Sabtu, 21 Juli 2018

Cerpen Ketiga: Kisah Pak Sopir


Kisah Pak Sopir

             “Halo Teh Navia, rumahnya yang warna kuning, kan? Saya sudah di depan rumah ya,” suara sopir taksi online terdengar di telepon. Via pun memintanya menunggu. Dia segera mengambil sepatu coklat tanpa hak di gudang lalu memakainya, membuka kembali shoulder bag miliknya untuk memastikan bahwa barang-barang penting sudah dibawa semuanya: dompet, ponsel, power bank, kotak bedak, pembalut, tisu, kunci rumah dan minyak wangi. Via yakin tidak ada barang yang tertinggal, dia siap berangkat.
            “Bun, Via berangkat sekarang ya, Via bawa kunci kok jadi nanti Ibun bobo aja nggak usah nunggu Via pulang,” kata Via menghampiri ibundanya yang sedang membaca majalah di ruang tengah untuk berpamitan.
            “Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Nak,” ucap Ibun sambil menutup majalah di tangan. Dilihatnya anak gadis semata wayangnya yang sudah tumbuh dewasa, parasnya persis seperti saat ia muda. Kulitnya putih, rambutnya ikal sebahu dan matanya yang terkesan galak, bedanya Via jauh lebih modis dibandingkan dia dulu.
            “Konsernya sih baru selesai jam 9, Bun. Habis itu Via langsung pulang kok dianterin Dewi. Tenang aja. Via jalan sekarang ya, udah ditungguin sopir taksi tuh,” Via menyalami tangan ibunya dengan agak terburu-buru.
            “Yaudah hati-hati, kamu bawa mukena kan? Botol minum bawa nggak?” kata Ibu sambil menegakan posisi duduk, “Itu ada roti di meja dibawa saja biar nanti kalau lapar waktu nonton konser Tulus kamu bisa isi perut, bawa yaa rotinya,” Ibu menunjuk meja di tengah ruangan yang diatasnya terdapat beberapa potong roti isi dan kue kering dalam toples.
            “Via kan lagi ‘dapet’, Bun, jadi nggak sholat. Minuman sama makanannya nanti beli aja deh di sana, berat bawanya. Dadaah Ibun. Assalamualaikum,” respon Via singkat lalu melangkah keluar rumah.
            “Kamu jangan lupa makan malam ya, Vi. Cari makannya juga yang bersih. Waalaikumsalam,” jawab Ibun sambil tetap mengingatkan Via soal isi perut. Via mendengarkan instruksi dari ibunya namun tidak menjawab, dalam hatinya dia bergumam,
            “Ckckck, Ibun..Ibun.. Via kan udah 20 tahun, masih aja ngingetin soal makan tiap Via mau pergi. Nasib anak bungsu, nggak pernah lepas dari wejangan nyokap.”     
            Via masuk ke dalam mobil sedan hitam yang menjadi kendaraannya sore ini menuju sebuah gedung pertunjukan di daerah Bandung Utara dimana Tulus, penyanyi muda favorit Via, mengadakan konser mini malam ini. Dia berjanji bertemu Dewi dan dua teman lainnya di sana. Sopir taksi ini ialah seorang bapak berusia sekitar 40 tahun. Penampilannya cukup rapi dengan kaos berkerah warna hijau dan celana jeans. Via duduk di kursi depan supaya tidak terlihat seperti penumpang karena saat ini keberadaan taksi online masih kontroversi sehingga sebaiknya tidak menimbulkan kesan bahwa mobil sedan yang dinaikinya adalah taksi online. Bapak sopir menyapa Via ramah.
            “Selamat sore Teh Navia, kita ke Jalan Tamansari ya, Teh? Kita jalan sekarang yaa,” sapa Pak Sopir sambil memindahkan persneling mobil. Mobil pun melaju menjauhi rumah Via. Jalanan komplek mulai ramai oleh anak-anak yang berangkat mengaji ke masjid.
            “Kalau bisa agak cepat ya pak nyetirnya. Saya ada janji jam 18.30,” kata Via sambil mengamati interior di dalam mobil yang masih terlihat baru. Mobil yang dinaikinya ini nampaknya belum lama keluar dari showroom.
            “Baik Teh, saya usahakan, semoga jalanan tidak terlalu macet, tapi jam segini biasanya macet sih Teh,” respon Pak Sopir sambil melirik ke ponsel di dekatnya, “Saya keluar komplek lewat jalan belakang saja ya, Teh. Kalau lewat depan lebih macet.”
Waktu menunjukan pukul 17.30. Ekspresi Pak Sopir agak serius. Dalam hatinya, sebenarnya ia tidak yakin bisa sampai tempat tujuan dalam waktu satu jam karena lalu lintas Bandung seharian ini padat di mana-mana. Apalagi sekarang malam minggu sehingga banyak orang menghabiskan waktu di luar rumah. Untungnya dia sudah beberapa kali menjemput penumpang di komplek ini sehingga dia tahu jalan terdekat menuju jalan utama. Lima belas menit waktu berlalu. Sejauh ini mobil masih melaju walau kecepatannya tidak bisa lebih dari tiga puluh kilometer per jam karena padatnya jalan raya. Setidaknya tidak berhenti total, begitu pikir Pak Sopir. Sementara itu, Via tenggelam dalam berbagai aplikasi di ponselnya, tidak berbicara atau memperhatikan jalanan yang dilaluinya.
            Mobil akhirnya sampai pada titik kemacetan. Lampu lalu lintas yang seharusnya mengatur arus kendaraan di sebuah perempatan saat ini sedang tidak berfungsi. Beberapa pengemudi mobil yang tidak sabar menyalip antrian mengakibatkan kemacetan menjadi semakin parah. Bunyi klakson mobil riuh membuat jalan raya semakin bising. Kalau sudah begini yang paling diuntungkan adalah pedagang asongan yang jadi ramai pembeli. Pedagang asongan hilir mudik melewati jendela Via, menawarkan air mineral, tisu atau sebungkus permen. Begitu juga pedagang majalah. Via tidak memperdulikan tawaran mereka, berulang kali dia melihat jam di ponselnya, sudah pukul 18.10 dan posisinya masih jauh dari tempat tujuan, nampaknya dia akan terlambat. Keresahan Via tertangkap oleh Pak Sopir.
            “Duh maaf ya Teh, kayaknya nggak keburu sampai sana jam 18.30. Ini saya sudah memilih jalur yang paling cepat, tapi tetap saja kena macet,” Pak Sopir merasa tidak enak, “Ada janji penting ya Teh?” tanya Pak Sopir sambil terus fokus mengamati jalan raya.
            “Emmm mau nonton konser aja sih, Pak. Sayang aja kalau sudah bayar tiket tapi nggak bisa nonton pertunjukannya dari awal,” jelas Via sambil masih tenggelam dalam ponselnya. Dia baru saja mengabari Dewi bahwa dia tidak bisa sampai tujuan tepat waktu.
            “Hoooo, memang mahal banget ya Teh harga tiketnya?” Pak sopir mulai KEPO: Knowing Every Particular Object. Kedua alisnya terangkat dan matanya membesar, wajahnya antusias ingin tahu.
“Nggak juga sih Pak, cuma tiga ratus ribu aja,” jawab Via, datar cendrung ketus. Sekilas ia menoleh ke Pak Sopir yang nampak terkejut mendengar jawaban Via.
“Walah! Tiga ratus ribu mah mahal Teh, uang segitu bisa untuk bayar uang sekolah anak saya di Solo,” seru Pak Sopir, suaranya meninggi tanda ia terkejut.
Via sedikit terusik mendengar respon dari Pak Sopir. Dia lantas berpikir bahwa uang tiga ratus ribu nampaknya sangat berharga bagi bapak ini, sementara dirinya baru saja menghabiskan uang dalam jumlah yang sama untuk berbelanja di sebuah layanan fashion e-commerce ternama. Itulah mengapa sedari tadi Via asik dengan ponselnya sendiri, dia sibuk memilih-milih sepatu dan aksesoris. Tidak terlalu suka membahas soal uang, Via pun mengalihkan pembicaraan. Sementara itu mobil masih terjebak di tengah kemacetan. Hari sudah mulai gelap dan dibuat semakin ramai oleh klakson-klakson yang bersahutan. Klakson mobil angkot maupun mobil pribadi sama berisiknya sedari tadi.
“Oh, anak bapak tinggal di Solo?” tanya Via tanpa bermaksud benar-benar ingin tahu. Ponselnya kini telah ia masukan kembali ke dalam tas. Ekspresinya sekarang lebih santai dengan senyum tipis di bibirnya yang juga tipis. Dewi baru saja mengabarinya bahwa dia juga akan datang terlambat karena masih terjebak macet akibat proyek perbaikan jalan.
“Iya, anak saya masih SMP di Solo, tinggal dengan ibu saya,” kata Pak Sopir sambil tetap sigap di tengah kemacetan. Dia tidak membiarkan ada mobil lain menyalip jalannya. Di luar sana, beberapa polisi lalu lintas terlihat berusaha mengurai kemacetan.
“Hooo.. jadi Bapak di Bandung dengan istri bapak?” Kali ini giliran Via yang KEPO. Badannya terarah menghadap Pak Sopir, menunjukan ia mulai antusias dengan pembicaraan ini.
“Oh nggak Teh, istri saya sudah meninggal sekitar enam bulan yang lalu. Saya ini baru tiga bulan tinggal di Bandung, baru tiga bulan juga bawa taksi online. Ini juga bukan mobil saya sendiri, Teh, ini mobil saudara saya yang berbaik hati menolong,” Pak Sopir menjawab pertayaan Via lebih dari yang Via tanyakan. Via jadi merasa tidak enak sudah menyinggung soal istrinya.
“Oh maaf Pak. Saya turut berduka cita,” kata Via berusaha terdengar tulus.
“Nggak apa-apa Teh, kalau sekarang saya sudah bisa menerima. Walaupun saat itu saya akui sangat berat, satu bulan setelah istri saya meninggal, bisnis saya bangkrut karena saya ditipu oleh teman sendiri. Panjang ceritanya,” Pak sopir diam sejenak lalu menarik napas, “Tapi saya bersyukur Tuhan masih baik sama saya, saya masih punya saudara yang cukup berada dan baik hati. Saudara saya itu membeli mobil baru untuk dijadikan taksi online, kemudian menawarkan saya untuk menjadi sopirnya. Yasudah karena butuh pekerjaan untuk menghidupi anak dan ibu saya, ya saya terima tawarannya. Jadilah saya pindah ke Bandung.” Pak sopir bercerita panjang lebar. Suaranya tetap tenang tanpa tersirat adanya kesan kesedihan atau penyesalan atas apa yang terjadi di hidupnya. Sayangnya, Via belum dapat mengerti, matanya mengerung heran.
“Istri Bapak meninggal, bisnis Bapak bangkrut, lalu Bapak harus tinggal jauh dari anak untuk mencari nafkah. Saya nggak ngerti kok tadi Bapak masih bisa bilang soal bersyukur ya Pak?” Kali ini Via betul-betul ingin tahu. Kepalanya menoleh memperhatikan Pak Sopir yang seketika tersenyum lebar.
“Sederhana saja Teh, saya tahu kalau Tuhan mau memberikan saya cobaan yang lebih berat dari ini, Dia bisa melakukannya, tapi Tuhan masih baik sama saya, cobaan untuk saya sudah ditakar sesuai kemampuan saya, dan saya masih diberikan pertolongan. Masa iya saya masih nggak bisa bersyukur?” Pak Sopir menjelaskan dengan santai, sambil sedikit melirik ke arah Via yang kini resah dalam duduknya. Penjelasan Pak Sopir membuat Via tiba-tiba saja merasa…salah.
Pak Sopir berhasil membawa mobilnya ke barisan paling depan antrian lampu merah yang tidak berfungsi. Petugas kepolisian terlihat memberikan instruksi jalur mana yang boleh jalan terlebih dahulu dan mana yang harus berhenti. Pak Sopir memperhatikan aplikasi peta di ponselnya, jalan raya setelah perempatan ini kelihatannya cukup lancar.
Via masih sibuk memikirkan kalimat Pak Sopir barusan tentang mensyukuri kehidupan. Wajahnya menegang tanda dia serius berpikir. Hatinya tiba-tiba merasa tak nyaman mengingat apa yang selama ini dia lakukan. Hidupnya sangat nyaman karena setiap bulan orang tua Via memberikan uang jajan dan sering memanjakan dirinya. Dia tidak pernah merasakan kepahitan seperti yang Pak Sopir alami. Tapi mengapa dia tidak pernah merasa cukup? Selalu ada saja yang kurang hingga harus dilengkapi, seperti beberapa saat yang lalu dia membeli sepatu baru karena merasa sepatu yang dipakainya sudah tidak nyaman, padahal dia masih punya belasan pasang sepatu lain di rumah. Juga selalu ada saja yang salah sehingga harus dikeluhkan, sebagaimana beberapa menit yang lalu Via mengeluhkan kemacetan Kota Bandung kepada Dewi di WhatsApp, padahal saat itu dia masih dapat duduk manis menikmati kemacetan tanpa harus berdesakan di dalam angkot atau harus menghirup asap kendaraan seperti nasib para pengemudi sepeda motor. Via juga jadi teringat Ibun di rumah, betapa Via selalu sibuk sendiri dan sering merasa sudah dewasa sehingga dia tidak menghargai perhatian yang ibundanya berikan. Tiba-tiba saja mata Via terasa perih seperti ingin menangis, namun ia berusaha menguasai diri.
Via menengok bapak sopir yang duduk di sampingnya, belum ada satu jam dia berjumpa dengan bapak ini, tapi dia merasa sudah mendapatkan suatu pelajaran berharga. Ada ratusan taksi online di Bandung, mengapa harus Pak Sopir ini yang menjemput Via? Pemilik semesta pasti ingin Via belajar dari kisah Pak Sopir. Via membuka aplikasi taksi online di ponselnya, dicarinya nama sopir yang sedang mengantarnya, ternyata nama Pak Sopir ini adalah Hendra. Tiba-tiba saja Via terpikir sebuah ide brilian.
“Pak, anak bapak di Solo, laki-laki atau perempuan?” tanya Via sambil tersenyum melihat ke arah Pak Hendra. Kali ini dia tersenyum lebar.
 “Perempuan Mbak, usianya 14 tahun,” jawab Pak Hendra sambil menekan pedal gas mobil. Akhirnya mobil mereka berhasil lepas dari kemacetan. Pak Hendra melirik jam di mobilnya. Kalau proyeksi kepadatan jalan di peta ini benar, seharusnya pukul 18.45 penumpangnya dapat tiba di tujuan.
Sementara itu Via menyimpan nomor telepon yang tadi digunakan Pak Hendra untuk meneleponnya. Anak Pak Hendra perempuan, sangat sempurna untuk rencananya. Via punya ide, nampaknya aksesoris yang baru saja dia beli secara online akan lebih baik jika dimiliki oleh putri Pak Hendra. Aksesoris milik Via sudah banyak sekali tersimpan di laci meja, dia tidak butuh lebih dari itu. Nanti jika barang yang dia pesan sudah datang, dia akan segera menghubungi Pak Hendra dan mengatakan maksudnya. Rasanya senang sekali memiliki rencana baik.
Via menghirup napas panjang. Tiba-tiba saja dia menyukai harum stroberi yang berasal dari pewangi mobil. Hampir satu jam dia berada di dalam mobil tapi baru sekarang dia dapat menikmati wangi ini.
“Ketika hati sudah memilih untuk bersyukur, maka rasakanlah ada banyak nikmat yang sebelumnya tidak kau rasakan.” Kalimat itu terlintas begitu saja dalam benak Via.

------
Salam,
Venessa
P.S: kalau hari ini nggak post tulisan di blog, besok bisa di kick dari grup #1minggu1cerita. Ahahaha. Syukurlah masih ada stok cerpen di laptop yang belum pernah di publikasikan. Saya share disini saja yaaa. Stay positive, people!