek yang akan mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Natalie beruntung, rumahnya masih berada di kawasan Jakarta Selatan, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit seharusnya dia sudah bisa tiba di rumah. Sementara Gia tinggal kota satelit Tangerang Selatan. Sopir ojek akan membawanya ke Stasiun Palmerah untuk selanjutnya Gia akan naik kereta menuju Stasiun Sudimara, stasiun terdekat dari rumahnya. Mobil Gia diparkir di stasiun, jadi nanti sampai stasiun, Gia masih harus mengendarai mobilnya menuju rumah. Perjalanan panjang sebelum bisa sampai ke kasur empuknya di kamar.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai stasiun Palmerah. Turun dari ojek, Gia berjalan santai menuju peron kereta. Beberapa orang dilihatnya setengah berlari menuju peron, padahal kereta belum juga datang. Terkadang Gia bingung melihat kelakukan para penumpang kereta yang selalu tergesa-gesa. Masuk kereta terburu-buru sepertinya amat khawatir tidak dapat tempat duduk, padahal kalau sudah jam sibuk, mau secepat apapun mereka bergerak tetap saja tidak akan dapat tempat. Keluar kereta pun tergesa-gesa seakan-akan dunia akan hancur jika mereka terlambat. Ah lelah sekali hidup seperti itu, tidak ada ketenangan dan dikendalikan kesibukan.
Peron kereta menyisakan beberapa orang pria dan wanita. Sepengamatan Gia, ada sekitar sepuluh orang yang sama-sama menunggu dengannya. Lima menit menunggu di peron, kereta pun datang dari arah Tanah Abang. Gia naik gerbong terdekat dari tempatnya berdiri menunggu, gerbong nomor delapan. Gerbong yang dipilihnya cukup lengang dan bersih, hanya ada tiga orang perempuan dan empat laki-laki yang duduk menyebar dan tidak saling mengenal. Gia memilih tempat duduk terdekat dari pintu gerbong yang paling tengah, lalu dia membuka tasnya, mengambil sebuah cermin kecil, dia penasaran bagaimana rupanya malam ini. Ikatan rambutnya sudah tidak rapi, wajahnya berminyak, tidak terlihat lagi sisa sapuan bedak di kulitnya yang kuning langsat. Warna merah masih sedikit bersemi di bibirnya, sisa pulasan lipstik tadi sore. Hanya alisnya yang masih tergambar sempurna.
Gia masih asik bercermin, saat seorang pria berbaju biru masuk ke dalam gerbong nomor delapan hanya beberapa detik sebelum pintu kereta tertutup rapat. Hampir saja kaki pria itu terjepit pintu kereta. Pria itu meletakan tas ranselnya tepat di samping Gia, lalu dia duduk. Tas itu kini berada tepat diantara Gia dan pria berbaju biru. Gia bisa melihat baju pria itu basah oleh keringat, nampaknya dia habis berlari.
Hmmm, satu lagi jenis manusia malang yang hidupnya selalu terburu-buru,” bisik hati Gia sambil tersenyum getir.

FIRMAN RAMADHAN      
“Dod, gue turun di sini aja deh. Macet tuh di depan,” kata Firman sambil menepuk bahu Dodi, teman SMA-nya yang berbaik hati mengantarkannya ke Stasiun Palmerah.
“Nanggung Fir, udah deket. Itu paling macet dikit doang gara-gara ojek sama bus berhenti sembarangan,” jelas Dodi, hampir setiap hari dia melewati jalan ini.
“Nggak apa-apa Dod, gue lari aja, sekalian olahraga,” Dodi pun akhirnya menurut. Dia berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan Firman, temannya yang selama dua minggu terakhir ini menemaninya backpacking menjelajahi Nusa Tenggara.
Thank you so much, Bro! Kapan-kapan kita backpacking bareng lagi. Maluku perlu banget nih kita jajal,” Firman menjabat erat tangan Dodi. Nusa Tenggara memberikan mereka banyak pengalaman luar biasa yang membuat mereka ketagihan liburan ala backpacker lagi.
“Siaaaap Bro! Nantilah kita susun rencana lagi. Oke deh, gue cabut yaaa, Fir,” Dodi melambaikan tangannya lalu kembali mengarahkan motornya ke tengah jalan raya. Firman menarik napas panjang sejenak memandang ke arah tangga stasiun yang sudah terlihat. Dia pun berlari menuju stasiun, bukan karena tergesa atau terdesak ingin buang air, dia hanya senang berlari di malam hari, selalu begitu dari kecil. Hobi yang tidak semua orang bisa mengerti. Walau saat berlari ia harus menghidup udara kota Jakarta yang jenuh oleh asap kendaraan, tapi saat itulah Firman merasa bebas, tidak dikendalikan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
            Firman berhasil masuk ke dalam gerbong kereta nomor delapan hanya selang beberapa detik sebelum pintu gerbong tertutup, “Ah nyaris saja gue ketinggalan kereta, untung masih sempat masuk,” pikir Firman. Malam ini Firman akan menginap di rumah kakaknya yang berada tidak jauh dari Stasiun Serpong, sebelum besok dia akan kembali ke Kota Serang, tempat tinggalnya. Tidak banyak penumpang di dalam gerbong. Sambil sedikit ngos-ngosan dan menyapu keringat di keningnya, Firman meletakan tasnya secara asal, lalu duduk disampingnya. Tidak ia perhatikan seorang gadis manis yang duduk di dekatnya dan sedang memperhatikannya.

GIANNISA KURNIADI
            Kereta dalam kota terus melaju menuju stasiun akhir, Serpong. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilalui, sedikit penumpang masuk ke dalam gerbong, lebih banyak yang keluar menuju peron. Tidak banyak suara yang terdengar, hanya berasal dari operator kereta yang memberikan informasi atau bunyi roda yang beradu dengan rel. Di dalam gerbong kereta yang berlari kencang, Gia memperhatikan pria yang duduk di dekatnya. Ada sesuatu dalam diri pria tersebut yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Apakah rambutnya yang gondrong? Apakah badannya yang atletis? Apakah tulang mukanya yang keras? Bukan, dorongan di hati Gia bukan karena daya tarik fisik semata. Gia memperhatikan tas ransel yang disimpan pria ini tepat disampingnya. Sebuah tas ransel berwarna abu-abu yang besar, penuh dan kotor. Gia mengenali merek tas ransel ini, merek andalan yang sering digunakan para pecinta alam atau turis backpacker.
“Yaampun, jangan-jangan pria ini baru saja menyelesaikan ekspedisi Rinjani, atau Semeru atau mungkin baru selesai diving di Wakatobi, kulitnya seperti terbakar, ah dia pasti anak alam,” kata Gia dalam hatinya tidak berhenti menerka. Gia tidak mengerti, ia ingin sekali mengajak pria ini bicara. Dia seperti melihat ‘kebebasan’ dalam wujud manusia.
 Gia teringat kata-kata Natalie tadi sebelum mereka berpisah. Hatinya terjebak dilema antara mempercayai perkataan Natalie atau keyakinannya bahwa prince charming idolanya tidak akan ditemui di kereta dalam kota. Sementara itu, sang pria sedang duduk santai sambil memakai headset, kakinya bergerak-gerak pelan seperti sedang mengikuti irama musik.   
            Entah malaikat atau iblis yang berbisik ke dalam hati Gia, tiba-tiba saja dia berpikir, you only live once, Gia. Do whatever it takes.
    
FIRMAN RAMADHAN
            Firman baru saja selesai menggulung kabel headset miliknya. Baterai ponselnya habis dan dia tidak seperti anak muda zaman sekarang yang kemana-mana selalu membawa power bank. Saat dia hendak memasukan headset dan ponselnya ke dalam tas di sisi kirinya, dia baru sadar, ada wanita bermata sayu yang sedang melihatnya.

GIANNISA KURNIADI
            “Ya Tuhan, cowok ini nengok ke arah sini,” Gia panik. Lalu tiba-tiba saja hal itu terjadi, sebuah nyali yang datang entah darimana.
Gia menjulurkan tangannya, “Halo saya Gia, boleh kenalan?” Gia tersenyum tipis tapi manis.
Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri, “Mati gue, mampus gue, wafat gue, kalau cowok ini nyuekin gue, kelar hidup gue. Finish. Fin.”

FIRMAN RAMADHAN
“Ada cewek kantoran ngajak cowok berantakan kayak gue kenalan? Semesta sedang bercanda,” pikir Firman saat melihat wanita yang memakai kemeja formal, rok selutut dan lipstik merah sedang menjulurkan tangannya.
            “Emm, ada yang bisa saya bantu?” tanya Firman kaku, dia memandang wanita itu dengan waspada. Zaman sekarang bahkan copet dan tukang hipnotis bisa berwujud wanita manis dengan gaya necis.
            Wanita di hadapan Firman tidak menjawab pertanyaannya, mulutnya terbuka sedikit namun tetap tidak ada suara, tangan wanita ini tetap terjulur dan matanya tidak berkedip memandang Firman. Firman semakin yakin bahwa wanita ini adalah tukang hipnotis berkedok wanita kantoran yang akan mencuri isi tasnya. Yang Firman tidak tahu, wanita di sampingnya sedang mengalami starstruck, yaitu kondisi seseorang tidak bisa bicara, merasa kewalahan dan tiba-tiba paralisis akibat bertemu dengan sosok yang diidolakan. 
Firman adalah putera Banten yang paham betul bahwa tukang hipnotis akan selalu berusaha menjaga kontak mata. Demi menyelamatkan diri dan harta benda yang dibawanya (tidak banyak sih, tapi kalau dicuri tetap saja bikin sakit hati), Firman memilih membawa tasnya pergi menjauh dari wanita disampingnya yang masih membatu.
“Kasian, cakep-cakep tukang hipnotis,” pikir Firman saat pindah ke gerbong lain.

GIANNISA KURNIADI
            Wajah Gia pucat, mulutnya masih terbuka sedikit namun tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mulai mengucur di lehernya. Matanya kosong. Tangannya sudah tidak terjulur seperti saat tadi mengenalkan diri, namun dia masih membatu. Harga dirinya baru saja dibom habis oleh teroris pria berkedok prince charming yang memilih meninggalkannya pindah ke gerbong lain saat Gia sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk berkenalan. 
“Semesta sedang bercanda.. Semesta sedang bercanda..,” hanya itu yang berulang kali Gia ucapkan dalam hatinya.
Esok hari, saat Gia sudah lebih tenang dan dapat memaknai kejadian ini, dia akan tahu bahwa sejatinya Natalie benar, pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Namun, mungkin perlu satu kalimat tambahan untuk melengkapi teori Natalie,

…dan karena tidak bisa diprediksi, maka sudahlah, berhenti mengarang skenario-skenario sendiri.


Salam,
Venessa Allia

P.S: Habis ikutan kelas cerpen, saya menyadari satu hal, ternyata saya bukan cuma suka nulis, tapi saya suka bikin cerita, hihihi. Semoga jadi jalan kebaikan yaa, aamiin. Stay positive!

0 comments: