Sabtu, 09 Juni 2018

TANGGUH

Tulisan ini bukan tentang lapangan LNG  British Petroleum nun jauh di Papua sana. Tulisan ini ingin bicara soal kekuatan tekad bocah 8 tahun yang terlihat benar menikmati kondisi hidupnya. Padahal apa yang dia hadapi tidak mudah. Anak kelas 2 SD ini setiap hari berangkat sekolah dari rumahnya di Parung Panjang menuju sekolahnya di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Setiap hari dia berjalan kaki menuju stasiun Parung Panjang, lalu naik commuter line hingga stasiun Tanah Abang, kemudian lanjut jalan kaki lagi menuju sekolah. Pulang ke rumah dia lakukan dengan cara yang sama. Sudah pernah dengar ceritanya? Belakangan ternyata anak ini viral sekali, cuma saya aja yang basi hingga baru tau kisah anak ini kira-kira dua jam yang lalu. Yeah, nama anak ini Alviansyah, atau akrab disapa Alpin.

Saya tahu Alpin bukan satu-satunya anak Indonesia yang harus begitu kerasnya berjuang untuk bisa sampai ke sekolah. Sayangnya masih banyak anak Indonesia yang nasibnya sebelas dua belas dengan Alpin. Tapi kisah Alpin rasanya kena banget di hati saya. Simply, karena saya hampir setiap hari juga naik kereta kayak Alpin. Jalur kereta yang sama, hanya naik di stasiun yang berbeda saja. Tapi bukan itu perbedaan paling signifikan diantara kami. 

Perbedaan terbesar diantara kami adalah, saya mengeluh, Alpin tidak.
Padahal, saya naik mobil dari rumah ke stasiun Rawabuntu, Alpin jalan kaki ke stasiun
Padahal, saya naik Trans Jakarta/taksi/ojek dari stasiun Tanah Abang ke kantor. Alpin jalan kaki ke sekolah.
Padahal, saya naik mobil dari stasiun Rawabuntu kembali ke rumah. Alpin masih jalan kaki.
Sekali lagi pernyataan ini ingin saya ulang: saya mengeluh, Alpin tidak. 
Saya ulang bukan karena saya bangga dengan kondisi yang ada, tapi saya harus mengingatkan diri sendiri bahwa saya itu nggak ada pantes-pantesnya deh ngeluh. 

Anak ini usianya 21 tahun lebih muda dari saya, tapi mentalnya sepuluh juta kali lebih kuat. Orang lain boleh bilang hal itu terjadi karena kondisi ekonomi keluarga Alpin yang susah sehingga memaksanya tumbuh menjadi anak yang tangguh. Tapi menurut saya itu pendapat yang salah, karena Alpin pun punya pilihan untuk menyerah dan tidak sekolah, sebagaimana banyak manusia dewasa lainnya yang menyerah pada keadaan yang sulit. Namun, Alpin tidak mengambil pilihan itu. Dia tetap sekolah di Jakarta, betapa pun jauhnya, betapa pun sangarnya roker (rombongan kereta) berdesakan, betapa pun padatnya stasiun. Anak ini berani, seakan tidak peduli pada hambatan yang dijumpai, fokus sama tujuannya: MAU SEKOLAH.

Saya tersentuh sekali waktu tadi nonton Hitam Putih, melihat wawancara Deddy Corbuzier dengan Alpin dan Caroline Ferry, wanita yang sudah sangat berjasa memviralkan berita ini sehingga dunia bisa tahu ada anak tangguh seperti Alpin. Singkat cerita, dari wawancara itu saya tahu bahwa:

1. Alpin  sekolah di Jakarta karena di kota ini dia bisa sekolah gratis pakai Kartu Jakarta Pintar, sementara kalau sekolah di Parung Panjang dia harus bayar buku. Hal ini menunjukan betapa powerful kebijakan KJP, dan kalau pemerintah Kabupaten Bogor atau dinas pendidikan setempat mendengar berita ini, mestinya jadi tamparan keras untuk berbenah supaya bisa punya sistem semacam KJP atau yang lebih baik lagi, simply supaya jangan sampai ada lagi anak yang mau sekolah gratis aja mesti jauh-jauh ke Jakarta.

2. Alpin ke sekolah cuma dikasih ongkos sama ibunya, kalau pun dikasih jajan biasanya Alpin tolak karena katanya mending buat ibu aja beli beras. Ayah Alpin bekerja sebagai sopir proyekan, tidak selalu pulang ke rumah. Alpin juga masih punya dua orang adik. Alpin bilang ke ibunya kalau dia bisa makan di sekolah karena teman-temanya baik. Seketika saya terharu dengernya. Lagi-lagi cerita ini mengingatkan saya pada nilai relatifitas uang, selembar uang dua puluh ribu bagi ibunya Alpin adalah uang makan sehari untuk sekeluarga. Untuk saya selembar dua puluh ribu bisa hanya berarti segelas kopi yang habis dalam hitungan menit. Nilai ekonomi uangnya sama-sama dua puluh ribu rupiah, tapi nilai urgensi kebermanfaatannya bisa sangat berbeda. Kisah ini juga mengingatkan saya bahwa dalam setiap keberlimpahan yang Tuhan berikan pada seseorang, ingatlah bahwa ada hak orang lain di dalamnya, jadi jangan "dimakan" sendirian.

3. Alpin, walaupun udah capek jalan kaki, tapi kalau di kereta dia masih mau kasih duduk untuk orang lain. Rombongan commuter line sejagat raya dimana pun berada harus belajar dari anak ini. Ini anak punya lebih dari cukup alasan untuk merasa lelah dan nggak mau berbagi tempat duduk, tapi dia masih mau loooh ngasih duduk buat orang lain. Orang dewasa harus ekstra belajar soal empati dengan anak ini. Naik kereta itu nggak perlu norak dorong-dorongan hanya untuk dapat tempat duduk, kalem ajeeeeee (pernyataan terakhir adalah curahan hati saya terdalam).

Saya dapat banyak refleksi dari ketangguhan dan ketulusan Alpin. Semoga kamu jadi orang besar ya, dek. Kamu punya modal ketangguhan yang akan jadi kekuatan sangat berharga, baik di saat ini maupun di masa depanmu nanti. Kamu bilang ingin jadi masinis, kan? Kita memang belum pernah bertemu, oh atau bisa jadi kita pernah satu gerbong, atau berpapasan di stasiun, tapi salah saya yang terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak peduli dengan anak belia seperti kamu yang mungkin sedang berjalan atau duduk sendiri. Saya doakan kamu menjadi masinis terbaik yang pernah ada di negeri ini, atau karena kamu setiap hari naik kereta, kamu cocok deh jadi Dirut PT KAI di masa depan. Jangan takut, dek, ketangguhanmu dalam berusaha akan mengundang bantuan terbaik dari Tuhan kita. Sudah terbukti, kan? Kegigihan kamu menggerakan hati manusia lain untuk membantu kamu dan keluarga.

Kabar terakhir, dibantu oleh sebuah yayasan, Alpin dan keluarga saat ini sudah pindah rumah ke Rusun Benhil, dekat sekolah Alpin. Yayasan tersebut juga akan membantu biaya sekolah kakak Alpin yang sempat putus sekolah, juga memberikan sepeda motor untuk ayah Alpin supaya bisa jadi pengemudi ojek online.

Yeah, ketangguhan Alpin dan kepedulian seorang Caroline Ferry, jadi jalan kebaikan untuk satu keluarga Alpin, juga jadi cahaya inspirasi untuk banyak sekali orang, termasuk saya.
Semoga kamu juga terinspirasi dari kisah ini. Stay positive ya.


Salam,
Venessa Allia

0 comments: