Kisah
Pak Sopir
“Halo Teh Navia, rumahnya yang warna kuning,
kan? Saya sudah di depan rumah ya,” suara sopir taksi online terdengar di telepon. Via pun memintanya menunggu. Dia
segera mengambil sepatu coklat tanpa hak di gudang lalu memakainya, membuka
kembali shoulder bag miliknya untuk
memastikan bahwa barang-barang penting sudah dibawa semuanya: dompet, ponsel, power bank, kotak bedak, pembalut, tisu,
kunci rumah dan minyak wangi. Via yakin tidak ada barang yang tertinggal, dia siap
berangkat.
“Bun, Via berangkat sekarang ya, Via
bawa kunci kok jadi nanti Ibun bobo aja nggak usah nunggu Via pulang,” kata Via
menghampiri ibundanya yang sedang membaca majalah di ruang tengah untuk
berpamitan.
“Tapi pulangnya jangan terlalu malam
ya, Nak,” ucap Ibun sambil menutup majalah di tangan. Dilihatnya anak gadis
semata wayangnya yang sudah tumbuh dewasa, parasnya persis seperti saat ia
muda. Kulitnya putih, rambutnya ikal sebahu dan matanya yang terkesan galak,
bedanya Via jauh lebih modis dibandingkan dia dulu.
“Konsernya sih baru selesai jam 9,
Bun. Habis itu Via langsung pulang kok dianterin Dewi. Tenang aja. Via jalan
sekarang ya, udah ditungguin sopir taksi tuh,” Via menyalami tangan ibunya
dengan agak terburu-buru.
“Yaudah hati-hati, kamu bawa mukena
kan? Botol minum bawa nggak?” kata Ibu sambil menegakan posisi duduk, “Itu ada
roti di meja dibawa saja biar nanti kalau lapar waktu nonton konser Tulus kamu
bisa isi perut, bawa yaa rotinya,” Ibu menunjuk meja di tengah ruangan yang
diatasnya terdapat beberapa potong roti isi dan kue kering dalam toples.
“Via
kan lagi ‘dapet’, Bun, jadi nggak
sholat. Minuman sama makanannya nanti beli aja deh di sana, berat bawanya.
Dadaah Ibun. Assalamualaikum,” respon Via singkat lalu melangkah keluar rumah.
“Kamu jangan lupa makan malam ya, Vi.
Cari makannya juga yang bersih. Waalaikumsalam,” jawab Ibun sambil tetap
mengingatkan Via soal isi perut. Via mendengarkan instruksi dari ibunya namun
tidak menjawab, dalam hatinya dia bergumam,
“Ckckck,
Ibun..Ibun.. Via kan udah 20 tahun, masih aja ngingetin soal makan tiap Via mau
pergi. Nasib anak bungsu, nggak pernah lepas dari wejangan nyokap.”
Via masuk ke dalam mobil sedan hitam
yang menjadi kendaraannya sore ini menuju sebuah gedung pertunjukan di daerah Bandung
Utara dimana Tulus, penyanyi muda favorit Via, mengadakan konser mini malam ini.
Dia berjanji bertemu Dewi dan dua teman lainnya di sana. Sopir taksi ini ialah seorang
bapak berusia sekitar 40 tahun. Penampilannya cukup rapi dengan kaos berkerah
warna hijau dan celana jeans. Via
duduk di kursi depan supaya tidak terlihat seperti penumpang karena saat ini
keberadaan taksi online masih
kontroversi sehingga sebaiknya tidak menimbulkan kesan bahwa mobil sedan yang
dinaikinya adalah taksi online. Bapak
sopir menyapa Via ramah.
“Selamat sore Teh Navia, kita ke
Jalan Tamansari ya, Teh? Kita jalan sekarang yaa,” sapa Pak Sopir sambil
memindahkan persneling mobil. Mobil pun melaju menjauhi rumah Via. Jalanan
komplek mulai ramai oleh anak-anak yang berangkat mengaji ke masjid.
“Kalau bisa agak cepat ya pak
nyetirnya. Saya ada janji jam 18.30,” kata Via sambil mengamati interior di
dalam mobil yang masih terlihat baru. Mobil yang dinaikinya ini nampaknya belum
lama keluar dari showroom.
“Baik Teh, saya usahakan, semoga
jalanan tidak terlalu macet, tapi jam segini biasanya macet sih Teh,” respon
Pak Sopir sambil melirik ke ponsel di dekatnya, “Saya keluar komplek lewat
jalan belakang saja ya, Teh. Kalau lewat depan lebih macet.”
Waktu menunjukan pukul 17.30. Ekspresi Pak Sopir
agak serius. Dalam hatinya, sebenarnya ia tidak yakin bisa sampai tempat tujuan
dalam waktu satu jam karena lalu lintas Bandung seharian ini padat di mana-mana.
Apalagi sekarang malam minggu sehingga banyak orang menghabiskan waktu di luar
rumah. Untungnya dia sudah beberapa kali menjemput penumpang di komplek ini
sehingga dia tahu jalan terdekat menuju jalan utama. Lima belas menit waktu
berlalu. Sejauh ini mobil masih melaju walau kecepatannya tidak bisa lebih dari
tiga puluh kilometer per jam karena padatnya jalan raya. Setidaknya tidak
berhenti total, begitu pikir Pak Sopir. Sementara itu, Via tenggelam dalam
berbagai aplikasi di ponselnya, tidak berbicara atau memperhatikan jalanan yang
dilaluinya.
Mobil
akhirnya sampai pada titik kemacetan. Lampu lalu lintas yang seharusnya
mengatur arus kendaraan di sebuah perempatan saat ini sedang tidak berfungsi.
Beberapa pengemudi mobil yang tidak sabar menyalip antrian mengakibatkan
kemacetan menjadi semakin parah. Bunyi klakson mobil riuh membuat jalan raya
semakin bising. Kalau sudah begini yang paling diuntungkan adalah pedagang
asongan yang jadi ramai pembeli. Pedagang asongan hilir mudik melewati jendela
Via, menawarkan air mineral, tisu atau sebungkus permen. Begitu juga pedagang
majalah. Via tidak memperdulikan tawaran mereka, berulang kali dia melihat jam
di ponselnya, sudah pukul 18.10 dan posisinya masih jauh dari tempat tujuan,
nampaknya dia akan terlambat. Keresahan Via tertangkap oleh Pak Sopir.
“Duh maaf ya Teh, kayaknya nggak
keburu sampai sana jam 18.30. Ini saya sudah memilih jalur yang paling cepat,
tapi tetap saja kena macet,” Pak Sopir merasa tidak enak, “Ada janji penting ya
Teh?” tanya Pak Sopir sambil terus fokus mengamati jalan raya.
“Emmm mau nonton konser aja sih,
Pak. Sayang aja kalau sudah bayar tiket tapi nggak bisa nonton pertunjukannya
dari awal,” jelas Via sambil masih tenggelam dalam ponselnya. Dia baru saja
mengabari Dewi bahwa dia tidak bisa sampai tujuan tepat waktu.
“Hoooo,
memang mahal banget ya Teh harga tiketnya?” Pak sopir mulai KEPO: Knowing Every Particular Object. Kedua
alisnya terangkat dan matanya membesar, wajahnya antusias ingin tahu.
“Nggak juga sih Pak, cuma tiga ratus ribu aja,”
jawab Via, datar cendrung ketus. Sekilas ia menoleh ke Pak Sopir yang nampak
terkejut mendengar jawaban Via.
“Walah! Tiga ratus ribu mah mahal Teh, uang segitu
bisa untuk bayar uang sekolah anak saya di Solo,” seru Pak Sopir, suaranya
meninggi tanda ia terkejut.
Via sedikit terusik mendengar respon dari Pak Sopir.
Dia lantas berpikir bahwa uang tiga ratus ribu nampaknya sangat berharga bagi
bapak ini, sementara dirinya baru saja menghabiskan uang dalam jumlah yang sama
untuk berbelanja di sebuah layanan fashion
e-commerce ternama. Itulah mengapa sedari tadi Via asik dengan ponselnya
sendiri, dia sibuk memilih-milih sepatu dan aksesoris. Tidak terlalu suka
membahas soal uang, Via pun mengalihkan pembicaraan. Sementara itu mobil masih
terjebak di tengah kemacetan. Hari sudah mulai gelap dan dibuat semakin ramai
oleh klakson-klakson yang bersahutan. Klakson mobil angkot maupun mobil pribadi
sama berisiknya sedari tadi.
“Oh, anak bapak tinggal di Solo?” tanya Via tanpa
bermaksud benar-benar ingin tahu. Ponselnya kini telah ia masukan kembali ke
dalam tas. Ekspresinya sekarang lebih santai dengan senyum tipis di bibirnya
yang juga tipis. Dewi baru saja mengabarinya bahwa dia juga akan datang terlambat
karena masih terjebak macet akibat proyek perbaikan jalan.
“Iya, anak saya masih SMP di Solo, tinggal dengan
ibu saya,” kata Pak Sopir sambil tetap sigap di tengah kemacetan. Dia tidak
membiarkan ada mobil lain menyalip jalannya. Di luar sana, beberapa polisi lalu
lintas terlihat berusaha mengurai kemacetan.
“Hooo.. jadi Bapak di Bandung dengan istri bapak?”
Kali ini giliran Via yang KEPO. Badannya terarah menghadap Pak Sopir,
menunjukan ia mulai antusias dengan pembicaraan ini.
“Oh nggak Teh, istri saya sudah meninggal sekitar
enam bulan yang lalu. Saya ini baru tiga bulan tinggal di Bandung, baru tiga
bulan juga bawa taksi online. Ini juga
bukan mobil saya sendiri, Teh, ini mobil saudara saya yang berbaik hati
menolong,” Pak Sopir menjawab pertayaan Via lebih dari yang Via tanyakan. Via
jadi merasa tidak enak sudah menyinggung soal istrinya.
“Oh maaf Pak. Saya turut berduka cita,” kata Via
berusaha terdengar tulus.
“Nggak apa-apa Teh, kalau sekarang saya sudah bisa
menerima. Walaupun saat itu saya akui sangat berat, satu bulan setelah istri
saya meninggal, bisnis saya bangkrut karena saya ditipu oleh teman sendiri.
Panjang ceritanya,” Pak sopir diam sejenak lalu menarik napas, “Tapi saya
bersyukur Tuhan masih baik sama saya, saya masih punya saudara yang cukup
berada dan baik hati. Saudara saya itu membeli mobil baru untuk dijadikan taksi
online, kemudian menawarkan saya
untuk menjadi sopirnya. Yasudah karena butuh pekerjaan untuk menghidupi anak
dan ibu saya, ya saya terima tawarannya. Jadilah saya pindah ke Bandung.” Pak
sopir bercerita panjang lebar. Suaranya tetap tenang tanpa tersirat adanya
kesan kesedihan atau penyesalan atas apa yang terjadi di hidupnya. Sayangnya,
Via belum dapat mengerti, matanya mengerung heran.
“Istri Bapak meninggal, bisnis Bapak bangkrut, lalu
Bapak harus tinggal jauh dari anak untuk mencari nafkah. Saya nggak ngerti kok
tadi Bapak masih bisa bilang soal bersyukur ya Pak?” Kali ini Via betul-betul
ingin tahu. Kepalanya menoleh memperhatikan Pak Sopir yang seketika tersenyum
lebar.
“Sederhana saja Teh, saya tahu kalau Tuhan mau
memberikan saya cobaan yang lebih berat dari ini, Dia bisa melakukannya, tapi
Tuhan masih baik sama saya, cobaan untuk saya sudah ditakar sesuai kemampuan
saya, dan saya masih diberikan pertolongan. Masa iya saya masih nggak bisa
bersyukur?” Pak Sopir menjelaskan dengan santai, sambil sedikit melirik ke arah
Via yang kini resah dalam duduknya. Penjelasan Pak Sopir membuat Via tiba-tiba
saja merasa…salah.
Pak Sopir berhasil membawa mobilnya ke barisan
paling depan antrian lampu merah yang tidak berfungsi. Petugas kepolisian terlihat
memberikan instruksi jalur mana yang boleh jalan terlebih dahulu dan mana yang
harus berhenti. Pak Sopir memperhatikan aplikasi peta di ponselnya, jalan raya
setelah perempatan ini kelihatannya cukup lancar.
Via masih sibuk memikirkan kalimat Pak Sopir barusan
tentang mensyukuri kehidupan. Wajahnya menegang tanda dia serius berpikir. Hatinya
tiba-tiba merasa tak nyaman mengingat apa yang selama ini dia lakukan. Hidupnya
sangat nyaman karena setiap bulan orang tua Via memberikan uang jajan dan
sering memanjakan dirinya. Dia tidak pernah merasakan kepahitan seperti yang
Pak Sopir alami. Tapi mengapa dia tidak pernah merasa cukup? Selalu ada saja
yang kurang hingga harus dilengkapi, seperti beberapa saat yang lalu dia
membeli sepatu baru karena merasa sepatu yang dipakainya sudah tidak nyaman,
padahal dia masih punya belasan pasang sepatu lain di rumah. Juga selalu ada
saja yang salah sehingga harus dikeluhkan, sebagaimana beberapa menit yang lalu
Via mengeluhkan kemacetan Kota Bandung kepada Dewi di WhatsApp, padahal saat itu dia masih dapat duduk manis menikmati
kemacetan tanpa harus berdesakan di dalam angkot atau harus menghirup asap
kendaraan seperti nasib para pengemudi sepeda motor. Via juga jadi teringat
Ibun di rumah, betapa Via selalu sibuk sendiri dan sering merasa sudah dewasa
sehingga dia tidak menghargai perhatian yang ibundanya berikan. Tiba-tiba saja
mata Via terasa perih seperti ingin menangis, namun ia berusaha menguasai diri.
Via menengok bapak sopir yang duduk di sampingnya,
belum ada satu jam dia berjumpa dengan bapak ini, tapi dia merasa sudah
mendapatkan suatu pelajaran berharga. Ada ratusan taksi online di Bandung, mengapa harus Pak Sopir ini yang menjemput Via?
Pemilik semesta pasti ingin Via belajar dari kisah Pak Sopir. Via membuka
aplikasi taksi online di ponselnya,
dicarinya nama sopir yang sedang mengantarnya, ternyata nama Pak Sopir ini
adalah Hendra. Tiba-tiba saja Via terpikir sebuah ide brilian.
“Pak, anak bapak di Solo, laki-laki atau perempuan?”
tanya Via sambil tersenyum melihat ke arah Pak Hendra. Kali ini dia tersenyum
lebar.
“Perempuan
Mbak, usianya 14 tahun,” jawab Pak Hendra sambil menekan pedal gas mobil.
Akhirnya mobil mereka berhasil lepas dari kemacetan. Pak Hendra melirik jam di
mobilnya. Kalau proyeksi kepadatan jalan di peta ini benar, seharusnya pukul 18.45
penumpangnya dapat tiba di tujuan.
Sementara itu Via menyimpan nomor telepon yang tadi digunakan
Pak Hendra untuk meneleponnya. Anak Pak Hendra perempuan, sangat sempurna untuk
rencananya. Via punya ide, nampaknya aksesoris yang baru saja dia beli secara online akan lebih baik jika dimiliki
oleh putri Pak Hendra. Aksesoris milik Via sudah banyak sekali tersimpan di laci
meja, dia tidak butuh lebih dari itu. Nanti jika barang yang dia pesan sudah
datang, dia akan segera menghubungi Pak Hendra dan mengatakan maksudnya.
Rasanya senang sekali memiliki rencana baik.
Via menghirup napas panjang. Tiba-tiba saja dia menyukai
harum stroberi yang berasal dari pewangi mobil. Hampir satu jam dia berada di dalam
mobil tapi baru sekarang dia dapat menikmati wangi ini.
“Ketika hati
sudah memilih untuk bersyukur, maka rasakanlah ada banyak nikmat yang
sebelumnya tidak kau rasakan.” Kalimat itu terlintas
begitu saja dalam benak Via.
------
Salam,
Venessa
P.S: kalau hari ini nggak post tulisan di blog, besok bisa di kick dari grup #1minggu1cerita. Ahahaha. Syukurlah masih ada stok cerpen di laptop yang belum pernah di publikasikan. Saya share disini saja yaaa. Stay positive, people!
------
Salam,
Venessa
P.S: kalau hari ini nggak post tulisan di blog, besok bisa di kick dari grup #1minggu1cerita. Ahahaha. Syukurlah masih ada stok cerpen di laptop yang belum pernah di publikasikan. Saya share disini saja yaaa. Stay positive, people!