Tampilkan postingan dengan label #MyAdamantiumWays. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #MyAdamantiumWays. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Juni 2018

TANGGUH

Tulisan ini bukan tentang lapangan LNG  British Petroleum nun jauh di Papua sana. Tulisan ini ingin bicara soal kekuatan tekad bocah 8 tahun yang terlihat benar menikmati kondisi hidupnya. Padahal apa yang dia hadapi tidak mudah. Anak kelas 2 SD ini setiap hari berangkat sekolah dari rumahnya di Parung Panjang menuju sekolahnya di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Setiap hari dia berjalan kaki menuju stasiun Parung Panjang, lalu naik commuter line hingga stasiun Tanah Abang, kemudian lanjut jalan kaki lagi menuju sekolah. Pulang ke rumah dia lakukan dengan cara yang sama. Sudah pernah dengar ceritanya? Belakangan ternyata anak ini viral sekali, cuma saya aja yang basi hingga baru tau kisah anak ini kira-kira dua jam yang lalu. Yeah, nama anak ini Alviansyah, atau akrab disapa Alpin.

Saya tahu Alpin bukan satu-satunya anak Indonesia yang harus begitu kerasnya berjuang untuk bisa sampai ke sekolah. Sayangnya masih banyak anak Indonesia yang nasibnya sebelas dua belas dengan Alpin. Tapi kisah Alpin rasanya kena banget di hati saya. Simply, karena saya hampir setiap hari juga naik kereta kayak Alpin. Jalur kereta yang sama, hanya naik di stasiun yang berbeda saja. Tapi bukan itu perbedaan paling signifikan diantara kami. 

Perbedaan terbesar diantara kami adalah, saya mengeluh, Alpin tidak.
Padahal, saya naik mobil dari rumah ke stasiun Rawabuntu, Alpin jalan kaki ke stasiun
Padahal, saya naik Trans Jakarta/taksi/ojek dari stasiun Tanah Abang ke kantor. Alpin jalan kaki ke sekolah.
Padahal, saya naik mobil dari stasiun Rawabuntu kembali ke rumah. Alpin masih jalan kaki.
Sekali lagi pernyataan ini ingin saya ulang: saya mengeluh, Alpin tidak. 
Saya ulang bukan karena saya bangga dengan kondisi yang ada, tapi saya harus mengingatkan diri sendiri bahwa saya itu nggak ada pantes-pantesnya deh ngeluh. 

Anak ini usianya 21 tahun lebih muda dari saya, tapi mentalnya sepuluh juta kali lebih kuat. Orang lain boleh bilang hal itu terjadi karena kondisi ekonomi keluarga Alpin yang susah sehingga memaksanya tumbuh menjadi anak yang tangguh. Tapi menurut saya itu pendapat yang salah, karena Alpin pun punya pilihan untuk menyerah dan tidak sekolah, sebagaimana banyak manusia dewasa lainnya yang menyerah pada keadaan yang sulit. Namun, Alpin tidak mengambil pilihan itu. Dia tetap sekolah di Jakarta, betapa pun jauhnya, betapa pun sangarnya roker (rombongan kereta) berdesakan, betapa pun padatnya stasiun. Anak ini berani, seakan tidak peduli pada hambatan yang dijumpai, fokus sama tujuannya: MAU SEKOLAH.

Saya tersentuh sekali waktu tadi nonton Hitam Putih, melihat wawancara Deddy Corbuzier dengan Alpin dan Caroline Ferry, wanita yang sudah sangat berjasa memviralkan berita ini sehingga dunia bisa tahu ada anak tangguh seperti Alpin. Singkat cerita, dari wawancara itu saya tahu bahwa:

1. Alpin  sekolah di Jakarta karena di kota ini dia bisa sekolah gratis pakai Kartu Jakarta Pintar, sementara kalau sekolah di Parung Panjang dia harus bayar buku. Hal ini menunjukan betapa powerful kebijakan KJP, dan kalau pemerintah Kabupaten Bogor atau dinas pendidikan setempat mendengar berita ini, mestinya jadi tamparan keras untuk berbenah supaya bisa punya sistem semacam KJP atau yang lebih baik lagi, simply supaya jangan sampai ada lagi anak yang mau sekolah gratis aja mesti jauh-jauh ke Jakarta.

2. Alpin ke sekolah cuma dikasih ongkos sama ibunya, kalau pun dikasih jajan biasanya Alpin tolak karena katanya mending buat ibu aja beli beras. Ayah Alpin bekerja sebagai sopir proyekan, tidak selalu pulang ke rumah. Alpin juga masih punya dua orang adik. Alpin bilang ke ibunya kalau dia bisa makan di sekolah karena teman-temanya baik. Seketika saya terharu dengernya. Lagi-lagi cerita ini mengingatkan saya pada nilai relatifitas uang, selembar uang dua puluh ribu bagi ibunya Alpin adalah uang makan sehari untuk sekeluarga. Untuk saya selembar dua puluh ribu bisa hanya berarti segelas kopi yang habis dalam hitungan menit. Nilai ekonomi uangnya sama-sama dua puluh ribu rupiah, tapi nilai urgensi kebermanfaatannya bisa sangat berbeda. Kisah ini juga mengingatkan saya bahwa dalam setiap keberlimpahan yang Tuhan berikan pada seseorang, ingatlah bahwa ada hak orang lain di dalamnya, jadi jangan "dimakan" sendirian.

3. Alpin, walaupun udah capek jalan kaki, tapi kalau di kereta dia masih mau kasih duduk untuk orang lain. Rombongan commuter line sejagat raya dimana pun berada harus belajar dari anak ini. Ini anak punya lebih dari cukup alasan untuk merasa lelah dan nggak mau berbagi tempat duduk, tapi dia masih mau loooh ngasih duduk buat orang lain. Orang dewasa harus ekstra belajar soal empati dengan anak ini. Naik kereta itu nggak perlu norak dorong-dorongan hanya untuk dapat tempat duduk, kalem ajeeeeee (pernyataan terakhir adalah curahan hati saya terdalam).

Saya dapat banyak refleksi dari ketangguhan dan ketulusan Alpin. Semoga kamu jadi orang besar ya, dek. Kamu punya modal ketangguhan yang akan jadi kekuatan sangat berharga, baik di saat ini maupun di masa depanmu nanti. Kamu bilang ingin jadi masinis, kan? Kita memang belum pernah bertemu, oh atau bisa jadi kita pernah satu gerbong, atau berpapasan di stasiun, tapi salah saya yang terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga tidak peduli dengan anak belia seperti kamu yang mungkin sedang berjalan atau duduk sendiri. Saya doakan kamu menjadi masinis terbaik yang pernah ada di negeri ini, atau karena kamu setiap hari naik kereta, kamu cocok deh jadi Dirut PT KAI di masa depan. Jangan takut, dek, ketangguhanmu dalam berusaha akan mengundang bantuan terbaik dari Tuhan kita. Sudah terbukti, kan? Kegigihan kamu menggerakan hati manusia lain untuk membantu kamu dan keluarga.

Kabar terakhir, dibantu oleh sebuah yayasan, Alpin dan keluarga saat ini sudah pindah rumah ke Rusun Benhil, dekat sekolah Alpin. Yayasan tersebut juga akan membantu biaya sekolah kakak Alpin yang sempat putus sekolah, juga memberikan sepeda motor untuk ayah Alpin supaya bisa jadi pengemudi ojek online.

Yeah, ketangguhan Alpin dan kepedulian seorang Caroline Ferry, jadi jalan kebaikan untuk satu keluarga Alpin, juga jadi cahaya inspirasi untuk banyak sekali orang, termasuk saya.
Semoga kamu juga terinspirasi dari kisah ini. Stay positive ya.


Salam,
Venessa Allia

Jumat, 01 Desember 2017

Tips Biar Nggak Malas dari Si Pemalas.


Malas adalah musuh besar bagi setiap individu yang diciptakan Tuhan. Penyakit ini mematikan karena dapat menjadi penghambat rezeki dan keberkahan hidup, juga mematikan potensi-potensi yang sudah ditanamkan Tuhan. Mengalahkan kemalasan pada dasarnya mengalahkan diri sendiri, dan menurut saya hal itu bisa lebih sulit daripada mengalahkan kompetitor atau ratusan individu lain yang sudah jelas di depan mata. Salah satu doa pada dzikir pagi-petang juga ada yang berbunyi “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” Hal ini menurut saya adalah indikator bahayanya kemalasan.

Kalau saya perhatikan, tiap individu pada dasarnya punya sifat malas, hanya kadarnya berbeda. Orang-orang yang terkenal produktif dan memiliki mode of achievement yang tinggi, menurut saya punya kekuatan untuk mengalahkan rasa malas sehingga kadar malasnya menjadi sangat kecil. Malas juga banyak bentuknya, yang pasti semua bentuk kemalasan akan menghalangi manusia dari kebaikan: malas belajar, malah ibadah, malas bangun pagi, atau malas olahraga (yang ini saya akui, menjadi kelemahan terbesar saya).

Sumber: https://id.pinterest.com/hayleysparling/funny-the-simpsons-quotes/?lp=true


Ada banyak faktor yang memperbesar kadar kemalasan, tiga diantaranya menurut saya adalah: 
1. Waktu luang
Saya biasanya jadi jauh lebih produktif di kala deadline, atau waktu terbatas, bukan kebiasaan yang layak ditiru, tapi harus diakui, waktu luang yang tidak bisa dimanfaatkan dengan baik sering kali membahayakan.

2. Udara dingin
Ini teori saya pribadi sih, nggak ada dasar ilmiahnya. Udara dingin itu kenapa sih bikin malas banget bangun pagi, males nyuci baju (karena kena air dingin), males olahraga (yah kalau ini, mau udara panas juga saya suka males sih, errh). Bawaannya pengen di kasur, selimutan sambil baca novel. Sekali-sekali mungkin nggak apa-apa yaa, tapi kalau keterusan bahayaaaa. Mungkin hal ini pula yang menjadi sebab sampai saat ini saya nggak ditakdirkan sekolah di Eropa, nanti kalau musim dingin bisa-bisa saya lemah nggak mau kuliah.

3. Kondisi yang terlalu nyaman.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat bahwa comfort zone itu tidak baik, yang saya permasalahkan adalah jika kondisinya sudah terlalu nyaman. Dimana-mana yang namanya “terlalu” itu tidak baik, kan? Terlalu nyaman juga akan membuat manusia malas bergerak dan berbuat, karena sering kali energi untuk berubah dan berkarya hadir dari ketidaknyamanan.

Sumber: http://runt-of-the-web.com/homer-simpson-quotes


Naaaaaah…
Kenapa saya menyinggung topik “malas” pada tulisan saya kali ini karena saya menyadari ketiga kondisi tersebut ada di dalam hidup saya saat ini. Jadi penyakit malas sedang sangat mudah tumbuh subur dalam diri saya. Dua hari yang lalu, saya baru diberi tahu ternyata CPNS yang proses seleksinya saja kemarin sudah memakan waktu hampir lebih dari 2 bulan, ternyata hari pertama bekerjanya masih di bulan Febuari (pengalaman seleksi CPNS ini memang istimewa, ingatkan saya untuk cerita soal ini nanti). Jadi saya punya waktu luang selama 2 bulan yang harus saya kelola sebaik mungkin. Ditambah lagi udara dingin yang belakangan ini setiap hari menutupi Tangerang Selatan membuat pagi saya semakin menantang. Daan tinggal di rumah bersama orang tua dan asisten rumah tangga, harusnya juga jadi satu indikator kenyamanan. Waktu di Bandung saya tinggal berdua dengan adik sepupu saya, dan karena kami ngurus rumah sendiri, saya lebih punya kesadaran untuk beres-beres rumah. Tapi disini, dengan kehadiran asisten rumah tangga, duh nggak bisa boong, gelora kemalasannya makin jadi aja (cailah gelora).

Naaaah (apaan sih nah-nah-nah mulu, maafin lagi nggak bisa bikin bridging yang lebih asik).
Maksud tulisan ini adalah saya ingin berbagi tips sederhana bagaimana caranya melawan rasa malas supaya lebih produktif menggunakan waktu. Tips ini bukan dari sumber manapun, jadi murni dari pemahaman saya, ditulis oleh saya, dan saya tulis untuk diri saya sendiri, syukur-syukur kalau yang baca bisa menerima dan menerapkannya juga, semoga saya kebagian amal jariyahnya, hihihi. Tips ini banyak saya ambil dari pengalaman saya menyelesaikan tesis. Siapapun yang pernah mengerjakan tesis nampaknya akan setuju bahwa tesis pada hakikatnya adalah perang melawan diri sendiri, dalam hal ini kemalasan dan ketakutan.

Tips Biar Nggak Malas dari Si Pemalas


1. Mandi pagi.
Ini temuan (agak) penting: kalau manusia bisa menaklukan rasa malas mandi pagi, maka (Insya Allah) mereka bisa menaklukan kemalasan untuk aktivitas-aktivitas selanjutnya. Ngebasahin badan sebelum mulai aktivitas menurut saya sangat penting karena bikin badan dan otak lebih segar, secara otomatis ngantuk pun hilang.Saya sendiri lebih memilih mandi pagi dibanding mandi sore (huahaha, ini nggak layak ditiru sih, tapi saya lebih bisa mentoleransi kebiasaan orang yang nggak mandi sore, dibanding nggak mandi pagi). Rasanya saya bisa rungsing banget kalau beraktivitas sebelum mandi, badan rasanya panas. Salah satu teman saya yang sama-sama cewek, memilih untuk nggak mandi pagi dibanding nggak mandi sore, atau dia memilih mandi malam sekalian terus langsung tidur, bangun pagi nggak perlu mandi lagi karena badan masih bersih. Tentunya yang terbaik adalah mandi 2x sehari, cuma kalau seharian di rumah aja, dan tidak berkeringat, apalagi udara dingin, saya rasa mandi sehari itu cukup (save water!!!). Hihihi.

2. Mulailah dengan sesuatu yang mudah dan disukai
Cara ini sering saya lakukan saat beberapa bulan yang lalu menyelesaikan tesis. Ngerjain tesis saat belum deadline, membutuhkan energi aktivasi yang tinggi. Masalahnya saya sadar tidak baik jika selalu menunggu deadline untuk menyelesaikan sesuatu, yang ada jadinya sering stress dan hasil yang dikerjakan tidak optimal karena terburu-buru. Karena mengerjakan tesis adalah pekerjaan yang bagi saya tergolong berat, saya biasanya mulai dengan mengerjakan sesuatu yang ringan dan saya sukai dulu, TAPI jangan keterusan. Misalnya gini, kalau mau ngerjain tesis, saya harus buka laptop. Tapi karena malas ngerjain, saya jadi malas buka laptop, biar saya tergerak buka laptop, saya akan buka laptop dan duduk di meja belajar untuk 30 menit nonton channel yang saya sukai di Youtube dulu. Saya batasi hanya 30 menit. Disini memang butuh kontrol diri supaya nggak keterusan. Karena laptop sudah terbuka, dan saya sudah dalam posisi duduk di meja belajar, maka secara fisik saya sudah siap untuk mulai ngerjain tesis, jadi saya akan lebih tergerak untuk buka dokumen tesis. Cara ini efektif bagi saya. Atau bisa juga dimulai dari mengerjakan bagian tesis yang gampang-gampang dulu, misal merapikan tata bahasa untuk bab tinjauan pustaka, merapikan tabel atau pekerjaan lainnya yang printilan tapi penting. At least I make a progress.


3. Follow Instagram orang-orang yang produktif dan berprestasi
Instagram (IG) menjadi satu-satunya media sosial yang aktif saya gunakan saat ini. Instagram juga media sosial yang ASLI efektif banget membunuh waktu dan bikin males. Saya juga susah jelasin kenapa explore dan scrolling timeline IG bisa semenarik itu. Biar lebih berfaedah, saya dengan sengaja follow IG teman atau kenalan atau temennya temen yang saya tahu punya prestasi dan produktivitas tinggi. Melihat aktivitas mereka melalui post mereka di IG biasanya akan membuat saya termotivasi untuk KEEP MOVING FORWARD. Apalagi orang-orang ini juga berusia tidak jauh dari usia saya, jadi kalau saya malas saya suka keingetan mereka “heloo saat kamu males-malesan, itu temen kamu lagi belajar keras di Amrik dan bangun bisnis.”


Sumber: https://id.pinterest.com/explore/stop-being-lazy/?lp=true



4. Buat jadwal!
Membuat jadwal juga menjadi cara saya melawan gelora kemalasan mengerjakan tesis dulu (apa siiih geloraaa). Cara ini juga akan saya terapkan untuk 2 bulan ke depan biar waktu luang saya nggak terbuang percuma. Jadwal bisa dibuat dimana saja: handphone, buku catatan, tapi kalau saya lebih suka tulis jadwal di board dan tempel di dinding kamar. Pakai paper board yang bisa dengan mudah dihapus untuk membuat jadwal tetap rapi dan fleksibel.  Senangnya menulis jadwal adalah saat selesai menyelesaikan target aktivitas pada hari tersebut, kemudian saya bisa mencoret daftar aktivitas tersebut di jadwal. Jadikan hal itu sebagai kesuksesan kecil yang akan membawa setiap usaha ke kesuksesan yang lebih besar. Kebiasaan ini highly recommended untuk siapa pun yang sedang mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Punya jadwal kerja bisa jadi strategi melawan rasa malas. Misalnya ya, pagi ini saya punya jadwal untuk menulis Bab 3. Kira-kira saya butuh waktu 4 jam. Saya bisa bilang ke diri saya saat godaan malas itu muncul “Oke, habis 4 jam ngerjain tesis, gue boleh males-malesan nonton tv di sofa.” Nah, biasanya, setelah 4 jam, badan dan otak keburu “panas” karena sudah dipakai berpikir, saya jadi nggak mood males-malesan, jadi bisa lanjut ngerjain tesis lebih lama atau berlanjut ke produktivitas selanjutnya. Punya jadwal kerja juga baik untuk menguraikan keruwetan saat banyak hal harus dikerjakan. Jadi saat hari Senin, fokus untuk mengerjakan target pekerjaan di hari itu dan biarkan pekerjaan lain dipikirkan pada hari lain yang sudah dijadwalkan. High productivity, less stress.


5. Ingat segala ajaran yang meyakinkan bahwa waktu adalah harta yang berharga. Untuk muslim, bisa dibaca lagi tuh tafsir surat Al-Ashr.
Rasa malas sering kali hadir dari keyakinan bahwa manusia punya banyak waktu. Dari pikiran tersebut, tumbuh pilihan untuk menunda pekerjaan atau memilih lebih dulu melakukan sesuatu yang tidak penting. Padahal banyak sekali ajaran yang seharusnya cukup memberikan pemahaman tentang betapa berharganya waktu karena sifatnya terbatas, dan kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan, bahkan satu detik dari detik ini pun, manusia tidak tahu apa yang bisa terjadi. Untuk muslim, ayatnya tertulis jelas di Surat Al-Ashr ayat 1: Waal'ashri (Demi Masa).
Bahkan Allah menjadikan waktu sebagai sumpah. Karenanya waktu adalah perkara yang sangat serius, dan seharusnya setiap muslim nggak boleh main-main sama waktu.

6. Beri penghargaan untuk diri sendiri
Karena saya merasa juga pemalas, dan saya tahu melawan rasa malas itu sulit, maka bagi saya penting untuk menghargai diri sendiri setiap berhasil menaklukan rasa malas tersebut. Bentuk penghargaannya bisa apa saja. Dulu waktu ngerjain tesis (sorry, contohnya ini mulu, soalnya paling gampang dan berhubungan banget sama konteksnya), setiap selesai bimbingan saya akan membeli makan malam yang lebih mewah dari biasanya, atau saya akan jajan sesuatu yang lebih istimewa , segelas es kopi yang lebih premium dibanding Nescafe kemasan kaleng misalnya. Walaupun sehabis bimbingan selalu berakhir dengan PR dan kepusingan baru, tapi setidaknya saya ingin menghadiahi diri saya karena berhasil menyelesaikan target di minggu sebelumnya.

Naahh (please, stop this “nah” things).
Demikian tips melawan rasa malas yang saya susun ala-ala artikel HipWee. Hahaha. Tulisan ini juga dibuat dalam rangka janji menunaikan #1minggu1cerita. Semua yang saya tulis diatas adalah pandangan dan pengalaman saya. Berhasil untuk saya, siapa tahu berhasil juga untuk kamu.

Tulisan hari ini akan saya tutup dengan lirik lagu Tulus. Duh saya lagi suka-sukanya sama Abang Bukittinggi satu ini.

"Lekas, hentikan tangismu. Lekas, hargai nafasmu. Lekas, waktumu sangat terbatas." (Lekas - Tulus)

Keep moving forward, and stay positive yaaaaaa.

Salam,

Venessa Allia. 

Kamis, 22 Juni 2017

It's A Wrap!

Haaiiii!! 
Udah 3 hari laptop ini mati setelah sebelumnya hampir setiap hari dinyalain. Hari ini buka laptop bukan untuk ngerjain tesis, tapi untuk ngasih tau ke dunia kalau:

TESIS GW SUDAH SELESAI! SEBENTAR LAGI WISUDA!!

Sekolah lagi adalah bab tersendiri dalam hidup gw, dan ngerjain tesis adalah subbab terpanjang dalam bab ini. Beneran deh, kalau cuma kuliah-ujian-kuliah-ujian doang, gw rela kuliah sampe post doc sekalian, tapi ngerjain tugas akhirnya itu yang pusing dan nggak santai. Tapi alhamdulillah bisa selesai juga. Teman-teman, percayalah berkah Ramadhan itu nyata adanya. Gw bener-bener ngerasain, hehehe. Awalnya, ragu-ragu untuk maju sidang periode ini, soalnya deadline-nya ketat banget dan gw merasa tidak ada energi untuk ngejar deadline tersebut. Terus singkat cerita, saat ketemu dosen pembimbing untuk izin nggak jadi maju sidang, eeeh dia malah nggak ngizinin :D. Malah dikasih motivasi untuk maju sidang aja, kata beliau "saya jarang-jarang nih kayak begini, biasanya anaknya mau maju sidang, tapi saya nggak kasih. Kalau kamu sayang nggak maju sekarang karena selama ini progresnya cepet. Udah maju aja, biar nanti pas lebaran kalau ditanya "kapan sidang?", bisa jawab "udah sidang". Ahahaha bapak nggak tau aja, pertanyaan "kapan" paling malesin saat lebaran bagi saya adalah bukan "kapan sidang", tapi "kapan" yang lainnya :p. Yah, singkat cerita obrolan dengan beliau waktu itu efektif meningkatkan semangat gw untuk "lari sedikit lagi karena garis finish udah kelihatan :)" Ah thanks a lot pak!.

Keajaiban Ramadhan lainnya terjadi di H-1 sebelum sidang, dimana dosen penguji yang gw khawatirkan dari setelah Seminar 1 (fyi, gw merasa mental breakdown setelah Seminar 1 karena merasa dibantai habis, hahaha), beliau tidak bisa jadi penguji gw karena harus keluar kota. Syalalalala. Beneran ajaib banget rasanya, karena H-2 gw masih ketemu beliau, gw bilang ke beliau kalau berkas sidang gw udah gw taro di ruangannya. Dia sudah mengiyakan. Gw sudah pasrah. Tiba-tiba besok paginya, temen gw whatsapp ngasih tau kalau beliau ke luar kota. Dengan polosnya dia bilang "Kak, doa kak venes diijabah nih, si ibu keluar kota". Terus gw bengong aja baca whatsappnya, sambil habis itu rasanya pengen sujud syukur, hehehe. Entah mengapa gw menganggap ini berkah Ramadhan, pertolongan Allah :). Apalagi kalau inget jadwal sidang gw yang lebih cepet dari waktu yang diajukan. Gw ngajuin sidang tanggal 13 Juni, terus jadinya malah tanggal 8 Juni. Gw udah minta mundurin, eh pembimbing gw gak bisa. Yaudah aja gw pasrah. Hingga akhirnya H-1 sidang, begitu tau ada perubahan di line up dosen penguji gw, rasanya gw malah bersyukur sidangnya dicepetin jadi tgl 8, hihihi. Masih ada kemudahan-kemudahan lain juga, termasuk sidang 2 jam yang ternyata tidak semenakutkan yang gw bayangkan. Nggak semua pertanyaan bisa gw jawab, bahkan ada yang salah jawab. Tapi secara keseluruhan menurut gw, gw bisa menguasai sidang tersebut dengan baik. Revisi tetap ada, tapi bisa diselesaikan, hingga Selasa, 20 Juni yang lalu, gw berhasil menyerahkan ini:
Nggak tau kenapa selesai ngerjain tesis rasanya lebih puas dari ngerjain TA. My masterpiece. Semoga bermanfaat. Semoga jadi amal jariyah. Amiiin

Ngomong-ngomong soal revisi, ada satu pelajaran penting yang gw dapet banget dari proses mengerjakan tesis ini. Gw nggak inget pernah mengerjakan sesuatu yang digempur sama kritik dan revisi sebanyak ketika mengerjakan tesis. Ada saat-saat dimana gw merasa "duh kok gw stupid banget yaa". Ada juga suatu titik dimana gw merasa kayaknya yang gw tulis udah bener semua, tapi teteep ajaa ada kurangnya. Hahaha. Gw bukan orang yang pay more attention to detail, apalagi perfeksionis, Tapi proses mengerjakan tesis ini nampaknya berhasil meningkatkan standar ketelitian dan kesempurnaan pekerjaan gw. Sebenernya waktu dijalanin rasanya lebih banyak kesel dan capeknya, tapi sekarang gw bisa paham kalau itu semua adalah konsekuensi dari pilihan gw untuk sekolah lagi. Atas nama cita-cita dan hasrat mengembangkan diri, dua tahun lalu gw memutuskan untuk kembali ke sekolah, dan semua rasa lelah, pusing, kesal yang dirasakan selama prosesnya, sebenarnya cuma tanda kalau gw sedang berkembang. Jadi mustinya gw bersyukuuuur :)

Beberapa orang pernah bilang kalau S1 di ITB itu lebih susah dari S2nya. Buat gw nggak seperti itu. Kalau buat gw, S2 di ITB lebih banyak kasih pelajaran. Entah efek gwnya yang lebih dewasa dalam menjalani kuliah ini atau emang prosesnya yang sulit. Resign kerja dan masuk sekolah lagi dengan semua ketidakpastian masa depan, mungkin bukan keputusan yang bisa dipahami semua orang. Di tengah perjalanan gw menyelesaikan sekolah ini pun gw sempat kepikiran “gw ngapain sih sekolah lagi?”, tapi terus gw inget lirik lagu Kunto Aji “Ingatlah mimpimu, yang kau kejar dulu, jangan layu, jangan kau ragu-ragu sekarang” (Pengingat - Kunto Aji). Insya Allah, I am on the right track :). 

Gw termasuk orang yang percaya bahwa setiap kejadian dalam skenario hidup manusia itu bersifat unik, spesifik, disesuaikan dengan “desain” orang tersebut. Makanya gw nggak percaya ada orang yang hidupnya 100% sempurna, yang ada orang yang pintar menyembunyikan kesedihan atau orang yang jago bersyukur. Dan dengan segala desain yang Allah tetapkan pada diri gw, gw merasa mengerjakan tesis adalah ujian yang menantang. Jutaan orang udah ambil kuliah master. Ribuan orang ambil master di ITB. Sebanyak itu pula orang-orang sudah mengerjakan dan menyelesaikan tesis. Harusnya menyelesaikan ini semua tidak jadi terlalu istimewa ya? Tapi bagi gw, bisa menyelesaikan ini semua sesuai target adalah sebuah prestasi tersendiri. Rasanya pengen nepuk-nepuk bahu sendiri lalu bilang “goodjob Allia!”. Gw banyak belajar dari seluruh proses S2 dan mengerjakan tesis ini. Bukan cuma soal keilmuan yang berkaitan Life Cycle Assessment (topik tesis gw), tapi jauh lebih dari itu. Untuk siapapun di luar sana yang sedang mengerjakan tugas akhir, gw ingin sharing tentang refleksi yang gw dapat dari keseluruhan proses ini. Semoga ada manfaat yang bisa diambil. Ada tiga hal yang gw pelajari:

  1. Apapun obstacle yang gw temui, boleh bikin gw lelah dan istirahat, tapi gw nggak boleh berhenti. Karena berhenti adalah saat tugas sudah selesai, bukan saat tugas ini buntu atau kepala pusing. Silahkan istirahat, tapi jangan kelamaan karena pekerjaan ini juga tidak akan “selesai dengan sendirinya”. Keep moving forward, Insya Allah ada jalan J
  2. Tugas akhir itu selalu tentang perjuangan mengalahkan diri sendiri. Nggak usah peduli dengan pekerjaan orang lain. Nggak usah terganggu dengan pencapaian yang lain. Karena menurut gw dalam menyelesaikan tugas akhir, yang harus dikalahkan adalah ego diri sendiri. Malas, takut, khawatir, ragu-ragu, nah itu adalah musuh utama yang memperlambat speed kerja kita. Takut ketemu dosen pembimbing? Gw juga ngalamin bangeeet. Deg-degan nggak jelas tiap mau bimbingan. Takut yang udah dikerjain nggak disetujuin. Takut ganti judul. Pokoknya takut segala rupa. Tapi masalahnya ya gw musti bimbingan. Keadaan bisa makin parah kalau gw nggak bimbingan dan gw tidak akan menghasilkan progres apapun kalau nggak bimbingan. Jadi sekarang tinggal soal keberanian menghadapi apapun yang harus terjadi. Kalau harus dimarahin yaudah telen aja :D. Percayalah dosen-dosen itu sedikitpun tidak punya niat jahat, mungkin mereka cuma mau mengajarkan mahasiswanya apa yang disebut dengan tough love, hehehe. Dan ternyata setelah sekian kali bimbingan, gw jadi makin yakin kalau ketakutan itu hanya ada di pikiran sendiri aja, hahaha. Kalau kata ceramahnya Aa Gym "jangan suka mendramatisir masalah, jadi nelangsa karena pikiran yang dibuat sendiri". Hahaa waktu pertama kali denger ceramah itu rasanya nampol banget :D. 
  3. Nggak semua hal bisa kita kontrol. Jadi untuk hal-hal yang diluar kekuasaan kita, sudahlah daripada pusing, percaya ajaaa. Percaya pada diri sendiri, percaya pada pihak-pihak yang membantu, percaya pada dosen pembimbing, percaya pada proses yang dilalui dan lebih dari itu semua, percaya sama pertolongan Tuhan :)

Hmm..tapi gw sadar sih, bisa nulis tiga point diatas juga karena sudah menyelesaikan ini semua. Waktu ditengah proses juga rasanya up and down. Bersyukur banget punya banyak teman baik yang mau dicurhatin kalau lagi lelah J.

Agustus 2015, gw memulai semua konsekuensi yang harus gw tanggung dari keputusan untuk sekolah lagi. Insya Allah Juli 2017, bab “Allia ambil S2” akan tamat, dan berganti dengan cerita baru lainnya. Bukankah setelah selesai satu urusan kita harus bersungguh-sungguh untuk urusan yang lain? Minta doanya yaaa. Semoga ilmu ini berkah, semoga jadi jalan dakwah, jadi jalan rezeki (jalan jodoh juga termasuk didalamnya :p), semoga jadi jalan untuk bisa menjadi khalifah yang lebih baik di muka bumi. Ammmiinn.

Ohiyaaa, ibarat pemenang Grammy Award, gw ingin bilang terimakasih untuk semua pihak yang udah membantu gw selama 2 tahun ini. Nggak mungkin banget bisa menyelesaikan ini semua sendirian. Mustahil. Gw akan selalu ingat semua proses dan kebaikan orang-orang, supaya gw sadar untuk tidak boleh tinggi hati. Please, untuk siapapun di sekitar gw, kalau suatu hari merasa gw malah jadi sombong karena udah beres S2, Anda dipersilahkan jedotin kepala saya ke tembok, biar saya sadar lagi.

Terimakasih sudah berkenan membaca. Maafin kalau redaksionalnya nggak bagus, antar paragraf nggak koheren. Ini bener-bener tulisan spontan, ngeluarin isi hati dan isi kepala J

It’s a wrap baby, it's a wrap!!


Salam,

Venessa Allia

Senin, 15 Agustus 2016

Celotehan

Waktu.
Menyimpan banyak kejadian.
Ada yang berubah, ada yang tetap sama.
Ada yang pindah, ada yang senantiasa setia.
Ada yang terungkap, ada yang masih misteri.
Beberapa yang jadi lebih baik.
Beberapa lagi malah makin hancur.

Haha, inilah grand design Tuhan atas hidup saya dan semua orang.
Ujung-ujungnya sih kalau udah nggak tau lagi harus gimana, lebih baik saya kembali ke konsep dasar:
Kalau hidup sedang pahit, maka luaskan hati dengan ikhlas, karena hati yang luas akan membuat pahit itu tidak terasa. Kalau terhimpit masalah, cukuplah sabar dan sholat jadi penolong, karena katanya manusia tidak diminta untuk cari solusi dari masalah, katanya manusia cuma disuruh sabar dan sholat.
Dan satu lagi, keterampilan penting yang baru-baru ini saya sadari penting untuk dimiliki: Menertawai keseriusan. Kalau udah kelewat pusing, diketawain ajalah. Ohiya satu lagi, jangan lupa bersyukur Allliaaaa, jangan pernah lupa bersyukur. Sungguh sangat banyak hal di hidup ini yang lebih dari layak untuk disyukuri

--
Nggak jelas banget ini gw nulis apa sih.
3 bulan ini blog gak di tengok, skill nulis udah turun dari level tiarap ke level tenggelam dibawah permukaan tanah. Anyway, terimakasih Bandung, Azka, Loghy dan Reni yang hari ini sudah meningkatkan level positivity gw jadi 100x lipat lebih baik dari sebelumnya :)

Salam,
Venessa Allia

Selasa, 03 November 2015

Rule Base

Hari ini gw mendengar satu cerita yang bikin gw kagum sendiri.
Gw tidak bisa mendetilkan ceritanya seperti apa, karena subjek cerita ini bukan hanya gw, tapi juga beberapa orang lainnya. Rasanya tidak etis menceritakan pengalaman pribadi orang lain dalam blog sendiri.
Gw tidak bisa membagi kisahnya, yang ingin gw bagi adalah pelajaran dari kisah ini.
Hari ini gw dibuat kagum dengan satu lagi skenario Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lika-liku, belokan dan pertanyaan pada akhirnya berujung pada sebuah jawaban.
Seketika ketika cerita itu sampai ke telinga gw, hati gw berbisik “Ya Rabb, ternyata inilah tujuan-Mu”
Ketika dulu gw (dan mungkin orang lain selain gw) bertanya “apa arti ini semua”, nampaknya kini sudah ada jawabannya, dan jawabannya adalah sesuatu yang baik. Ternyata “everything happens for a good reason” bukan sekedar kalimat jargon J

Ini abstrak banget kalau dilanjutin. Tapi gw ingin mengaitkan pelajaran hidup ini dengan pelajaran yg gw dapat di kelas. Gw keingetan salah satu materi di mata kuliah Konservasi Sistem Lingkungan yaitu tentang  Rule Base System. Apa itu Rule Base?

Rule Base adalah suatu aturan yang dapat menjelaskan secara LOGIKA akan hubungan antar komponen sesuai dengan tipe relasinya. Tipe relasi ada beberapa macam, bisa berupa SEBAB-AKIBAT, bisa sebuah PROSES, bisa juga berupa KRONOLOGI.

Nah, seperti itu pula kejadian-kejadian yang terjadi di kehidupan manusia yang di desain oleh Tuhan. Ada Rule Base-nya. Ada aturan yang menjelaskan hubungan antara komponen (manusia) itu seperti apa. Hanya saja konteksnya disini jauh lebih mendalam, karena ternyata  nggak cukup LOGIKA MANUSIA untuk menjelaskan. Tidak seperti prinsip Rule Base di dunia pemodelan yang amat logis dan (sebenarnya) sederhana. Dunia sebenarnya terlalu kompleks untuk menjelaskan sesuatu hanya dengan LOGIKA. Butuh hal lain, yaitu kepercayaan. Abstrak? Memang! Tapi pada kenyataanya hanya logika saja tidak mampu memberikan penjelasan atas banyak kejadian terkait hubungan manusia. Lalu apakah kepercayaan mampu menjelaskan? Kalau gw sih memilih untuk percaya bahwa kepercayaan akan memberikan manusia kekuatan untuk sabar hingga menemukan bahwa ada makna kebaikan di balik setiap kejadian. Masalahnya hanya kadang butuh waktu hingga hal itu terjawab J. Mungkin quote “segala sesuatu terjadi untuk alasan yang baik” perlu ditambahkan kalimat syarat di belakangnya yaitu “jika kamu mau percaya” J  

Yaah..sayangnya gw tidak mungkin memakai alasan “kepercayaan”  kalau dosen gw nanya “Jadi menurut kamu dalam konservasi DAS Hulu Citarum, apa hubungan interaksi yang terjadi antara air sungai dan sedimen”.  Yaa bisa aja sih gw jawab kayak gitu, cuma mungkin akan berakhir dengan dosen gw mengeluarkan pernyataan “Kamu kayaknya tidak cocok dengan kuliah saya”, hahaha.

Baiklah. Gw akan menutup tulisan ini dengan quote dari seorang teman yang lebih memilih untuk disebut Anonim, “Life is full of surprises at every turn” . Stay positive yaa.


Salam,

Venessa Allia 

Jumat, 05 Juni 2015

10 Minggu Itu



Pasti sudah sering dengar kalau waitu itu bersifat relatif.
Satu jam bisa jadi waktu yang lama bagi orang yang sedang menunggu, sekaligus bisa jadi waktu yang sangat cepat untuk orang yang sedang menghabiskan waktu bersama orang terkasih sebelum kembali berpisah.

Kalau 10 minggu, menurut kamu itu waktu yang lama atau sebentar?
Awalnya gw pikir 10 minggu adalah waktu yang lama. Tapi karena 10 minggu terakhir ini gw lalui dengan berbeda, membuat 10 minggu menjadi berlalu express. Proses yang gw mulai di minggu terakhir bulan Maret, eh besok sudah mencapai titik finalnya.

Di tulisan-tulisan sebelumnya, gw sudah beberapa kali menyebutkan bahwa gw sedang mengikuti training yang berjudul “Self Transformation”, atau gw biasa sebut dengan eSTe. Kalau ada yang nanya, setelah 10 minggu training ini gw jalani, lalu gw sudah berhasil transform menjadi apa? Gw akan jawab bahwa  gw sudah transform menjadi.. ranger pink, haha.

Kalau mau flashback tentang apa saja yang sudah terjadi selama 10 minggu ke belakang. Gw mendapatkan banyak pelajaran tentang diri gw sendiri. Dalam 10 minggu terakhir, gw yang sering terjebak dalam keragu-raguan ternyata punya keberanian untuk mengambil keputusan dan hidup dengan segala resikonya. Bagi gw ini temuan penting yang akan gw jaga sampai sepanjang hidup, karena pasti masih akan ada banyak pilihan-pilihan di masa depan yang mengharuskan gw untuk kembali membuat keputusan-keputusan.

Dalam 10 minggu terakhir, gw pun merasakan dan mengalami sendiri kalau overthinking itu berbahaya. Pikiran ini diberikan Tuhan ke manusia memang untuk dipakai, tetapi tidak untuk dipakai secara berlebihan seperti memikirkan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum terjadi dan hal-hal negatif lainnya yang sebenarnya hanya ada di pikiran gw sendiri. Gw sebut overthinking ini sebagai penyakit baru yang melemahkan manusia, membuat mereka terbelenggu dan tidak bisa berbuat bebas. Gw tidak menyangka spontanitas itu sepenting ini. Spontan dan lakukan apapun resikonya. Karena akan selalu ada resiko yang ditanggung dari setiap pilihan manusia kan? Jadi gw tidak pernah akan lepas dari resiko-resiko setiap pilihan-pilihan hidup gw. Tapi selama gw mengerjakan sesuatu yang baik, maka akan seburuk apa sih resiko nya? Insha Alloh akan selalu ada jalan kemudahan di setiap kesulitan. Nah keberanian gw Paralayang beberapa minggu kemarin (baca tulisan gw setelah ini), adalah salah satu tindakan spontanitas gw. Kalau gw ovethinking, mikirin takut celaka, ngeri, nggak aman dan sebagainya.. pasti gw nggak mau ikutan. Tapi spontanitas membuat gw berpikir “lakukan saja apapun resikonya” dan gw pun merasakan luar biasanya sensasi terbaaang.

Di 10 minggu kemarin juga gw cukup banyak dikesalkan oleh my monkey mind (istilah baru yang gw dapatkan  untuk orang-orang yang pikirannya mudah berubah dari satu hal ke hal yang lain, atau dengan kata lain susah fokus). Pada pekerjaan-pekerjaan kecil saja gw dengan mudah terdistraksi, apalagi pada rencana dan pekerjaan-pekerjaan besar yang harusnya menuntut gw punya fokus dan kesungguhan yang lebih kuat.  Masalah ini adalah PR yang harus gw selesaikan, heft. Mudah-mudahan nggak butuh seumur hidup untuk menyelesaikannya ya.    

Sepuluh minggu terakhir ini gw juga dikelilingi orang-orang yang sama-sama sedang berproses seperti gw. Mereka yang dengan ikhlas mendukung dan mengingatkan gw saat gw berada di lowest point. Mereka yang juga sedang dalam proses transformasi, memberikan gw juga banyak pelajaran baru. Senang sekali bisa kenal dan menjadi bagian dari mereka, menyaksikan mereka satu per satu berproses dan berhasil mencapai target-targetnya. Setiap minggu kita kumpul bareng, baik di dunia nyata atau dunia maya, saling menceritakan progressnya masing-masing. Dan mendengar cerita dari teman-teman, rasanya seperti bercermin, karena sering kali gw merasa pernah merasakan hal yang sama. Untuk Areji, Adrian, Sari, Sari Asih, Ferdi dan Satria, terimakasih yaaaa . You are the best guys.
Sebagai penutup, sepuluh minggu ini selain menjadi 10 minggu yang sangat produktif, gw mendapat banyak hikmah dan lesson learned, yang gw niatkan akan gw jaga dan bawa di sisa hidup gw ke depan. ST memberikan gw nilai-nilai baru yang jauh lebih positif dibandingkan segala pikiran negatif di otak gw. Gw mengambil kesimpulan bahwa ikut eSTe adalah salah satu keputusan yang sangat baik yang gw pernah lakukan. Terimakasih yaaa kalian semua. Terimakasih telah memfasilitasi gw dalam setiap proses ini. Terimakasih telah jadi bagian dalam cerita-cerita gw.



special thanks untuk Areji, karena nggak pernah lupa mengabadikan moment-moment seru kita :)

Stay positive yaa.
Salam,
Venessa Allia

Minggu, 03 Mei 2015

Ada Apa Dengan Fokus (AADF)


Adakah dari kalian yang saat ini sedang membaca blog gw yang punya masalah dengan FOKUS? Ataukah hanya gw yang punya masalah seperti ini?

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata fokus memiliki definisi yang berkaitan dengan ilmu optik, yaitu:
Titik atau daerah kecil tempat berkas cahaya mengumpul atau menyebar setelah berkas cahaya itu menimpa sebuah cermin atau lensa, berkas cahaya yang datang berada dalam keadaan paralel dengan sumbu cermin atau lensa itu.

Kemudian, kata fokus mengalami perluasan makna. Kata fokus tidak lagi sebatas istilah dalam ilmu pasti, namun juga merujuk ke suatu keadaan dimana konsentrasi dan perhatian manusia berkumpul pada suatu objek (ini definisi versi gw sendiri). 
Dan gw saat ini, bermasalah dengan kedua konteks kata fokus tersebut:
  1. Masalah #1: Mata gw semakin kesulitan untuk fokus melihat atau membaca sesuatu dari jarak jauh. Minus mata gw kayaknya nambah, bisa jadi kacamata yang sekarang udah nggak cocok. Gw harus segera meluangkan waktu ke dokter mata atau masalah terhadap fokus yang satu ini bisa bertambah parah.
  2. Gw susah banget fokus mengerjakan sesuatu dari awal hingga selesai tanpa terdistraksi hal yang lain. Dan penyakit ini rasanya sudah semakin parah :(

Gw ingin cerita masalah gw terhadap fokus di point kedua. Gw menyadari hal ini sudah mulai menggangu efektifitas dan produktifitas gw karena sekarang kalau ngerjain sesuatu rasanya jadi lebih lama. Pekerjaan yang mungkin harusnya bisa selesai dalam 10 menit, jadi selesai lebih lama, karena setelah 5 menit mengerjakan pekerjaan tersebut gw mulai melirik untuk melakukan pekerjaan yang lain. Akhirnya fokus gw berpindah beberapa saat, baru kemudian kembali lagi ke pekerjaan pertama. Alhasil pekerjaan pertama yang seharusnya lebih prioritas untuk diselesaikan membutuhkan waktu lebih lama untuk selesai. Oiya, satu lagi PR gw yang sangat besar, fokus dalam ibadah. Kita sama-sama tahu kalau ibadah harus dilakukan dengan khusyu’, tapi untuk gw pribadi sampai saat ini masih sering kesulitan melakukannya :(

Tidak hanya terkait pekerjaan atau tugas apapun yang harus diselesaikan, fokus dalam kehidupan juga sama pentingnya. Pernah nggak lo sudah yakin menetapkan suatu tujuan lalu gamang di tengah jalan karena melihat hal lain yang lebih menarik, atau gamang karena perkataan orang lain yang membuat ragu? Itulah saat dimana fokus kita terganggu. Ini bukan berarti berganti tujuan adalah sesuatu yang salah, kadang kala kita memang perlu “belok” dulu sebelum kembali berjalan lurus menuju tujuan yang sudah ditetapkan. Tapi bagaimanapun juga, hidup manusia dibatasi oleh waktu kan? Jadi sederhananya, kalau selama hidup manusia tersebut tidak fokus dan kebanyakan belok, apa nggak takut kehabisan waktu sebelum tujuan tersebut tercapai? (ini gw ceritanya lagi ngomong sama diri sendiri)

Gw sadari salah satu sumber ketidakfokusan gw adalah handphone! Terlibat di banyak grup Whatsapp (WA) sebenarnya cukup bermanfaat karena sering kali mendapat informasi tentang berbagai hal yang berbeda, tapi di sisi lain kalau grupnya udah berisik nggak karuan, yang ada jadi ganggu hahaha. Semakin lama gw merasa semakin attach dengan Whatsapp, karena rasanya kalau ada message di WA, pengen buru-buru langsung balas, padahal mah santai aja keleus, kalau emang urgent yang Whatsapp juga bakal nelvon. Media sosial juga sangat distraktif. Arus media sosial yang amat deras seperti saat ini membuat hidup kita terkadang seperti dikuasai oleh media tersebut. Padahal helloow..kita hidup di real life bukan di virtual life. Tanpa bermaksud untuk nyinyir sama siapapun pengguna media sosial, karena gw pun termasuk user aktif di Path, menurut gw sebagai pengguna medsos, harusnya kita yang menguasai medsos, jangan biarkan medsos menguasai kita, atau mood kita :)
 
Sebagai seseorang yang sedang dalam usaha memperbaiki masalah terkait fokus, gw ingin berbagi tips “5 cara mempertahankan fokus versi Venessa Allia”. Tips ini sejujurnya belum terbukti 100% efektif, karena cara-cara ini gw develop selama masa pembelajaran. Selayaknya proses belajar, selalu ada trial dan error kan?. Yah siapa tau kalau tips ini belum efektif buat gw, bisa jadi efektif buat kalian yang membaca :)

(1) Matikan semua notifikasi media sosial dan mute semua grup di handphone.
Jangan biarkan pop up-pop up notifikasi di HP mendistraksi fokus kita ketika sedang menyelesaikan pekerjaan. Inget juga logika sederhana berikut ini: Kalau ada yang urgent, orang pasti bakal nelvon, bukan whatsapp.


(2) Log out media sosial saat melihatnya sudah tidak lagi menyenangkan 
Gw nggak tau apakah hal ini berlaku untuk orang lain, atau hanya terjadi pada diri gw sendiri. Tapi kebanyakan melihat “kehidupan” orang lain di media sosial kadang rasanya muak dan menyebalkan? Bener gak? Hahaha. Nah kalau udah merasa begini, gw memilih untuk log out media sosial tersebut, karena gw tidak akan membiarkan media sosial merebut kepositifan gw. Gw sering merasa media sosial membuat hidup gw semakin mudah terpengaruh cara hidup atau bahkan tujuan hidup orang lain. Tapi gw pun tidak bisa menolak media sosial secara total karena untuk bertahan hidup di zaman sekarang, gw pun butuh media soial. Oleh karenanya log out media sosial untuk beberapa saat saat dia sudah mengganggu fokus, menurut gw adalah cara yang tepat.

(3) Sholat bagi yang Muslim, atau (mungkin) meditasi bagi yang lainnya
Menurut gw nih ya, semakin banyak keinginan, semakin sibuk dengan kegiatan, semakin banyak pekerjaan, maka semakinlah kita tidak fokus (ini menurut gw, pendapat gw bisa benar, bisa salah :p). Pernah nggak ngalamin punya banyak hal yang harus dikerjain sampai akhirnya bingung mau ngerjain yang mana duluan sampai akhirnya lagi nggak ada satupun yang selesai dikerjain? Hahaha gw pernah! Dan menurut gw itu terjadi karena fokus gw yang terganggu. Dulu gw percaya kalau manusia itu bisa multitasking, tapi makin lama kepercayaan tersebut makin memudar karena sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa multitasking adalah mitos (silahkan googling “multitasking is a myth”, ada banyak artikel yang mendukung pernyataan tersebut). Nah, kalau udah mulai lieur sama banyaknya keinginan atau pekerjaan, menurut gw yang perlu dilakukan adalah diam sejenak, menarik nafas untuk selanjutnya dengan tenang memutuskan mana dulu pekerjaan atau keinginan yang harus fokus diselesaikan. Inspirasi ini gw dapatkan dari buku yang sedang gw baca, judulnya “Sejenak Hening” karya Adjie Silarus. Buku ini menjelaskan pentingnya manusia untuk diam dan tenang sejenak sebagai langkah sebelum kembali bergerak. Sekarang apa kaitannya dengan sholat? Sholat itu adalah media menenangkan diri :). Mungkin itulah kenapa manusia diwajibkan sholat minimal 5 kali sehari. Karena disaat pace hidup lagi kenceng banget, butuh diselipkan sholat untuk menghadirkan ketenangan ditengah keriuhan. Ibarat nyetir mobil, nggak mungkin ngegas terus kan? Dikit-dikit perlu ngerem supaya nggak nabrak atau kepeleset keluar jalur :) 

(4) Menyendiri.
Sederhana. Bersama banyak orang artinya mendengar banyak suara. Bersama diri sendiri maka hanya akan mendengar suara hati sendiri. Kalau suara-suara di sekitar sudah mulai mendistraksi, berpindah tempat ke area yang lebih hening seharusnya bisa menjadi solusi untuk mengembalikan fokus.

(5) Pasang headset, dengarkan lagu favorit.
Cara ini adalah alternatif jika cara di point 4 tidak bisa dilakukan. Kalau lagi sulit pindah tempat, atau barangkali tidak bisa menemukan tempat yang sepi, pasang headset dan mendengarkan lagu favorit mungkin cukup membantu mengembalikan fokus. Eh tapi jangan karena dengerin lagu favorit lalu malah nyanyi sendiri sambil ngelamun dan kerjaannya jadi dilupain loh ya (itu mah gw aja kali :p)

Kalau doraemon itu ada, pastinya gw akan minta dia kasih gw Pil Penjaga Fokus. Tapi karena doraemon itu nggak nyata, maka menjaga fokus adalah tanggung jawab gw sendiri. Gw menyadari tanpa fokus maka setiap apa yang gw inginkan hanya akan tetap menjadi keinginan tanpa bisa jadi kenyataan. Yah, semoga Tuhan menjaga kita dari fokus-fokus nggak penting yang mengalihkan kita dari tujuan kita diciptakan di dunia ini.
Sekali lagi tulisan ini adalah pendapat pribadi yang gw dapat dari pengamatan gw akan banyak hal. Bisa salah, bisa benar, sehingga kamu boleh setuju, boleh pula menolaknya :)

Stay positive yaa.

Salam,
Venessa Allia