Tampilkan postingan dengan label #BelajarNulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #BelajarNulis. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Juli 2018

Cerpen Ketiga: Kisah Pak Sopir


Kisah Pak Sopir

             “Halo Teh Navia, rumahnya yang warna kuning, kan? Saya sudah di depan rumah ya,” suara sopir taksi online terdengar di telepon. Via pun memintanya menunggu. Dia segera mengambil sepatu coklat tanpa hak di gudang lalu memakainya, membuka kembali shoulder bag miliknya untuk memastikan bahwa barang-barang penting sudah dibawa semuanya: dompet, ponsel, power bank, kotak bedak, pembalut, tisu, kunci rumah dan minyak wangi. Via yakin tidak ada barang yang tertinggal, dia siap berangkat.
            “Bun, Via berangkat sekarang ya, Via bawa kunci kok jadi nanti Ibun bobo aja nggak usah nunggu Via pulang,” kata Via menghampiri ibundanya yang sedang membaca majalah di ruang tengah untuk berpamitan.
            “Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Nak,” ucap Ibun sambil menutup majalah di tangan. Dilihatnya anak gadis semata wayangnya yang sudah tumbuh dewasa, parasnya persis seperti saat ia muda. Kulitnya putih, rambutnya ikal sebahu dan matanya yang terkesan galak, bedanya Via jauh lebih modis dibandingkan dia dulu.
            “Konsernya sih baru selesai jam 9, Bun. Habis itu Via langsung pulang kok dianterin Dewi. Tenang aja. Via jalan sekarang ya, udah ditungguin sopir taksi tuh,” Via menyalami tangan ibunya dengan agak terburu-buru.
            “Yaudah hati-hati, kamu bawa mukena kan? Botol minum bawa nggak?” kata Ibu sambil menegakan posisi duduk, “Itu ada roti di meja dibawa saja biar nanti kalau lapar waktu nonton konser Tulus kamu bisa isi perut, bawa yaa rotinya,” Ibu menunjuk meja di tengah ruangan yang diatasnya terdapat beberapa potong roti isi dan kue kering dalam toples.
            “Via kan lagi ‘dapet’, Bun, jadi nggak sholat. Minuman sama makanannya nanti beli aja deh di sana, berat bawanya. Dadaah Ibun. Assalamualaikum,” respon Via singkat lalu melangkah keluar rumah.
            “Kamu jangan lupa makan malam ya, Vi. Cari makannya juga yang bersih. Waalaikumsalam,” jawab Ibun sambil tetap mengingatkan Via soal isi perut. Via mendengarkan instruksi dari ibunya namun tidak menjawab, dalam hatinya dia bergumam,
            “Ckckck, Ibun..Ibun.. Via kan udah 20 tahun, masih aja ngingetin soal makan tiap Via mau pergi. Nasib anak bungsu, nggak pernah lepas dari wejangan nyokap.”     
            Via masuk ke dalam mobil sedan hitam yang menjadi kendaraannya sore ini menuju sebuah gedung pertunjukan di daerah Bandung Utara dimana Tulus, penyanyi muda favorit Via, mengadakan konser mini malam ini. Dia berjanji bertemu Dewi dan dua teman lainnya di sana. Sopir taksi ini ialah seorang bapak berusia sekitar 40 tahun. Penampilannya cukup rapi dengan kaos berkerah warna hijau dan celana jeans. Via duduk di kursi depan supaya tidak terlihat seperti penumpang karena saat ini keberadaan taksi online masih kontroversi sehingga sebaiknya tidak menimbulkan kesan bahwa mobil sedan yang dinaikinya adalah taksi online. Bapak sopir menyapa Via ramah.
            “Selamat sore Teh Navia, kita ke Jalan Tamansari ya, Teh? Kita jalan sekarang yaa,” sapa Pak Sopir sambil memindahkan persneling mobil. Mobil pun melaju menjauhi rumah Via. Jalanan komplek mulai ramai oleh anak-anak yang berangkat mengaji ke masjid.
            “Kalau bisa agak cepat ya pak nyetirnya. Saya ada janji jam 18.30,” kata Via sambil mengamati interior di dalam mobil yang masih terlihat baru. Mobil yang dinaikinya ini nampaknya belum lama keluar dari showroom.
            “Baik Teh, saya usahakan, semoga jalanan tidak terlalu macet, tapi jam segini biasanya macet sih Teh,” respon Pak Sopir sambil melirik ke ponsel di dekatnya, “Saya keluar komplek lewat jalan belakang saja ya, Teh. Kalau lewat depan lebih macet.”
Waktu menunjukan pukul 17.30. Ekspresi Pak Sopir agak serius. Dalam hatinya, sebenarnya ia tidak yakin bisa sampai tempat tujuan dalam waktu satu jam karena lalu lintas Bandung seharian ini padat di mana-mana. Apalagi sekarang malam minggu sehingga banyak orang menghabiskan waktu di luar rumah. Untungnya dia sudah beberapa kali menjemput penumpang di komplek ini sehingga dia tahu jalan terdekat menuju jalan utama. Lima belas menit waktu berlalu. Sejauh ini mobil masih melaju walau kecepatannya tidak bisa lebih dari tiga puluh kilometer per jam karena padatnya jalan raya. Setidaknya tidak berhenti total, begitu pikir Pak Sopir. Sementara itu, Via tenggelam dalam berbagai aplikasi di ponselnya, tidak berbicara atau memperhatikan jalanan yang dilaluinya.
            Mobil akhirnya sampai pada titik kemacetan. Lampu lalu lintas yang seharusnya mengatur arus kendaraan di sebuah perempatan saat ini sedang tidak berfungsi. Beberapa pengemudi mobil yang tidak sabar menyalip antrian mengakibatkan kemacetan menjadi semakin parah. Bunyi klakson mobil riuh membuat jalan raya semakin bising. Kalau sudah begini yang paling diuntungkan adalah pedagang asongan yang jadi ramai pembeli. Pedagang asongan hilir mudik melewati jendela Via, menawarkan air mineral, tisu atau sebungkus permen. Begitu juga pedagang majalah. Via tidak memperdulikan tawaran mereka, berulang kali dia melihat jam di ponselnya, sudah pukul 18.10 dan posisinya masih jauh dari tempat tujuan, nampaknya dia akan terlambat. Keresahan Via tertangkap oleh Pak Sopir.
            “Duh maaf ya Teh, kayaknya nggak keburu sampai sana jam 18.30. Ini saya sudah memilih jalur yang paling cepat, tapi tetap saja kena macet,” Pak Sopir merasa tidak enak, “Ada janji penting ya Teh?” tanya Pak Sopir sambil terus fokus mengamati jalan raya.
            “Emmm mau nonton konser aja sih, Pak. Sayang aja kalau sudah bayar tiket tapi nggak bisa nonton pertunjukannya dari awal,” jelas Via sambil masih tenggelam dalam ponselnya. Dia baru saja mengabari Dewi bahwa dia tidak bisa sampai tujuan tepat waktu.
            “Hoooo, memang mahal banget ya Teh harga tiketnya?” Pak sopir mulai KEPO: Knowing Every Particular Object. Kedua alisnya terangkat dan matanya membesar, wajahnya antusias ingin tahu.
“Nggak juga sih Pak, cuma tiga ratus ribu aja,” jawab Via, datar cendrung ketus. Sekilas ia menoleh ke Pak Sopir yang nampak terkejut mendengar jawaban Via.
“Walah! Tiga ratus ribu mah mahal Teh, uang segitu bisa untuk bayar uang sekolah anak saya di Solo,” seru Pak Sopir, suaranya meninggi tanda ia terkejut.
Via sedikit terusik mendengar respon dari Pak Sopir. Dia lantas berpikir bahwa uang tiga ratus ribu nampaknya sangat berharga bagi bapak ini, sementara dirinya baru saja menghabiskan uang dalam jumlah yang sama untuk berbelanja di sebuah layanan fashion e-commerce ternama. Itulah mengapa sedari tadi Via asik dengan ponselnya sendiri, dia sibuk memilih-milih sepatu dan aksesoris. Tidak terlalu suka membahas soal uang, Via pun mengalihkan pembicaraan. Sementara itu mobil masih terjebak di tengah kemacetan. Hari sudah mulai gelap dan dibuat semakin ramai oleh klakson-klakson yang bersahutan. Klakson mobil angkot maupun mobil pribadi sama berisiknya sedari tadi.
“Oh, anak bapak tinggal di Solo?” tanya Via tanpa bermaksud benar-benar ingin tahu. Ponselnya kini telah ia masukan kembali ke dalam tas. Ekspresinya sekarang lebih santai dengan senyum tipis di bibirnya yang juga tipis. Dewi baru saja mengabarinya bahwa dia juga akan datang terlambat karena masih terjebak macet akibat proyek perbaikan jalan.
“Iya, anak saya masih SMP di Solo, tinggal dengan ibu saya,” kata Pak Sopir sambil tetap sigap di tengah kemacetan. Dia tidak membiarkan ada mobil lain menyalip jalannya. Di luar sana, beberapa polisi lalu lintas terlihat berusaha mengurai kemacetan.
“Hooo.. jadi Bapak di Bandung dengan istri bapak?” Kali ini giliran Via yang KEPO. Badannya terarah menghadap Pak Sopir, menunjukan ia mulai antusias dengan pembicaraan ini.
“Oh nggak Teh, istri saya sudah meninggal sekitar enam bulan yang lalu. Saya ini baru tiga bulan tinggal di Bandung, baru tiga bulan juga bawa taksi online. Ini juga bukan mobil saya sendiri, Teh, ini mobil saudara saya yang berbaik hati menolong,” Pak Sopir menjawab pertayaan Via lebih dari yang Via tanyakan. Via jadi merasa tidak enak sudah menyinggung soal istrinya.
“Oh maaf Pak. Saya turut berduka cita,” kata Via berusaha terdengar tulus.
“Nggak apa-apa Teh, kalau sekarang saya sudah bisa menerima. Walaupun saat itu saya akui sangat berat, satu bulan setelah istri saya meninggal, bisnis saya bangkrut karena saya ditipu oleh teman sendiri. Panjang ceritanya,” Pak sopir diam sejenak lalu menarik napas, “Tapi saya bersyukur Tuhan masih baik sama saya, saya masih punya saudara yang cukup berada dan baik hati. Saudara saya itu membeli mobil baru untuk dijadikan taksi online, kemudian menawarkan saya untuk menjadi sopirnya. Yasudah karena butuh pekerjaan untuk menghidupi anak dan ibu saya, ya saya terima tawarannya. Jadilah saya pindah ke Bandung.” Pak sopir bercerita panjang lebar. Suaranya tetap tenang tanpa tersirat adanya kesan kesedihan atau penyesalan atas apa yang terjadi di hidupnya. Sayangnya, Via belum dapat mengerti, matanya mengerung heran.
“Istri Bapak meninggal, bisnis Bapak bangkrut, lalu Bapak harus tinggal jauh dari anak untuk mencari nafkah. Saya nggak ngerti kok tadi Bapak masih bisa bilang soal bersyukur ya Pak?” Kali ini Via betul-betul ingin tahu. Kepalanya menoleh memperhatikan Pak Sopir yang seketika tersenyum lebar.
“Sederhana saja Teh, saya tahu kalau Tuhan mau memberikan saya cobaan yang lebih berat dari ini, Dia bisa melakukannya, tapi Tuhan masih baik sama saya, cobaan untuk saya sudah ditakar sesuai kemampuan saya, dan saya masih diberikan pertolongan. Masa iya saya masih nggak bisa bersyukur?” Pak Sopir menjelaskan dengan santai, sambil sedikit melirik ke arah Via yang kini resah dalam duduknya. Penjelasan Pak Sopir membuat Via tiba-tiba saja merasa…salah.
Pak Sopir berhasil membawa mobilnya ke barisan paling depan antrian lampu merah yang tidak berfungsi. Petugas kepolisian terlihat memberikan instruksi jalur mana yang boleh jalan terlebih dahulu dan mana yang harus berhenti. Pak Sopir memperhatikan aplikasi peta di ponselnya, jalan raya setelah perempatan ini kelihatannya cukup lancar.
Via masih sibuk memikirkan kalimat Pak Sopir barusan tentang mensyukuri kehidupan. Wajahnya menegang tanda dia serius berpikir. Hatinya tiba-tiba merasa tak nyaman mengingat apa yang selama ini dia lakukan. Hidupnya sangat nyaman karena setiap bulan orang tua Via memberikan uang jajan dan sering memanjakan dirinya. Dia tidak pernah merasakan kepahitan seperti yang Pak Sopir alami. Tapi mengapa dia tidak pernah merasa cukup? Selalu ada saja yang kurang hingga harus dilengkapi, seperti beberapa saat yang lalu dia membeli sepatu baru karena merasa sepatu yang dipakainya sudah tidak nyaman, padahal dia masih punya belasan pasang sepatu lain di rumah. Juga selalu ada saja yang salah sehingga harus dikeluhkan, sebagaimana beberapa menit yang lalu Via mengeluhkan kemacetan Kota Bandung kepada Dewi di WhatsApp, padahal saat itu dia masih dapat duduk manis menikmati kemacetan tanpa harus berdesakan di dalam angkot atau harus menghirup asap kendaraan seperti nasib para pengemudi sepeda motor. Via juga jadi teringat Ibun di rumah, betapa Via selalu sibuk sendiri dan sering merasa sudah dewasa sehingga dia tidak menghargai perhatian yang ibundanya berikan. Tiba-tiba saja mata Via terasa perih seperti ingin menangis, namun ia berusaha menguasai diri.
Via menengok bapak sopir yang duduk di sampingnya, belum ada satu jam dia berjumpa dengan bapak ini, tapi dia merasa sudah mendapatkan suatu pelajaran berharga. Ada ratusan taksi online di Bandung, mengapa harus Pak Sopir ini yang menjemput Via? Pemilik semesta pasti ingin Via belajar dari kisah Pak Sopir. Via membuka aplikasi taksi online di ponselnya, dicarinya nama sopir yang sedang mengantarnya, ternyata nama Pak Sopir ini adalah Hendra. Tiba-tiba saja Via terpikir sebuah ide brilian.
“Pak, anak bapak di Solo, laki-laki atau perempuan?” tanya Via sambil tersenyum melihat ke arah Pak Hendra. Kali ini dia tersenyum lebar.
 “Perempuan Mbak, usianya 14 tahun,” jawab Pak Hendra sambil menekan pedal gas mobil. Akhirnya mobil mereka berhasil lepas dari kemacetan. Pak Hendra melirik jam di mobilnya. Kalau proyeksi kepadatan jalan di peta ini benar, seharusnya pukul 18.45 penumpangnya dapat tiba di tujuan.
Sementara itu Via menyimpan nomor telepon yang tadi digunakan Pak Hendra untuk meneleponnya. Anak Pak Hendra perempuan, sangat sempurna untuk rencananya. Via punya ide, nampaknya aksesoris yang baru saja dia beli secara online akan lebih baik jika dimiliki oleh putri Pak Hendra. Aksesoris milik Via sudah banyak sekali tersimpan di laci meja, dia tidak butuh lebih dari itu. Nanti jika barang yang dia pesan sudah datang, dia akan segera menghubungi Pak Hendra dan mengatakan maksudnya. Rasanya senang sekali memiliki rencana baik.
Via menghirup napas panjang. Tiba-tiba saja dia menyukai harum stroberi yang berasal dari pewangi mobil. Hampir satu jam dia berada di dalam mobil tapi baru sekarang dia dapat menikmati wangi ini.
“Ketika hati sudah memilih untuk bersyukur, maka rasakanlah ada banyak nikmat yang sebelumnya tidak kau rasakan.” Kalimat itu terlintas begitu saja dalam benak Via.

------
Salam,
Venessa
P.S: kalau hari ini nggak post tulisan di blog, besok bisa di kick dari grup #1minggu1cerita. Ahahaha. Syukurlah masih ada stok cerpen di laptop yang belum pernah di publikasikan. Saya share disini saja yaaa. Stay positive, people!

Minggu, 18 Februari 2018

Cerpen Kedua: Semesta Sedang Bercanda

Hai dunia! #naonsih.

Jadi malam ini ceritanya saya ingin tulis sesuatu di blog, karena minggu lalu udah bolos untuk komit #1minggu1cerita, tapi yaa kok bingung yaa mau nulis apa. Ada materi di kepala, kok bahasannya serius semua, hehehe. Masalahnya buat saya nulis serius itu butuh energi lebih euy, dan butuh sedikit 'emosi' biar asik gitu tulisannya #naoooon. Aaah intinya malam ini lagi mental bercanda. Terus bingung mau nulis apa, buka-buka Facebook berharap dapat inspirasi, eh yang ada malah lihat-lihat foto yang bikin saya nyinyir dalam hati. Duh istigfar.

Yaudah yaa, daripada batal bercerita, lebih baik saya share satu lagi stok cerpen saya, hihihi. Saya kepengen ikutan lomba cerpen deh, tapi kalau kalah suka bete, jadi kalau ikut pengennya menang (duuuh ini mental macam apaaa). Ini salah satu cerpen hasil saya ikut kelas cerpen (KECE) yang diadakan oleh Inspirator Academy. Info lebih lanjut tentang Inspirator Academy boleh lihat disini atau cari aja IGnya. Untuk yang menyempatkan baca cerpen ini, suka tidak suka, boleh dong komentarnya, hehehe. Terimakasiiiih :)


Semesta Sedang Bercanda

GIANNISA KURNIADI
“Gia, Natalie, thanks for today guys. Sorry kalian jadi harus lembur lagi malam ini. Kalau kita dapet tender ini, kalian silahkan ambil cuti deh, saya nggak akan larang,” kata Mas Setyo kepada Gia dan Natalie yang masih membereskan dokumen di atas meja. Kantor mereka berada di lantai delapan belas salah satu gedung perkantoran di kawasan sentral bisnis Jakarta. Lampu-lampu di lantai delapan belas masih menyala, menerangi sedikit orang yang masih bertahan di meja kerja mereka, termasuk Gia, Natalie dan Mas Setyo. Sesaat Gia melihat keluar jendela, langit Jakarta gelap tanpa bintang, bulan bersembunyi entah dimana. Lampu gedung hadir sebagai pengganti bintang, sementara di bawah sana, jalanan masih ramai oleh mobil-mobil menuju berbagai arah. Gia melihat jam tangannya, sudah jam sepuluh malam, saatnya pulang.
  “Kalau kita dapat tender ini, Mas, itu artinya aku dan Gia akan bertemu dengan hari-hari lembur lainnya. Iya kan, Gi?” Natalie menyenggol tangan Gia yang masih asik memandang keluar jendela. Gia pun menoleh.
“Oh. Iya, Nat. Mas Setyo sendiri kan yang waktu itu bilang, akhir dari perjuangan memenangkan tender adalah awal dari perjuangan lainnya. Tapi nggak apa-apa, Nat. Bagaimanapun juga lebih bagus kalau kita menang tender, at least itu artinya tahun ini kita dapat bonus, hihihi, iya kan Mas Set?” Gia dan Natalie saling lirik dan tersenyum. Mas Setyo pun tidak bisa menahan tawa. Dia bersyukur mendapatkan staf yang bukan hanya bisa diandalkan tapi juga punya selera humor yang baik.
“Hahaha, iya janji bonus tahun ini pasti turun dua kali lipat. Kalau nggak turun, bukan hanya kalian yang bakal marah, istri saya nanti juga bisa murka, hahaha. Yasudah sana kalian pulang. Anak gadis jam segini masih pada nongkrong di kantor, ckckck,” Mas Setyo pun mematikan laptopnya, dia juga ingin segera pulang.   
In the name of dedication, Mas. Kita rela jam segini masih jadi penghuni gedung,” sahut Natalie masih bersemangat padahal dia sudah menghabiskan waktu lebih dari dua belas jam di kantor.
“Hmmm, gimana ya Nat?” respon Gia sambil pura-pura berpikir, “Masalahnya antara dedikasi, butuh duit sama nasib jomblo tuh bedanya tipis banget sih, hahaha,” komentar Gia memancing tawa diantara mereka bertiga. Sejatinya, waktu lembur masih bisa terasa menyenangkan asalkan punya rekan kerja yang satu frekuensi, dan Gia sangat bersyukur memilikinya.
Gia dan Natalie berpamitan kepada Mas Setyo, mereka bersama-sama menuju pintu belakang gedung. Lobi utama hanya buka hingga jam delapan malam, sementara saat ini sudah lebih dari pukul sepuluh. Sambil menunggu pengemudi ojek online menjemput, Natalie memastikan rencana nonton besok malam, “Gi, besok kita jadi nonton, kan?”
“Jadi doong, Jumat malam kan selalu jadi NataGia’s movie time,” kata Gia sambil mengamati posisi pengemudi ojek di aplikasi ojek pada ponselnya. NataGia adalah akronim nama mereka berdua: Natalie dan Gia.    
“Emmm, kita nonton berdua aja nih?” Natalie menatap wajah Gia dengan ekspresi agak serius. Mereka berdua sama tinggi. Gia balas melihat Natalie, dia tahu apa maksud pertanyaan ini.
“Mau nonton sama siapa lagi? Mas Setyo? Bisa dirajam lo sama istrinya,” Gia spontan menoyor kepala Natalie. Mereka berdua tidak tampak seperti dua pekerja kantoran yang pulang lembur dan kelelahan.
Natalie mulai menerawang, melihat jalanan yang sudah mulai lengang, “Kapan yaa Gi kita ketemu prince charming kayak di film-film? Masa tiap hari pulang kantor harus dijemput sama tukang ojek terus sih.” Gia sangat kenal watak temannya yang terlalu banyak nonton film drama.
“Duh, mulai deh ini ratu drama, feeling insecure about her life. Coba lo cek foto tukang ojek lo, siapa tahu charming mirip Ryan Gosling,” kata Gia. Ekspresinya sok serius padahal sebenarnya dia sedang menahan tawa mendengar kata-katanya sendiri. Mendengar saran Gia, spontan saja Natalie membuka aplikasi ojek di ponselnya.
Gia dan Natalie sama-sama memperhatikan foto pengemudi ojek di ponsel Natalie, seorang bapak-bapak dengan alis dan kumis yang sangat tebal.
“Aaaah Giaaaa. Ryan Gosling apaaaan, ini mah Pak Raden namanyaaa,” Natalie memasang muka masam. Alisnya mengerung dan bibirnya manyun.
“HAHAHAHA,” Gia tertawa terpingkal-pingkal melihat foto pengemudi ojek yang tidak bersalah.   
Tidak lama kemudian, dua pengemudi ojek menjemput Gia dan Natalie. Gia masih tersenyum-senyum geli melihat sosok pengemudi ojek yang menjemput Natalie. Natalie hanya merengut, namun sebelum mereka berpisah, Natalie sempat bilang, “Di kereta nanti lo jangan tidur, perhatiin penumpang sekitar, siapa tau prince charming lo muncul hari ini. Cowok pecinta alam yang juga cinta kebebasan. See you tomorrow, Gi!”
Gia tidak menanggapi ocehan Natalie. Temannya ini selalu percaya bahwa pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Tapi Gia tidak pernah serius memikirkan teori Natalie tersebut. Dia memang selalu mengidolakan cowok pecinta alam yang hidupnya bebas tak terikat aturan. Tapi dalam bayangannya, lelaki seperti itu akan dijumpainya di satu perjalanan liburan ke Sumba atau Wakatobi, bukan di kereta dalam kota.
Gia dan Natalie berpisah, menaiki motor pengemudi ojek yang akan mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Natalie beruntung, rumahnya masih berada di kawasan Jakarta Selatan, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit seharusnya dia sudah bisa tiba di rumah. Sementara Gia tinggal kota satelit Tangerang Selatan. Sopir ojek akan membawanya ke Stasiun Palmerah untuk selanjutnya Gia akan naik kereta menuju Stasiun Sudimara, stasiun terdekat dari rumahnya. Mobil Gia diparkir di stasiun, jadi nanti sampai stasiun, Gia masih harus mengendarai mobilnya menuju rumah. Perjalanan panjang sebelum bisa sampai ke kasur empuknya di kamar.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai stasiun Palmerah. Turun dari ojek, Gia berjalan santai menuju peron kereta. Beberapa orang dilihatnya setengah berlari menuju peron, padahal kereta belum juga datang. Terkadang Gia bingung melihat kelakukan para penumpang kereta yang selalu tergesa-gesa. Masuk kereta terburu-buru sepertinya amat khawatir tidak dapat tempat duduk, padahal kalau sudah jam sibuk, mau secepat apapun mereka bergerak tetap saja tidak akan dapat tempat. Keluar kereta pun tergesa-gesa seakan-akan dunia akan hancur jika mereka terlambat. Ah lelah sekali hidup seperti itu, tidak ada ketenangan dan dikendalikan kesibukan.
Peron kereta menyisakan beberapa orang pria dan wanita. Sepengamatan Gia, ada sekitar sepuluh orang yang sama-sama menunggu dengannya. Lima menit menunggu di peron, kereta pun datang dari arah Tanah Abang. Gia naik gerbong terdekat dari tempatnya berdiri menunggu, gerbong nomor delapan. Gerbong yang dipilihnya cukup lengang dan bersih, hanya ada tiga orang perempuan dan empat laki-laki yang duduk menyebar dan tidak saling mengenal. Gia memilih tempat duduk terdekat dari pintu gerbong yang paling tengah, lalu dia membuka tasnya, mengambil sebuah cermin kecil, dia penasaran bagaimana rupanya malam ini. Ikatan rambutnya sudah tidak rapi, wajahnya berminyak, tidak terlihat lagi sisa sapuan bedak di kulitnya yang kuning langsat. Warna merah masih sedikit bersemi di bibirnya, sisa pulasan lipstik tadi sore. Hanya alisnya yang masih tergambar sempurna.
Gia masih asik bercermin, saat seorang pria berbaju biru masuk ke dalam gerbong nomor delapan hanya beberapa detik sebelum pintu kereta tertutup rapat. Hampir saja kaki pria itu terjepit pintu kereta. Pria itu meletakan tas ranselnya tepat di samping Gia, lalu dia duduk. Tas itu kini berada tepat diantara Gia dan pria berbaju biru. Gia bisa melihat baju pria itu basah oleh keringat, nampaknya dia habis berlari.
Hmmm, satu lagi jenis manusia malang yang hidupnya selalu terburu-buru,” bisik hati Gia sambil tersenyum getir.

FIRMAN RAMADHAN      
“Dod, gue turun di sini aja deh. Macet tuh di depan,” kata Firman sambil menepuk bahu Dodi, teman SMA-nya yang berbaik hati mengantarkannya ke Stasiun Palmerah.
“Nanggung Fir, udah deket. Itu paling macet dikit doang gara-gara ojek sama bus berhenti sembarangan,” jelas Dodi, hampir setiap hari dia melewati jalan ini.
“Nggak apa-apa Dod, gue lari aja, sekalian olahraga,” Dodi pun akhirnya menurut. Dia berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan Firman, temannya yang selama dua minggu terakhir ini menemaninya backpacking menjelajahi Nusa Tenggara.
Thank you so much, Bro! Kapan-kapan kita backpacking bareng lagi. Maluku perlu banget nih kita jajal,” Firman menjabat erat tangan Dodi. Nusa Tenggara memberikan mereka banyak pengalaman luar biasa yang membuat mereka ketagihan liburan ala backpacker lagi.
“Siaaaap Bro! Nantilah kita susun rencana lagi. Oke deh, gue cabut yaaa, Fir,” Dodi melambaikan tangannya lalu kembali mengarahkan motornya ke tengah jalan raya. Firman menarik napas panjang sejenak memandang ke arah tangga stasiun yang sudah terlihat. Dia pun berlari menuju stasiun, bukan karena tergesa atau terdesak ingin buang air, dia hanya senang berlari di malam hari, selalu begitu dari kecil. Hobi yang tidak semua orang bisa mengerti. Walau saat berlari ia harus menghidup udara kota Jakarta yang jenuh oleh asap kendaraan, tapi saat itulah Firman merasa bebas, tidak dikendalikan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
            Firman berhasil masuk ke dalam gerbong kereta nomor delapan hanya selang beberapa detik sebelum pintu gerbong tertutup, “Ah nyaris saja gue ketinggalan kereta, untung masih sempat masuk,” pikir Firman. Malam ini Firman akan menginap di rumah kakaknya yang berada tidak jauh dari Stasiun Serpong, sebelum besok dia akan kembali ke Kota Serang, tempat tinggalnya. Tidak banyak penumpang di dalam gerbong. Sambil sedikit ngos-ngosan dan menyapu keringat di keningnya, Firman meletakan tasnya secara asal, lalu duduk disampingnya. Tidak ia perhatikan seorang gadis manis yang duduk di dekatnya dan sedang memperhatikannya.

GIANNISA KURNIADI
            Kereta dalam kota terus melaju menuju stasiun akhir, Serpong. Kereta berhenti di setiap stasiun yang dilalui, sedikit penumpang masuk ke dalam gerbong, lebih banyak yang keluar menuju peron. Tidak banyak suara yang terdengar, hanya berasal dari operator kereta yang memberikan informasi atau bunyi roda yang beradu dengan rel. Di dalam gerbong kereta yang berlari kencang, Gia memperhatikan pria yang duduk di dekatnya. Ada sesuatu dalam diri pria tersebut yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Apakah rambutnya yang gondrong? Apakah badannya yang atletis? Apakah tulang mukanya yang keras? Bukan, dorongan di hati Gia bukan karena daya tarik fisik semata. Gia memperhatikan tas ransel yang disimpan pria ini tepat disampingnya. Sebuah tas ransel berwarna abu-abu yang besar, penuh dan kotor. Gia mengenali merek tas ransel ini, merek andalan yang sering digunakan para pecinta alam atau turis backpacker.
“Yaampun, jangan-jangan pria ini baru saja menyelesaikan ekspedisi Rinjani, atau Semeru atau mungkin baru selesai diving di Wakatobi, kulitnya seperti terbakar, ah dia pasti anak alam,” kata Gia dalam hatinya tidak berhenti menerka. Gia tidak mengerti, ia ingin sekali mengajak pria ini bicara. Dia seperti melihat ‘kebebasan’ dalam wujud manusia.
 Gia teringat kata-kata Natalie tadi sebelum mereka berpisah. Hatinya terjebak dilema antara mempercayai perkataan Natalie atau keyakinannya bahwa prince charming idolanya tidak akan ditemui di kereta dalam kota. Sementara itu, sang pria sedang duduk santai sambil memakai headset, kakinya bergerak-gerak pelan seperti sedang mengikuti irama musik.   
            Entah malaikat atau iblis yang berbisik ke dalam hati Gia, tiba-tiba saja dia berpikir, you only live once, Gia. Do whatever it takes.
    
FIRMAN RAMADHAN
            Firman baru saja selesai menggulung kabel headset miliknya. Baterai ponselnya habis dan dia tidak seperti anak muda zaman sekarang yang kemana-mana selalu membawa power bank. Saat dia hendak memasukan headset dan ponselnya ke dalam tas di sisi kirinya, dia baru sadar, ada wanita bermata sayu yang sedang melihatnya.

GIANNISA KURNIADI
            “Ya Tuhan, cowok ini nengok ke arah sini,” Gia panik. Lalu tiba-tiba saja hal itu terjadi, sebuah nyali yang datang entah darimana.
Gia menjulurkan tangannya, “Halo saya Gia, boleh kenalan?” Gia tersenyum tipis tapi manis.
Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri, “Mati gue, mampus gue, wafat gue, kalau cowok ini nyuekin gue, kelar hidup gue. Finish. Fin.”

FIRMAN RAMADHAN
“Ada cewek kantoran ngajak cowok berantakan kayak gue kenalan? Semesta sedang bercanda,” pikir Firman saat melihat wanita yang memakai kemeja formal, rok selutut dan lipstik merah sedang menjulurkan tangannya.
            “Emm, ada yang bisa saya bantu?” tanya Firman kaku, dia memandang wanita itu dengan waspada. Zaman sekarang bahkan copet dan tukang hipnotis bisa berwujud wanita manis dengan gaya necis.
            Wanita di hadapan Firman tidak menjawab pertanyaannya, mulutnya terbuka sedikit namun tetap tidak ada suara, tangan wanita ini tetap terjulur dan matanya tidak berkedip memandang Firman. Firman semakin yakin bahwa wanita ini adalah tukang hipnotis berkedok wanita kantoran yang akan mencuri isi tasnya. Yang Firman tidak tahu, wanita di sampingnya sedang mengalami starstruck, yaitu kondisi seseorang tidak bisa bicara, merasa kewalahan dan tiba-tiba paralisis akibat bertemu dengan sosok yang diidolakan. 
Firman adalah putera Banten yang paham betul bahwa tukang hipnotis akan selalu berusaha menjaga kontak mata. Demi menyelamatkan diri dan harta benda yang dibawanya (tidak banyak sih, tapi kalau dicuri tetap saja bikin sakit hati), Firman memilih membawa tasnya pergi menjauh dari wanita disampingnya yang masih membatu.
“Kasian, cakep-cakep tukang hipnotis,” pikir Firman saat pindah ke gerbong lain.

GIANNISA KURNIADI
            Wajah Gia pucat, mulutnya masih terbuka sedikit namun tidak ada suara yang keluar. Keringat dingin mulai mengucur di lehernya. Matanya kosong. Tangannya sudah tidak terjulur seperti saat tadi mengenalkan diri, namun dia masih membatu. Harga dirinya baru saja dibom habis oleh teroris pria berkedok prince charming yang memilih meninggalkannya pindah ke gerbong lain saat Gia sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk berkenalan. 
“Semesta sedang bercanda.. Semesta sedang bercanda..,” hanya itu yang berulang kali Gia ucapkan dalam hatinya.
Esok hari, saat Gia sudah lebih tenang dan dapat memaknai kejadian ini, dia akan tahu bahwa sejatinya Natalie benar, pertemuan seorang wanita dengan pria idamannya sebenarnya sudah diatur oleh alam semesta melalui kejadian yang tidak pernah bisa diprediksi. Namun, mungkin perlu satu kalimat tambahan untuk melengkapi teori Natalie,

…dan karena tidak bisa diprediksi, maka sudahlah, berhenti mengarang skenario-skenario sendiri.


Salam,
Venessa Allia

P.S: Habis ikutan kelas cerpen, saya menyadari satu hal, ternyata saya bukan cuma suka nulis, tapi saya suka bikin cerita, hihihi. Semoga jadi jalan kebaikan yaa, aamiin. Stay positive!

Selasa, 23 Januari 2018

Cerpen Pertama : Jangan Benci Mama, Chikita

Hai! Dua minggu terakhir ini saya ikut Kelas Menulis Cerpen yang diadakan oleh Inspirator Academy, dan hari ini saya memberanikan diri untuk mempublikasikan cerpen yang saya tulis (sekalian untuk jadi setoran 1 minggu 1 cerita). Soalnya dipikir-pikir, cerpen ini nggak ada artinya juga kalau yang tahu cuma saya, Mbak Rizka (mentor menulis saya) dan pastinya Tuhan. Selama 2 minggu terakhir, para mentee diminta menulis total 11 cerpen, ada yang tema bebas, ada juga yang ditentukan. Cerpen dibawah ini adalah salah satu cerpen tema bebas. Waktu itu saya ingin menulis cerita yang tokohnya anak-anak, inspirasi konfliknya sebenarnya dari film  Con Air, lalu diramu sedemikian rupa hingga jadilah cerita ini. Selamat menikmati cerpen pertama saya di blog ini. Feel free untuk memberikan komentar dalam bentuk apapun juga, soalnya sebagai pemula saya amat sangat butuh feedback dari para netizen juara seperti teman- teman semuanyaaa, hehehe :). 
---

Jangan Benci Mama, Chikita

            Teng…. Teng…Teng…
            Lonceng sekolah berdentang tiga kali. Satu per satu siswa dan siswi SD Merah Putih keluar kelas, ada yang menuju kantin, area taman atau halaman belakang. Jam dinding raksasa yang terpasang di dekat gerbang sekolah pukul 10.00 pagi, ini waktu pulang bagi siswa kelas satu dan waktu istirahat bagi siswa kelas dua hingga enam. Chikita, salah satu murid SD Merah Putih, usianya baru 8 tahun sehingga dia masih duduk di kelas 2. Bersama teman baiknya Ellen, Chiki keluar kelas menuju taman sambil membawa kotak bekal dan botol minum berwarna ungu. Chiki nampak kurang bersemangat. Sebagai sahabat yang baik, Ellen pun menyadari raut muka sahabatnya yang dari tadi merengut.
            “Chik, kok dari tadi manyun terus sih?” tanya Ellen, tanggannya menggandeng tangan Chiki. Chiki dan Ellen memiliki perawakan yang mirip, mereka seperti kakak adik. Tubuh Ellen hanya sedikit lebih tinggi, dia nampak seperti kakak Chiki.
             “Nggak apa-apa, Len. Aku cuma masih sebel sama Dio, dia tadi ngumpetin penghapus aku, terus sekarang penghapusnya hilang,” jawab Chiki. Di kelas Chiki dan Ellen duduk berjauhan. Pak Tono, wali kelas mereka, memang sengaja memisahkan mereka karena jika dibiarkan duduk semeja mereka sering ngobrol saat guru menerangkan.
            “Iiih, Dio bandel banget sih. Nanti aku bilangin ke Pak Tono ya, Chik. Kamu pakai penghapus aku aja dulu.” Ellen pun ikut kesal kepada Dio.
            “Nggak usah, Len. Nanti habis istirahat biar aku suruh Dio cari penghapusnya sampai ketemu,” kata Chiki sambil masih terlihat sedih. Mukanya dia lipat ke bawah membuat dagunya terlihat seperti ada dua. Untuk anak seumurannya, tubuh Chiki memang cukup gemuk. Ellen pun menurut.   
Di taman, Chiki dan Ellen duduk di bangku di bawah kanopi yang menghadap kolam. Rumput-rumput di taman masih sedikit basah karena gerimis yang turun sedari pagi. Hujan sekarang sudah berhenti, berganti matahari yang sekarang bersinar hangat. Murid-murid SD Merah Putih ramai bermain di taman. Chiki dan Ellen membuka kotak bekal mereka. Chiki membawa nasi goreng sosis buatan Mama, sementara Ellen membawa roti coklat dan susu.
“Wah bekal kamu nampaknya lezat sekali Chik. Mamamu yang masak ya? Bekalku hari ini disiapkan oleh Papa. Tapi karena Papa tidak bisa memasak, jadi aku dibekali roti dan susu saja.” Ellen bercerita panjang, mencoba mengalihkan perhatian Chiki supaya temannya tidak sedih lagi.
            “Kamu mau coba, Len?” Chiki menawarkan bekalnya, dia mulai tersenyum.
            “Mau dong,” Ellen menyendokan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, dia mengunyah dengan lahap, nampak sangat menikmati nasi goreng buatan Mama Chiki, “Emmm, enak banget Chik. Mama kamu hebat banget. Terimakasih ya. Aku sekarang mau makan bekal aku deh.” Chiki pun membuka bungkus roti miliknya.  
Chiki kembali menikmati nasi goreng bekalnya. Dia sudah tahu kalau masakan Mamanya memang paling enak se-Jakarta. Itulah sebabnya katering Mama Chiki tidak pernah sepi pesanan. Chiki senang menghabiskan waktu istirahat bersama Ellen. Ellen gemar memuji dan selalu ceria. Lesung pipit Ellen tidak pernah hilang dari pipinya karena Ellen selalu tersenyum. Tapi sebenarnya hari ini Chiki sudah murung sedari pagi, bahkan sebelum Dio menghilangkan penghapusnya.
Tiba-tiba Ellen berseru, “Yaaah, Papa kok bawain aku roti isi stroberi sih. Papa pasti lupa deh kalau aku nggak suka stroberi. Stroberi kan nggak enak, rasanya kayak obat batuk.” Sekali ini Ellen merengut, dia tidak mau memakan rotinya dan menutup kotak bekalnya.
            “Yaudah, Len. Sini makan nasi goreng sama aku aja. Mamaku bawainnya kebanyakan nih.” Mereka pun makan nasi goreng bersama. Sementara itu seekor kucing mendekati mereka nampaknya ingin diajak makan bersama juga.
            Matahari saat ini sudah bersinar tanpa malu-malu lagi. Murid-murid SD tak sungkan lagi berlarian di taman. Chiki dan Ellen masih asik makan bekal menggunakan satu sendok berdua. Saat sedang lahap makan, Chiki bertanya, “Papa kamu rajin sekali ya Len. Pagi-pagi sudah menyiapkan bekal. Setiap pagi juga kamu diantar Papa ke sekolah, kan?”
            “Hihihi, ini karena Mamaku sedang menengok nenek di Palembang. Jadi Papa yang menyiapkan bekal. Papaku itu lucu sekali Chik. Setiap pagi di mobil, Papa selalu bercerita hal yang lucu kepadaku, aku jadi semangat pergi ke sekolah. Papamu masih di luar negeri ya Chik?” Ellen bercerita walau di mulutnya masih ada sisa makanan. Mata Ellen berbinar saat bercerita tentang papanya, terlihat sekali kalau Ellen sangat sayang Papa.
              “Iya nih. Papaku masih di Australia,” jawab Chiki singkat. Matanya memandang ikan-ikan di kolam taman. Tiba-tiba saja selera makannya hilang.
            “Papamu sering sekali ke Australia Chik. Kamu pasti senang sekali punya banyak oleh-oleh dari negeri kangguru. Kapan-kapan aku mau jalan-jalan ke Australia juga ah sama Papa. Eh, tapi minggu depan, kita kan ada acara Father Goes To School. Papamu bakal datang, kan?” Ellen menoleh ke arah Chiki yang sudah tidak melanjutkan makannya, ia pun menghabiskan satu sendok terakhir bekal Chiki.
            “Iya, Len. Papaku bakal datang kok. Nanti kalau Papaku bawa oleh-oleh, kamu akan aku kasih juga deh.” Chiki tersenyum, namun wajahnya menghindari tatapan Ellen. Perasaannya tidak enak. Tapi Ellen tidak tahu itu, ia kembali memamerkan lesung pipitnya, membalas senyum Chiki dengan gembira.
            Teng…. Teng…Teng…
            Lonceng sekolah kembali berdentang tiga kali. Waktu istirahat telah usai. Matahari kini sudah lebih berani menunjukan sinarnya yang terik. Titik-titik air di rumput taman sudah mengering. Chiki dan Ellen membereskan tempat bekal mereka, lalu bersama kembali ke kelas.  
***
            Di rumah, Chiki dan Mama selalu makan di meja makan. Ruang makan mereka tidak besar, hanya ruangan 3x3 meter dengan meja makan bundar di tengah berlapis taplak kuning muda. Chiki dan Mama duduk bersebelahan. Kata Mama, makan di meja makan adalah kebiasaan yang ditularkan oleh Papa. Waktu Chiki masih bayi, Papa selalu membawa keranjang bayi Chiki ke ruang makan saat makan malam supaya Chiki bisa ikut makan bersama Mama dan Papa.
            Nasi, ayam bakar dan tumis kanggung telah habis disantap. Mama baru saja menghidangkan puding karamel favorit Chiki, namun kali ini Chiki tidak menanggapinya.
            “Loh kok pudingnya nggak di makan? Kenapa sayang?” Mama bertanya lembut, dia menyadari ada yang aneh dari putri semata wayangnya.
            “Ma, Papa kapan pulang sih?” Chiki balas bertanya, matanya sendu menatap Mama.
           “Papa, masih di Australia sayang. Belum bisa pulang,” jawab Mama sambil membereskan piring makanan.        
            “Tapi Papa sudah lama sekali tidak pulang Ma. Menelepon hanya sesekali saja. Papa kemana sih, Ma?” Chiki sungguh-sungguh minta jawaban. Ekspresinya serius. Tangannya menarik-narik daster coklat yang sedang dipakai Mama. Di luar, gerimis turun kembali, nampaknya langit belum puas membasahi bumi tadi pagi.
            “Loh, Chiki kan tahu Papa sedang bekerja ke Australia. Pekerjaan Papa sangat banyak jadi tidak bisa sering-sering menghubungi kita. Bulan kemarin Papa kan sudah mengirimkan Chiki oleh-oleh boneka koala, masa Chiki masih tidak senang?” Mama menyibukan diri dengan merapikan taplak meja walau taplak tersebut masih bersih dan rapi. Mata Mama enggan menatap Chiki. Chiki tidak menyadari bahwa ekspresi Mama mendadak serius karena tegang. Petir mulai bergemuruh di angkasa, suaranya memperburuk suasana ruang makan keluarga Chiki yang mendadak tidak nyaman. Kalau saja tidak ada gemuruh petir itu, mungkin Chiki bisa mendengarkan betapa keras jantung Mamanya berdebar.
            “Tapi minggu depan ada acara Fathers Goes To School di sekolah Chiki. Chiki mau Papa datang. Chiki tidak butuh oleh-oleh, Chiki..cuma..mau..Papa..datang.” Suara Chiki meninggi. Air matanya jatuh karena ia bersikeras ingin Papanya datang. Di luar hujan pun sudah turun deras.
            “Oooh, nanti Om Pram saja yang datang bagaimana? Kan Chiki pernah bilang, kalau Om Pram itu paman favorit Chiki.” Mama akhirnya memberanikan diri menengok dan tersenyum kepada Chiki, berusaha melunakan ekspresinya, tapi Chiki malah marah.
“Ma! Minggu depan itu Fathers Goes To School, bukan Uncle Goes To School. POKOKNYA CHIKI MAU PAPA PULANG!” Chiki tidak bermaksud membentak Mama, tapi dia begitu emosi menginginkan Papanya pulang. Air mata membasahi meja makan malam itu. Bukan hanya air mata Chiki, tapi juga air mata mama. Bersamaan dengan itu semua, petir keras menggetarkan kaca jendela dan bulu kuduk siapapun yang mendengarnya.
“Chiki masuk kamar sekarang! Tidur di kamar Chiki sendiri! Kamu dihukum, tidak boleh tidur dengan Mama malam ini!” Setiap kalimat Mama ucapkan dengan tegas. Muka Mama memerah karena menahan diri. Mama menatap Chiki dengan galak. Hati Mama pedih sekali saat menghukum gadis kesayangannya, tapi demi mengakhiri topik ini, dia tahu dia harus melakukannya.
Chiki berlari menuju kamarnya. Hukuman tidur sendiri adalah hukuman terberat dari Mama bagi Chiki karena Chiki masih takut tidur sendiri. Malam ini pun dia tetap takut tidur sendiri, tapi rasa takutnya kalah oleh rasa sedihnya yang tidak terbilang. Di dalam kamar, di balik selimut, Chiki menangis tersedu. Suara tangisnya tersamarkan oleh suara hujan yang turun semakin lebat. Nampaknya langit turut merasakan kesedihan Chiki.  
“Chiki kangen Papa, Chiki kangen Papa, Chiki mau Papa,” kata hati Chiki berulang-ulang. Hingga akhirnya mata Chiki sudah terlalu berat menumpahkan air mata, Chiki pun tertidur dalam harap dapat bertemu Papa dalam mimpi.
Lalu, apakah hujan di luar sudah berhenti? Tidak, hujan masih sama derasnya karena langit tidak hanya bersedih bersama Chiki, tapi juga bersama Mama. Masih di ruang makan, air mata Mama memang sudah tidak mengalir lagi. Bukan karena Mama tidak sedih, tapi karena dia sudah lelah menangis. Kesedihan Mama sudah lebih dalam dari deraian air mata, biarlah langit yang menggantikannya menangis. Mama Chiki sejatinya adalah ibu yang luar biasa. Selama berbulan-bulan ini dia menyembunyikan fakta yang tidak ingin sampai diketahui putri gembilnya yang cantik. Dan rahasia ini harus tetap bertahan hingga dua tahun ke depan.
Dalam langkah gontai, Mama menuju kamar Chiki dan dilihatnya Chiki sudah terlelap. Dibukanya selimut Chiki yang masih basah oleh air mata. Mama tidak kuasa menahan haru, air matanya tumpah juga. Seandainya Chiki tahu bahwa Mama pun merindukan Papa. Mama mencabut hukuman Chiki. Dibaringkannya tubuhnya di samping Chiki yang tidur menghadap tembok yang dingin, sedingin udara malam yang berhembus di luar. Hujan mulai mereda namun belum juga berhenti. Mama memeluk Chiki dari belakang. Sebagaimana seorang Mama di seluruh dunia yang selalu jago multi tasking, Mama Chiki juga sekarang sedang melakukan tiga hal bersamaan: menghantarkan kehangatan seorang ibu untuk Chiki, merasakan ketulusan cinta kasih seorang putri yang rindu ayahnya, dan menyampaikan titipan peluk penyesalan dari seorang ayah yang saat ini sedang berada di penjara.
Chiki, suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Begitu cintanya Mama kepadamu. Mama tidak ingin merusak kebanggaanmu kepada Papa. Papa tidak di Australia, Papa di penjara. Bukan karena Papa bersalah, tapi karena Papa difitnah. Boneka koala itu adalah oleh-oleh dari Om Pram yang rela membantu Mama bersandiwara. Chikita, saat ini kamu masih terlalu kecil. Kejamnya dunia ini bukanlah hal yang pantas untuk kamu ketahui. Jangan benci Mama ya, Nak.” Mama menjelaskan kepada Chika, meski dalam hati.
 

----

Stay positive yaaa.

Salam,
Venessa Allia