Tampilkan postingan dengan label #Nutrifood. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Nutrifood. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Agustus 2015

You (Not) Always Get What You Give.

Prolog
Don’t give up
You’ve got a reason to live
Can’t forget
We only get what we give
(New Radicals, You Get What You Give)

Empat kalimat diatas adalah cuplikan dari salah satu lagu favorit saya. Penyanyinya yaitu sebuah band tahun 90an asal Amerika bernama New Radicals, walaupun saya mulai suka lagu ini semenjak jadi fans serial Glee. Judul lagunya ‘You Get What You Give”, entah kenapa judul lagu tersebut sangat menempel di kepala saya. Rasanya kalimat itu sangat tepat sehingga saya meyakininya, bahwa apa yang saya dapatkan adalah sama dengan apa yang telah saya berikan. Sampai hari ini ketika kalimat tersebut terasa tidak pas lagi. Tempat ini telah merevisi keyakinan saya. Karena di tempat ini saya merasa telah mendapatkan lebih dari apa yang telah dan bisa saya berikan untuk tempat ini dan seluruh penghuninya. Saya anggap disitulah letaknya kebaikan Tuhan yang rahmatnya memang tanpa batas. Ternyata you (not) always get what you give.

Awal Mula
Banyak orang menganalogikan hidup layaknya sebagai sebuah buku yang terdiri dari bab-bab dengan cerita yang saling sambung-menyambung. Jikalah memang demikian, maka bab kehidupan saya yang ini memiliki kisah yang cukup panjang. Tiga setengah tahun lamanya, entah setara dengan berapa halaman. Kalau suatu hari nanti cerita hidup saya memang dibukukan, dan kisah di bab ini dibaca orang, saya rasa mereka akan mendapatkan banyak keceriaan serta semangat belajar saat membacanya. Yaa ditambah dengan beberapa kekhawatiran dan kebingungan sih, karena segala sesuatunya tidak ada yang sempurna kan? Bab ini adalah bab tentang pengalaman saya bekerja di suatu perusahaan makanan bernama PT Nutrifood Indonesia. Dan per 14 Agustus 2015 kemarin, saya mengakhiri bab tersebut untuk memulai lagi bab baru di buku cerita kehidupan saya. Satu keputusan “ingin sekolah lagi” membuat bab ini harus diakhiri, dan cerita baru akan segera dimulai.
     
Awal mula keinginan sekolah kembali menghantui hidup saya (haha) ketika awal 2014 saya ditawari pindah ke bagian Water Treatment Plant di kantor. Memang sih, dari lulus S1 dulu saya punya rencana untuk suatu hari nanti saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang S2. Tapi selama waktu berjalan, saya kembali mempertanyakan rencana tersebut karena saya jadi sering kepikiran “Apakah semua sarjana harus ngambil master? Kenapa sarjana harus kuliah lagi sih?”. Pada saat itu bagi saya pertanyaan ini penting karena menginjak usia “twenty something” kayaknya udah bukan saatnya melakukan sesuatu karena ikut arus, ngikutin orang, atau melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Nah, terjebak dalam pertanyaan tersebut membuat saya sejenak melupakan keinginan sekolah. Hingga di awal tahun 2014, ketika tawaran pindah ke bagian WTP yang benar-benar di luar rencana saya itu hinggap kepada saya, saya merasa diingatkan pada cita-cita yang lama, yaitu menjadi Enviromental Engineer. Iya, saya pernah dengan serius memikirkan keinginan ini saat SMA, tapi berbagai alasan membuat saya saat itu akhirnya memutuskan kuliah di jurusan yang lain, tapi juga sama sekali tidak saya sesali karena saya mendapatkan banyak berkah dari keputusan tersebut.  WTP memang tidak secara langsung berkaitan dengan Enviromental Engineer, tapi sejujurnya saat itu otak polos saya berpikir “Udah 4 tahun kuliah life science, kerja di perusahaan makanan, dari bagian RnD sampai Logistik, kok ujung-ujungnya ditawarin bagian WTP yang dikit-dikit  berkaitan dengan lingkungan ya?”. Paulo Coelho dalam buku The Alchemist mungkin menganggap kejadian seperti ini sebagai “pertanda”, sementara saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai petunjuk dari Yang Kuasa. Berbagai kontemplasi pun membuat saya semakin yakin bahwa 2015 saya mau kuliah. Keinginan ini benar-benar membuat saya bergerak, sehingga di tahun 2014 saya mulai browsing-browsing soal kuliah, apply beasiswa dan berbagai usaha lainnya, hingga pada akhirnya rezeki saya untuk balik lagi ke ITB, di jurusan Magister Teknik Lingkungan.

Selama waktu berjalan, ada kalanya saya merasa ragu akan keinginan tersebut. Kadang terpikir bisa jadi saya hanya asal mengait-ngaitkan. Sempat terpikir juga daripada nyari sekolah mending fokus nyari suami :p. Hingga suatu saat ada yang menampar saya dengan kata-katanya, dia bilang “mau sampai kapan ragu-ragu terus?” Wadezig! Diomongin kayak gitu dengan nada suara agak naik sama rasanya kayak ditampar bolak-balik. Akhirnya dengan mengucapkan bismillah, saya membulatkan niat saya untuk kuliah, dan menjalankan semua prosesnya. Dari proses apply sekolah, hingga proses resign dari kantor.

The Day
Hingga sampailah ke hari ini, 14 Agustus 2015, hari terakhir saya di kantor. Dari satu minggu sebelumnya sebenarnya saya udah sering mellow sendiri kalau ingat dalam waktu singkat saya akan meninggalkan segala rutinitas, pekerjaan, serta teman-teman di kantor. Padahal kalau mau logis, Bandung kan deket yee, kalau weekend juga bisa aja janjian dan ketemuan, tapi tetep aja baper (bawa perasaan). Yah, ternyata se-heartless-heartless-nya saya, tetep aja saya sedih ninggalin tempat ini.

Selama saya di kantor, saya cukup sering menghadiri acara farewell (dan sebagian besar farewell di Nutrifood menurut saya dibikin dengan niat banget). Kalau boleh jujur, sebenarnya saya nggak terlalu expect di hari terakhir saya di kantor bakal ada yang bikinin farewell, soalnya mengingat temen-temen se-departement saya (sebut saja Dodi dan Fahim :p), kayaknya mereka kurang sensitif gitu untuk bikin acara seperti farewell (hahaha peace yaa Dodi & Fahim). Eh, ternyata saya yang underestimate sama mereka, karena ternyata mereka sweet banget loh. Bersama beberapa teman yang lain mereka membuatkan saya dan Rani (seorang teman yang memutuskan untuk resign untuk kuliah lagi juga) sebuah acara farewell yang sangat berkesan untuk kami berdua. Kayaknya saya butuh sejuta kalimat untuk menjelaskan betapa berkesannya acara kemarin. Mudah-mudahan gambar-gambar ini bisa mendeskripsikan betapa bersyukurnya saya punya rekan kerja sekaligus teman-teman seperti mereka semua (thanks a lot ya guys untuk sharing foto-fotonya)




Jadi ceritanya tema farewellnya “Talkshow Hitam Putih” (foto kanan atas). Foto kiri atas itu saya dan Rani lagi foto sama MC kondang Dedy Dhiaksa Corbuzier dan Prima Jengkelin (the best MC ever di Nutrifood Ciawi deh ini). Kiri bawah, ceritanya Tahmid lagi menghibur kita semua dengan nyanyi lagu Jordan Hill yang “Remember Me This Way”. Aslinya bikin sedih. Terus kanan bawah itu foto kumpulan kado dari banyak orang di kantor. Farewell ini bikin perasaan saya campur aduk, terharu, senang dan yang paling dominan adalah perasaan penuh syukur karena Alloh menakdirkan saya untuk bekerja di Nutrifood.


Foto diatas mengabadikan saya bersama dua atasan saya, yaitu Pak Mursid dan Mbak Sonia. Tanpa mereka sadari saya banyak mengambil pelajaran dari bagaimana mereka memimpin saya dan rekan-rekan yang lain. Dan apa yang mereka sampaikan saat acara tersebut benar-benar saya anggap sebagai suatu penghargaan untuk diri saya sendiri. Apalagi waktu Pak Mursid bilang bahwa sampai saat ini dia merasa memberikan saya kepercayaan adalah suatu keputusan yang benar. Aduh itu rasanya mencelos aja gitu, lega aja dengernya :D


Bab Nutrifood di buku kehidupan saya menghadirkan banyak sekali tokoh yang memberikan warna sendiri-sendiri. Ada yang berperan sebagai panutan, sahabat, teman curhat, teman belajar, rekan kerja, dan lain sebagainya. Apapun peranan mereka, saya bersyukur karena mereka telah menjadi bagian dari buku cerita kehidupan saya. Dan berada satu tim dengan mereka semua, sejatinya adalah kehormatan bagi diri saya sendiri. Oiya, waktu farewell kemarin mungkin kelihatannya saya cuma nangis sedikit (bukannya nggak sedih, tapi MCnya kocak banget jadi tiap mau sedih langsung pengen ketawa lagi, hehehe). Tapi sejujurnya saya beneran banjir air mata waktu baca notes dari teman-teman yang terangkum dalam buku ini:

Confirm, buku ini akan masuk ke treasure box saya. Treasure box yang isinya banyak barang beharga yang saya miliki sedari kecil dan saya jaga hingga hari ini. Iya, buku ini akan jadi salah satunya.

Saya masih ingat di Juli 2011 saya sempat menulis di blog ini tentang rasa syukur dan kebahagiaan yang saya rasakan ketika wisuda dari ITB. Hari ini, 14 Agustus 2015, ketika saya wisuda dari Nutrifood, saya merasakan perasaan yang persis sama: haru, bahagia dan perasaan sangat bersyukur. Sebagaimana saya tulis dalam email perpisahan saya: 
“Nurifood dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah memberikan saya lebih dari apa yang mungkin bisa saya berikan untuk tempat ini. Tidak sekedar memberikan gaji setiap bulan, tapi tempat ini mengajarkan saya nilai-nilai yang berharga, memberikan saya kesempatan belajar, berkembang, serta berkenalan dengan banyak teman baik”.
Dari situ saya menyadari, ternyata..“you (not) always get what you give”

Epilog.
Bab kehidupan saya yang baru sebagai mahasiswa S2 akan dimulai sebentar lagi. Dengan doa dan restu dari banyak orang, saya jadi semakin optimis bahwa 2 tahun ke depan juga akan sama mengasikannya dengan 3,5 tahun terakhir. Kita tidak pernah tahu rencana Alloh. Jika Tuhan memanjangkan umur saya dan bab-bab di buku kehidupan saya terus berlanjut, maka mungkin saja Nutrifood kembali menjadi bagiannya di masa depan. Saat ini saya tidak tahu, dan tidak ada satupun orang yang tahu, tapi saya percaya pada saatnya nanti saya akan tahu J.

Saya mengawali tulisan ini dengan lirik lagu. Maka saya ingin mengakhirinya juga dengan lirik lagu, dan paling tepat rasanya mencuplik lagu milik band Inggris super legendaris: The Beatles. 

There are places I remember
All my life though some have changed
Some forever not for better
Some have gone and some remain
All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life I’ve loved them all


Salam,
Venessa Allia

Minggu, 28 Juni 2015

3 Jam Bersama Grafolog

Hai!

Siang ini gw mau sharing tentang pengalaman minggu kemarin ikut kelas Leadership Insight (Light) di kantor. Dari pertama dapat invitation-nya rasanya udah excited banget karena dari dulu sangat tertarik dengan topik ini. Pembicaranya pun gw ketahui termasuk yang ahli dalam bidang ini, dan gw udah beberapa kali dengerin dia siaran di radio Jak FM membahas tentang hal ini.
Topik yang gw maksud yaitu Grafologi
Dan pembicara yang gw maksud adalah Deborah Dewi.. Yeay!

Gw pribadi pertama kali mendengar grafologi waktu kelas 3 SMA. Waktu itu karena lagi jaman-jamannya bingung mau kuliah jurusan apa dan dimana, ada seorang kakak kelas yang menceritakan sebelum dia memutuskan mau kuliah di jurusan apa, dia memakai jasa grafolog untuk menganalisa karakter dari tulisan tangannya dan memberikan rekomendasi jurusan yang cocok untuk dia tekuni. Dia cerita kalau caranya cukup mudah, dia hanya perlu cukup menulis di kertas polos dengan alas yang datar sebanyak kurang lebih 1-2 halaman, lalu grafolog akan memberikan analisa karakter berdasarkan tulisan tersebut. Karena cerita dari senior gw ini saat itu cukup meyakinkan, saat itu gw sebenernya tertarik juga pengen nyoba, tapi waktu dia kasih tau biayanya berapa..hemmm langsung berubah pikiran. Mahal cing!

Saat kuliah, temen sekelas gw ada yang tertarik juga sama grafologi, tapi ketertarikannya dibuktikan dengan lebih konkret dari gw yang cuma asal tertarik doang, hehe. Dia secara otodidak belajar grafologi, jadi belajar dari buku-buku gitu. Gw inget tuh di tengah kelas yang saat itu, maaf, menjemukan, dia nyuruh gw nulis terus mencoba membaca tulisan gw dan menjelaskan lebih banyak soal grafologi ke gw.

Jadi, intinya grafologi bukan sesuatu yang sama sekali baru buat gw. Hanya saja gw belum pernah mendengar seorang grafolog profesional bicara soal grafologi di depan gw. Makanya waktu dapat invitation  kelas Light ini, dan untungnya tanggalnya pas, gw langsung accept undangannya.Saat sesi Light bersama Mbak Debo, gw sempat menulis beberapa notes terkait ilmu membaca tulisan tangan ini:

  1. Ada 400 indikator grafis yang bisa dibaca dalam grafologi untuk membuat suatu analisis. Grafologi tidak bisa membaca masa depan, jenis kelamin atau fisik seseorang, tapi bisa membaca karakter, kepribadian, cara orang tersebut melihat diri sendiri dan respon orang tersebut saat tertekan. Untuk menghasilkan analisa yang akurat, tentunya ada batasan-batasan sampel, misalnya menulis harus di tempat yang datar, menulis menggunakan bahasa ibu, serta menulis dalam keadaan rileks.
  2. Tangan adalah hardware untuk menulis. Tapi yang berperan penting dalam prosesnya adalah otak, makanya handwriting sendiri sering disebut sebagai brainwriting. Dan karena bersifat sebagai hardware, menulis pada umumnya memang menggunakan tangan, tapi tangan bukan satu-satunya hardware untuk menulis. Orang-orang difabel bisa menggunakan kaki, mulut atau bagian tubuh lainnya untuk menulis. Yang penting adalah otaknya. Dan mau apapun hardware-nya, tulisan tersebut bisa dianalisa oleh grafolog. 
  3. Nobody write in the same way. Dipikir-pikir ini masuk akal juga sih, secara umum setiap anak diajarkan menulis dengan cara yang sama, tapi saat pegang alat tulis dan menulis, keluarnya bisa beda-beda kan? :). Tulisan tangan secara normal memang akan berubah (sebagaimana karakter manusia pun bisa berubah). Secara umum tulisan seseorang dari usia 8 tahun sudah bisa dibaca, dan sampai usia sekitar 13 tahun seseorang bisa melakukan terapi merubah tulisan tangan untuk menghilangkan karakter-karakter yang tidak disukai. 
  4. Kita mengenal ada yang disebut Ego, Super Ego dan Id. Ego dipengaruhi otak bawah sadar sementara Super Ego dan Id dipengaruhi otak bawah sadar. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa:

Ego = The Balanced Self
Super Ego = The Perfect Self (Sesuai Aturan)
Id = The Instinctive Self
Nah, grafolog akan menganalisa tulisan tangan dan kemudian dikaitkan dengan kondisi Ego, Super Ego dan Id dalam diri seseorang. Mbak Debo juga menjelaskan secara umum ada 4 tipe tulisan seseorang yaitu tipe paku, payung, gelas dan benang (sebenarnya ada bahasa ilmiahnya cuma karena istilahnya ribet jadi gw nggak inget)
Paku: agresif
Payung: punya naluri melindungi
Gelas: mudah menerima dan asertif
Benang: memiliki ritme kerja yang cepat

Kurang lebih seperti ini contoh tipe tulisan yang digambarkan Mbak Debo

Selain melihat tipe tulisannya, dalam menganalisa grafolog juga akan melihat form tulisan, connective form, spasi dan margin, irregular/regular dan sebagainya. Analisanya ada banyaaak banget, tapi beberapa analisa yang gw ingat dari penjelasan Mbak Debo:

  1. The Rhytm of Space (spasi, margin) akan menunjukan super ego seseorang
  2. Connective form akan menunjukan ego needs seseorang. Tulisan yang semakin cetak (printing) biasanya memiliki ego needs yang besar juga sehingga perhatian ke dirinya sendiri pun sangat besar, orang seperti ini juga biasanya selalu merasa ingin menunjukan lebih.

Walaupun sudah mengikuti sesi Light ini, bukan berarti gw sudah bisa baca tulisan orang loh yaa. Dari penjelasannya Mbak Debo, gw semakin tahu bahwa menganalisa tulisan tidak bisa ngasal dan ada sangat banyak indikator grafis yang harus dilihat dan dikaitkan satu sama lain, jadi ya nggak bisa sotoy :p
Ada satu hal yang terlintas dipikiran gw saat mendengarkan cerita-cerita Mbak Debo. Gw kepikiran “Ini orang pusing nggak ya ngeliat tulisan dikit pasti bawaannya pengen analisis”. Hihihi. Tapi jadi specialist seperti dia  yang ilmunya bisa dimanfaatkan untuk kebaikan orang lain, pasti menyenangkan dan Insha Alloh berkah :). She is so inspiring.  Dan bagi gw yang people oriented, menganalisa dan memahami karakter seseorang adalah sesuatu yang sangat menarik. Dulu kan gw pengen jadi psikolog, tapi jalan Tuhan membawa gw ke dunia science and technology ini, tapi tetap happy dan sangat bersyukur kok, alhamdulillah.

Kurang lebih 3 jam gw dan teman-teman habiskan untuk bersama-sama mendengarkan cerita dari seorang Grafolog profesional. Ini salah satu sesi Light yang gw suka (tapi sesi Light terbaik tetep sesi Light-nya Pak Handry Satriago sih). Mudah-mudahan masih dikasih kesempatan untuk datang ke sesi Light berikutnya ya :).

Okee..Terimakasih sudah membaca.
Stay positive yaa

Salam,

Venessa Allia

Senin, 25 Mei 2015

Penghuni Favorit


Kita bisa punya banyak alasan mengapa kita bisa betah atau tidak betah berada di rumah. Bisa jadi alasan kita betah di rumah adalah karena rumah kita yang selalu bersih karena selalu ada sumber daya manusia yang membersihkan. Mungkin juga kita  betah di rumah karena fasilitas di rumah yang sekelas hotel berbintang, lengkap dengan perabotan mewah dan makanan-makanan mahal, atau mungkin juga kita betah dirumah karena selalu ada mama dan papa yang memberikan perhatian dan kasih sayang. Demikian sebaliknya, kita bisa memiliki sejuta alasan untuk tidak betah atau bosan berada dirumah. Rumah berantakan, fasilitas seadanya, anggota keluarga yang menyebalkan, serta berbagai alasan lainnya yang mampu membuat kita rasanya ingin minggat dari rumah.

Sebagaimana setiap manusia memiliki alasan, saya pun punya alasan mengapa saya betah berada di rumah ini.

Rumah ini memang tidak sempurna, ada saja cacatnya, dan ibarat pepatah “rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau”, rumah tetangga pun selalu kelihatan lebih menjanjikan. Tapi ketidaksempurnaan tersebut tidak lantas membuat saya menjadi tidak betah di rumah, karena ada satu alasan mengapa saya sangat senang ada disini, yaitu rumah ini diberkahi dengan para penghuni yang menyenangkan dan inspiratif sekali.

Beberapa penghuni rumah ini, saya akui punya sense of humor yang tinggi sehingga kalau lagi sama mereka saya bisa tertawa sampai mengeluarkan air mata. Beberapa penghuni yang lain sense of humor-nya level tiarap, tapi saking garingnya bikin saya ingin tertawa juga (karena kasian hahaha). Tapi, walaupun banyak penghuni di rumah ini yang tukang bercanda, dalam konteks profesional mereka adalah orang-orang yang kompeten dan bertanggung jawab. Boleh jadi di malam hari saya dan beberapa penghuni rumah ini makan malam bareng sambil ketawa-ketawa ngakak karena suatu permainan yang kita sebut main “babi” (sebuah permainan yang rasanya tidak perlu di deskripsikan atau tulisan ini akan jadi sangat panjang :D), tapi besok paginya kita tetap meeting dengan profesional, menjalankan fungsi masing-masing dengan baik. Dan mungkin karena hubungan antar personal yang terbangun dengan baik, jadi ketika ada gesekan-gesekan karena tuntutan pekerjaan tidak menjadi masalah yang besar. Hebatnya lagi, rumah ini juga dipenuhi orang-orang yang memiliki semangat belajar yang luar biasa. Orang-orang yang mau bersusah payah mempelajari hal baru serta berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan selama proses pembelajaran. Berada diantara mereka membuat saya semakin termotivasi untuk terus mencari tahu dan tidak enggan membagikan informasi yang dimiliki.

Oiya, semenjak menjadi penghuni rumah ini saya jadi punya hobi baru yaitu jalan-jalan. Ya habis gimana dong, ada banyak banget traveler lalu lalang di rumah ini, dari yang level backpacker sampai flashpacker juga ada. Dari yang suka city tour sambil belanja-belanja keliling kota sampai para pendaki gunung yang anti kemapanan, semuanya lengkap. Tinggal di rumah ini membuat jalan-jalan menjadi sesuatu yang sederhana, cuma tinggal duduk manis aja eh tiba-tiba ada yang blast itinerary di grup Whatsapp, yang diakhiri dengan kalimat “Weekend ini ada yang mau ikut?”. Contohnya beberapa hari yang lalu, saya baru saja mencoba "Tandem Flight Paralayang" di Puncak, bareng sama 5 orang penghuni rumah ini juga. Entah kenapa kalau sama teman-teman saya yang lain (di luar rumah ini), merencanakan sesuatu kegiatan sering berakhir menjadi wacana, tapi kalau sama anak-anak di rumah ini, entah kenapa selalu terlaksana. Yah sisi negatifnya, kebanyakan gaul sama traveler-traveler di rumah ini bikin tabungan saya gampang banget menguapnya :D

Eitss..tapi biarpun mereka tukang jalan-jalan, para penghuni rumah yang saya idolakan ini juga punya jiwa sosial yang tinggi lho. Dan Thanks God, sifat mereka ini juga menular ke diri saya. Di setiap kegiatan-kegiatan kerelawanan yang saya ikuti di beberapa tahun terakhir, selalu saya temukan ada penghuni rumah ini ikut serta disana. Banyak orang di rumah ini yang saya kenal memiliki kegiatan sosial di luar rumah, apapun itu bentuknya, dari yang jadi guru ngaji, ngajar di SD atau terlibat di event-event sosial yang lain. Mereka itu seperti punya banyak tenaga ekstra untuk menghabiskan waktu dengan cara berbagi dengan sesama. Orang tua saya sempat pernah komentar “Kamu tuh nggak capek apa selain kerja masih ngurusin yang macem-macem (waktu itu kebetulan saya lagi jadi relawan di FGIM)”. Hihi.. saya sih ketawa aja dengernya. Karena Mama Papa nggak tau, bahwa selain saya ada banyak teman di rumah ini yang melakukan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih baik dari apa yang sudah saya lakukan. Yah tapi tetap saja sih, di balik kepositifan mereka semua, mereka tetap anak muda 20 tahunan yang juga sering galau karena quarter life crisis, ahahaha. Merekalah orang-orang favorit saya. Penghuni rumah yang membuat saya selalu merasa nyaman ada di rumah ini.

Saya pernah dengar ada yang bilang bahwa “kamu adalah kombinasi dari 5 orang yang sering berada di sekitarmu”. Jadi apa adanya saya sekarang, sedikit banyak disebabkan oleh penghuni rumah kedua ini. Rumah Kedua? Iya Rumah Kedua. Mungkin akan ada banyak orang yang menilai saya berlebihan menggunakan istilah ini. Dulu pun saya menganggap “Rumah Kedua” adalah istilah yang berlebihan. Karena saya termasuk orang yang memberikan penghargaan tinggi pada kata “rumah”, sehingga tidak semua tempat akan dengan mudah saya nobatkan sebagai rumah kedua. Tapi semakin lama berada di rumah ini dan dikelilingi banyak orang yang hadir sebagai teman dan saudara, membuat saya akhirnya menyetujui bahwa memang benar tempat ini adalah rumah kedua saya. Hal ini mungkin sulit dipahami bagi banyak orang, apalagi bagi mereka yang terjebak dalam kehidupan pekerjaan yang tidak menyenangkan. Hemm.. memang ada banyak hal-hal yang perlu dirasakan sendiri untuk dapat benar-benar mengerti maknanya, menjadikan kantor ini sebagai rumah kedua mungkin salah satunya.  

Kantor ini statusnya sudah lebih dari tempat mencari penghidupan. Kantor ini adalah tempat belajar dan tempat saya berkumpul dengan banyak orang yang saya sukai, yang membuat saya tidak enggan menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Sepertiga waktu saya setiap harinya saya habiskan di tempat ini, tapi saya tidak keberatan, karena saya sadari selalu ada keseruan dan pembelajaran. Bukan berarti saya tidak pernah bosan berada dirumah ini, karena memang rumah ini tidak sempurna, jadi selalu ada saja kurangnya di mata saya. Tapi apa sih yang sempurna di dunia ini? Nggak ada kan? Maka untuk segala kekurangan dan kelebihannya, serta warna-warni karakter penghuni rumah yang selalu dapat menginspirasi hidup saya, iya saya setuju, kalau tempat ini adalah Rumah Kedua. Iya, Nutrifood adalah Rumah Kedua.


Merekalah rumah kedua saya.

Anyway, terimakasih sudah membaca cerita ini. Stay positive yaa.


Salam,
Venessa Allia
#Nutrifood #PersonalLife