Hai! Dua minggu terakhir ini saya ikut Kelas Menulis Cerpen yang diadakan oleh Inspirator Academy, dan hari ini saya memberanikan diri untuk mempublikasikan cerpen yang saya tulis (sekalian untuk jadi setoran 1 minggu 1 cerita). Soalnya dipikir-pikir, cerpen ini nggak ada artinya juga kalau yang tahu cuma saya, Mbak Rizka (mentor menulis saya) dan pastinya Tuhan. Selama 2 minggu terakhir, para mentee diminta menulis total 11 cerpen, ada yang tema bebas, ada juga yang ditentukan. Cerpen dibawah ini adalah salah satu cerpen tema bebas. Waktu itu saya ingin menulis cerita yang tokohnya anak-anak, inspirasi konfliknya sebenarnya dari film Con Air, lalu diramu sedemikian rupa hingga jadilah cerita ini. Selamat menikmati cerpen pertama saya di blog ini. Feel free untuk memberikan komentar dalam bentuk apapun juga, soalnya sebagai pemula saya amat sangat butuh feedback dari para netizen juara seperti teman- teman semuanyaaa, hehehe :).
---
Jangan Benci Mama, Chikita
Teng…. Teng…Teng…
Lonceng sekolah
berdentang tiga kali. Satu per satu siswa dan siswi SD Merah Putih keluar
kelas, ada yang menuju kantin, area taman atau halaman belakang. Jam dinding
raksasa yang terpasang di dekat gerbang sekolah pukul 10.00 pagi, ini waktu
pulang bagi siswa kelas satu dan waktu istirahat bagi siswa kelas dua hingga
enam. Chikita, salah satu murid SD Merah Putih, usianya baru 8 tahun sehingga
dia masih duduk di kelas 2. Bersama teman baiknya Ellen, Chiki keluar kelas menuju
taman sambil membawa kotak bekal dan botol minum berwarna ungu. Chiki nampak
kurang bersemangat. Sebagai sahabat yang baik, Ellen pun menyadari raut muka
sahabatnya yang dari tadi merengut.
“Chik, kok dari
tadi manyun terus sih?” tanya Ellen, tanggannya menggandeng tangan Chiki. Chiki
dan Ellen memiliki perawakan yang mirip, mereka seperti kakak adik. Tubuh Ellen
hanya sedikit lebih tinggi, dia nampak seperti kakak Chiki.
“Nggak apa-apa, Len. Aku cuma masih sebel sama
Dio, dia tadi ngumpetin penghapus aku, terus sekarang penghapusnya hilang,”
jawab Chiki. Di kelas Chiki dan Ellen duduk berjauhan. Pak Tono, wali kelas
mereka, memang sengaja memisahkan mereka karena jika dibiarkan duduk semeja
mereka sering ngobrol saat guru menerangkan.
“Iiih, Dio bandel
banget sih. Nanti aku bilangin ke Pak Tono ya, Chik. Kamu pakai penghapus aku
aja dulu.” Ellen pun ikut kesal kepada Dio.
“Nggak usah, Len.
Nanti habis istirahat biar aku suruh Dio cari penghapusnya sampai ketemu,” kata
Chiki sambil masih terlihat sedih. Mukanya dia lipat ke bawah membuat dagunya
terlihat seperti ada dua. Untuk anak seumurannya, tubuh Chiki memang cukup
gemuk. Ellen pun menurut.
Di taman, Chiki dan Ellen duduk di
bangku di bawah kanopi yang menghadap kolam. Rumput-rumput di taman masih
sedikit basah karena gerimis yang turun sedari pagi. Hujan sekarang sudah
berhenti, berganti matahari yang sekarang bersinar hangat. Murid-murid SD Merah
Putih ramai bermain di taman. Chiki dan Ellen membuka kotak bekal mereka. Chiki
membawa nasi goreng sosis buatan Mama, sementara Ellen membawa roti coklat dan
susu.
“Wah bekal kamu nampaknya lezat sekali
Chik. Mamamu yang masak ya? Bekalku hari ini disiapkan oleh Papa. Tapi karena
Papa tidak bisa memasak, jadi aku dibekali roti dan susu saja.” Ellen bercerita
panjang, mencoba mengalihkan perhatian Chiki supaya temannya tidak sedih lagi.
“Kamu mau coba,
Len?” Chiki menawarkan bekalnya, dia mulai tersenyum.
“Mau dong,” Ellen
menyendokan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, dia mengunyah dengan lahap,
nampak sangat menikmati nasi goreng buatan Mama Chiki, “Emmm, enak banget Chik.
Mama kamu hebat banget. Terimakasih ya. Aku sekarang mau makan bekal aku deh.”
Chiki pun membuka bungkus roti miliknya.
Chiki kembali menikmati nasi goreng
bekalnya. Dia sudah tahu kalau masakan Mamanya memang paling enak se-Jakarta.
Itulah sebabnya katering Mama Chiki tidak pernah sepi pesanan. Chiki senang menghabiskan
waktu istirahat bersama Ellen. Ellen gemar memuji dan selalu ceria. Lesung
pipit Ellen tidak pernah hilang dari pipinya karena Ellen selalu tersenyum.
Tapi sebenarnya hari ini Chiki sudah murung sedari pagi, bahkan sebelum Dio
menghilangkan penghapusnya.
Tiba-tiba Ellen berseru, “Yaaah, Papa
kok bawain aku roti isi stroberi sih. Papa pasti lupa deh kalau aku nggak suka
stroberi. Stroberi kan nggak enak, rasanya kayak obat batuk.” Sekali ini Ellen
merengut, dia tidak mau memakan rotinya dan menutup kotak bekalnya.
“Yaudah, Len.
Sini makan nasi goreng sama aku aja. Mamaku bawainnya kebanyakan nih.” Mereka
pun makan nasi goreng bersama. Sementara itu seekor kucing mendekati mereka
nampaknya ingin diajak makan bersama juga.
Matahari saat ini sudah bersinar tanpa malu-malu lagi. Murid-murid
SD tak sungkan lagi berlarian di taman. Chiki dan Ellen masih asik makan bekal
menggunakan satu sendok berdua. Saat sedang lahap makan, Chiki bertanya, “Papa
kamu rajin sekali ya Len. Pagi-pagi sudah menyiapkan bekal. Setiap pagi juga
kamu diantar Papa ke sekolah, kan?”
“Hihihi, ini karena
Mamaku sedang menengok nenek di Palembang. Jadi Papa yang menyiapkan bekal.
Papaku itu lucu sekali Chik. Setiap pagi di mobil, Papa selalu bercerita hal
yang lucu kepadaku, aku jadi semangat pergi ke sekolah. Papamu masih di luar
negeri ya Chik?” Ellen bercerita walau di mulutnya masih ada sisa makanan. Mata
Ellen berbinar saat bercerita tentang papanya, terlihat sekali kalau Ellen
sangat sayang Papa.
“Iya nih. Papaku masih di Australia,” jawab
Chiki singkat. Matanya memandang ikan-ikan di kolam taman. Tiba-tiba saja
selera makannya hilang.
“Papamu sering
sekali ke Australia Chik. Kamu pasti senang sekali punya banyak oleh-oleh dari negeri
kangguru. Kapan-kapan aku mau jalan-jalan ke Australia juga ah sama Papa. Eh,
tapi minggu depan, kita kan ada acara Father
Goes To School. Papamu bakal datang, kan?” Ellen menoleh ke arah Chiki yang
sudah tidak melanjutkan makannya, ia pun menghabiskan satu sendok terakhir
bekal Chiki.
“Iya, Len. Papaku
bakal datang kok. Nanti kalau Papaku bawa oleh-oleh, kamu akan aku kasih juga
deh.” Chiki tersenyum, namun wajahnya menghindari tatapan Ellen. Perasaannya
tidak enak. Tapi Ellen tidak tahu itu, ia kembali memamerkan lesung pipitnya,
membalas senyum Chiki dengan gembira.
Teng…. Teng…Teng…
Lonceng sekolah kembali berdentang tiga
kali. Waktu istirahat telah usai. Matahari kini sudah lebih berani menunjukan
sinarnya yang terik. Titik-titik air di rumput taman sudah mengering. Chiki dan
Ellen membereskan tempat bekal mereka, lalu bersama kembali ke kelas.
***
Di rumah, Chiki
dan Mama selalu makan di meja makan. Ruang makan mereka tidak besar, hanya
ruangan 3x3 meter dengan meja makan bundar di tengah berlapis taplak kuning
muda. Chiki dan Mama duduk bersebelahan. Kata Mama, makan di meja makan adalah
kebiasaan yang ditularkan oleh Papa. Waktu Chiki masih bayi, Papa selalu
membawa keranjang bayi Chiki ke ruang makan saat makan malam supaya Chiki bisa
ikut makan bersama Mama dan Papa.
Nasi, ayam bakar
dan tumis kanggung telah habis disantap. Mama baru saja menghidangkan puding
karamel favorit Chiki, namun kali ini Chiki tidak menanggapinya.
“Loh kok
pudingnya nggak di makan? Kenapa sayang?” Mama bertanya lembut, dia menyadari
ada yang aneh dari putri semata wayangnya.
“Ma, Papa kapan
pulang sih?” Chiki balas bertanya, matanya sendu menatap Mama.
“Papa, masih di
Australia sayang. Belum bisa pulang,” jawab Mama sambil membereskan piring
makanan.
“Tapi Papa sudah lama sekali tidak pulang Ma.
Menelepon hanya sesekali saja. Papa kemana sih, Ma?” Chiki sungguh-sungguh
minta jawaban. Ekspresinya serius. Tangannya menarik-narik daster coklat yang
sedang dipakai Mama. Di luar, gerimis turun kembali, nampaknya langit belum
puas membasahi bumi tadi pagi.
“Loh, Chiki kan
tahu Papa sedang bekerja ke Australia. Pekerjaan Papa sangat banyak jadi tidak
bisa sering-sering menghubungi kita. Bulan kemarin Papa kan sudah mengirimkan
Chiki oleh-oleh boneka koala, masa Chiki masih tidak senang?” Mama menyibukan
diri dengan merapikan taplak meja walau taplak tersebut masih bersih dan rapi.
Mata Mama enggan menatap Chiki. Chiki tidak menyadari bahwa ekspresi Mama
mendadak serius karena tegang. Petir mulai bergemuruh di angkasa, suaranya
memperburuk suasana ruang makan keluarga Chiki yang mendadak tidak nyaman.
Kalau saja tidak ada gemuruh petir itu, mungkin Chiki bisa mendengarkan betapa
keras jantung Mamanya berdebar.
“Tapi minggu
depan ada acara Fathers Goes To School
di sekolah Chiki. Chiki mau Papa datang. Chiki tidak butuh oleh-oleh, Chiki..cuma..mau..Papa..datang.”
Suara Chiki meninggi. Air matanya jatuh karena ia bersikeras ingin Papanya
datang. Di luar hujan pun sudah turun deras.
“Oooh, nanti Om Pram
saja yang datang bagaimana? Kan Chiki pernah bilang, kalau Om Pram itu paman
favorit Chiki.” Mama akhirnya memberanikan diri menengok dan tersenyum kepada
Chiki, berusaha melunakan ekspresinya, tapi Chiki malah marah.
“Ma! Minggu depan itu Fathers Goes To School, bukan Uncle Goes To School. POKOKNYA CHIKI MAU
PAPA PULANG!” Chiki tidak bermaksud membentak Mama, tapi dia begitu emosi
menginginkan Papanya pulang. Air mata membasahi meja makan malam itu. Bukan hanya
air mata Chiki, tapi juga air mata mama. Bersamaan dengan itu semua, petir
keras menggetarkan kaca jendela dan bulu kuduk siapapun yang mendengarnya.
“Chiki masuk kamar sekarang! Tidur di
kamar Chiki sendiri! Kamu dihukum, tidak boleh tidur dengan Mama malam ini!”
Setiap kalimat Mama ucapkan dengan tegas. Muka Mama memerah karena menahan
diri. Mama menatap Chiki dengan galak. Hati Mama pedih sekali saat menghukum
gadis kesayangannya, tapi demi mengakhiri topik ini, dia tahu dia harus
melakukannya.
Chiki berlari menuju kamarnya. Hukuman
tidur sendiri adalah hukuman terberat dari Mama bagi Chiki karena Chiki masih
takut tidur sendiri. Malam ini pun dia tetap takut tidur sendiri, tapi rasa
takutnya kalah oleh rasa sedihnya yang tidak terbilang. Di dalam kamar, di
balik selimut, Chiki menangis tersedu. Suara tangisnya tersamarkan oleh suara
hujan yang turun semakin lebat. Nampaknya langit turut merasakan kesedihan
Chiki.
“Chiki
kangen Papa, Chiki kangen Papa, Chiki mau Papa,” kata hati Chiki berulang-ulang. Hingga akhirnya mata Chiki sudah
terlalu berat menumpahkan air mata, Chiki pun tertidur dalam harap dapat bertemu
Papa dalam mimpi.
Lalu, apakah hujan di luar sudah
berhenti? Tidak, hujan masih sama derasnya karena langit tidak hanya bersedih
bersama Chiki, tapi juga bersama Mama. Masih di ruang makan, air mata Mama
memang sudah tidak mengalir lagi. Bukan karena Mama tidak sedih, tapi karena
dia sudah lelah menangis. Kesedihan Mama sudah lebih dalam dari deraian air
mata, biarlah langit yang menggantikannya menangis. Mama Chiki sejatinya adalah
ibu yang luar biasa. Selama berbulan-bulan ini dia menyembunyikan fakta yang
tidak ingin sampai diketahui putri gembilnya yang cantik. Dan rahasia ini harus
tetap bertahan hingga dua tahun ke depan.
Dalam langkah gontai, Mama menuju kamar
Chiki dan dilihatnya Chiki sudah terlelap. Dibukanya selimut Chiki yang masih
basah oleh air mata. Mama tidak kuasa menahan haru, air matanya tumpah juga.
Seandainya Chiki tahu bahwa Mama pun merindukan Papa. Mama mencabut hukuman
Chiki. Dibaringkannya tubuhnya di samping Chiki yang tidur menghadap tembok
yang dingin, sedingin udara malam yang berhembus di luar. Hujan mulai mereda
namun belum juga berhenti. Mama memeluk Chiki dari belakang. Sebagaimana seorang
Mama di seluruh dunia yang selalu jago multi
tasking, Mama Chiki juga sekarang sedang melakukan tiga hal bersamaan: menghantarkan
kehangatan seorang ibu untuk Chiki, merasakan ketulusan cinta kasih seorang
putri yang rindu ayahnya, dan menyampaikan titipan peluk penyesalan dari
seorang ayah yang saat ini sedang berada di penjara.
“Chiki,
suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Begitu cintanya Mama kepadamu. Mama tidak
ingin merusak kebanggaanmu kepada Papa. Papa tidak di Australia, Papa di
penjara. Bukan karena Papa bersalah, tapi karena Papa difitnah. Boneka koala
itu adalah oleh-oleh dari Om Pram yang rela membantu Mama bersandiwara.
Chikita, saat ini kamu masih terlalu kecil. Kejamnya dunia ini bukanlah hal
yang pantas untuk kamu ketahui. Jangan benci Mama ya, Nak.” Mama
menjelaskan kepada Chika, meski dalam hati.
----
Stay positive yaaa.
Salam,
Venessa Allia
6 comments:
duh bagus yaa cerpennyaa... aku mah belum bisa bikin cerita kayak gini
Ceritanya sederhana tapi ngena. Suka deh. Keep up the good work, makin sering nulis yaaa!
Hai-hai! Wah, pertamax nih gue. Hehe.
Gue suka nih plot twist di akhir cerpennya. Tapi gue ada beberapa koreksi nih, siapa tahu bermanfaat.
1. Jam dinding raksasa yang terpasang di dekat gerbang sekolah pukul 10.00 pagi, ini waktu pulang bagi siswa kelas satu dan waktu istirahat bagi siswa kelas dua hingga enam.
Koreksi: Ini kayaknya kurang kata "menunjukkan" di bagian sebelum pukul 10 pagi. Dan kalau udah disebutkan 10 pagi, nggak usah disebutkan 10.00 (karena 10.00 itu memang waktu pagi). Jadi, pilih salah satu aja. Mau 10.00 apa 10 pagi.
Terus, bagian "ini waktu pulang bagi siswa...." sebaiknya dijadikan kalimat baru aja, jangan disambung soalnya kepanjangan itu kalimatnya kalau disambung sama yang "jam dinding raksasa", padahal antara dua kalimat tersebut premisnya udah berbeda.
2. “Mau dong,” Ellen menyendokan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, dia mengunyah dengan lahap, nampak sangat menikmati nasi goreng buatan Mama Chiki, “Emmm, enak banget Chik. Mama kamu hebat banget. Terimakasih ya. Aku sekarang mau makan bekal aku deh.” Chiki pun membuka bungkus roti miliknya.
Koreksi: Bagian itu harusnya "Ellen pun membuka bungkus roti miliknya."
Dan kenapa di awal disebutkan roti cokelat, padahal pas Ellen buka itu roti stroberi? Apakah Ellen tahu itu isinya apa sehingga dia menyebut roti cokelat padahal roti stroberi? Hehe. Ini cuma masalah logical fallacy doang sih, nggak serius. Tapi buat beberapa pembaca, mungkin bisa dianggap serius. :D
3. Papa tidak di Australia, Papa di penjara.
Koreksi: untuk yang ini agak rancu sih hmm. Dipenjara bisa berupa imbuhan di-penjara atau berupa kata tunjuk di penjara. Tapi jika memang mengacu ke kata tunjuk, sebaiknya ditambahkan penjelas, misalnya: Papa tidak di Australia, Papa ada di penjara.
4. Mama menjelaskan kepada Chika, meski dalam hati.
Koreksi: anaknya Chika atau Chiki? :D
***
Semangat menulisnya! :D
Wuah keren kok untuk level cerpen pertama, apalagi temanya anak2, cukup antimainstream siih..
Yang kurang menurutku hmmm... Itu kenapa ada Dio di awal cerita? Kurasa cerita dan ngobrol sama sahabatnya sudah cukup mewakili intro cerpen ini sih
Kurasa begitu
Ditunggu cerpen kedua ya
Semangaaaaat
nice :) jadi pengen cari inspirasi buat cerepen selanjutnya juga hehehe
-dedeph-
Mbak Ani, Mbak Levina, Mbak Rhoshandhayani dan Mbak Dedeph, terimakasih banyaaak. Jadi semangat nulis cerpen lagi :) :)
Dan @Ayu Welirang, thank you so much, ini gue baca ulang dan sadar kalau banyak error nulisnya, hehe, ada yang typo juga. Makasih udah dikoreksi yuuu :)
Posting Komentar