Selasa, 23 Januari 2018

Cerpen Pertama : Jangan Benci Mama, Chikita

Hai! Dua minggu terakhir ini saya ikut Kelas Menulis Cerpen yang diadakan oleh Inspirator Academy, dan hari ini saya memberanikan diri untuk mempublikasikan cerpen yang saya tulis (sekalian untuk jadi setoran 1 minggu 1 cerita). Soalnya dipikir-pikir, cerpen ini nggak ada artinya juga kalau yang tahu cuma saya, Mbak Rizka (mentor menulis saya) dan pastinya Tuhan. Selama 2 minggu terakhir, para mentee diminta menulis total 11 cerpen, ada yang tema bebas, ada juga yang ditentukan. Cerpen dibawah ini adalah salah satu cerpen tema bebas. Waktu itu saya ingin menulis cerita yang tokohnya anak-anak, inspirasi konfliknya sebenarnya dari film  Con Air, lalu diramu sedemikian rupa hingga jadilah cerita ini. Selamat menikmati cerpen pertama saya di blog ini. Feel free untuk memberikan komentar dalam bentuk apapun juga, soalnya sebagai pemula saya amat sangat butuh feedback dari para netizen juara seperti teman- teman semuanyaaa, hehehe :). 
---

Jangan Benci Mama, Chikita

            Teng…. Teng…Teng…
            Lonceng sekolah berdentang tiga kali. Satu per satu siswa dan siswi SD Merah Putih keluar kelas, ada yang menuju kantin, area taman atau halaman belakang. Jam dinding raksasa yang terpasang di dekat gerbang sekolah pukul 10.00 pagi, ini waktu pulang bagi siswa kelas satu dan waktu istirahat bagi siswa kelas dua hingga enam. Chikita, salah satu murid SD Merah Putih, usianya baru 8 tahun sehingga dia masih duduk di kelas 2. Bersama teman baiknya Ellen, Chiki keluar kelas menuju taman sambil membawa kotak bekal dan botol minum berwarna ungu. Chiki nampak kurang bersemangat. Sebagai sahabat yang baik, Ellen pun menyadari raut muka sahabatnya yang dari tadi merengut.
            “Chik, kok dari tadi manyun terus sih?” tanya Ellen, tanggannya menggandeng tangan Chiki. Chiki dan Ellen memiliki perawakan yang mirip, mereka seperti kakak adik. Tubuh Ellen hanya sedikit lebih tinggi, dia nampak seperti kakak Chiki.
             “Nggak apa-apa, Len. Aku cuma masih sebel sama Dio, dia tadi ngumpetin penghapus aku, terus sekarang penghapusnya hilang,” jawab Chiki. Di kelas Chiki dan Ellen duduk berjauhan. Pak Tono, wali kelas mereka, memang sengaja memisahkan mereka karena jika dibiarkan duduk semeja mereka sering ngobrol saat guru menerangkan.
            “Iiih, Dio bandel banget sih. Nanti aku bilangin ke Pak Tono ya, Chik. Kamu pakai penghapus aku aja dulu.” Ellen pun ikut kesal kepada Dio.
            “Nggak usah, Len. Nanti habis istirahat biar aku suruh Dio cari penghapusnya sampai ketemu,” kata Chiki sambil masih terlihat sedih. Mukanya dia lipat ke bawah membuat dagunya terlihat seperti ada dua. Untuk anak seumurannya, tubuh Chiki memang cukup gemuk. Ellen pun menurut.   
Di taman, Chiki dan Ellen duduk di bangku di bawah kanopi yang menghadap kolam. Rumput-rumput di taman masih sedikit basah karena gerimis yang turun sedari pagi. Hujan sekarang sudah berhenti, berganti matahari yang sekarang bersinar hangat. Murid-murid SD Merah Putih ramai bermain di taman. Chiki dan Ellen membuka kotak bekal mereka. Chiki membawa nasi goreng sosis buatan Mama, sementara Ellen membawa roti coklat dan susu.
“Wah bekal kamu nampaknya lezat sekali Chik. Mamamu yang masak ya? Bekalku hari ini disiapkan oleh Papa. Tapi karena Papa tidak bisa memasak, jadi aku dibekali roti dan susu saja.” Ellen bercerita panjang, mencoba mengalihkan perhatian Chiki supaya temannya tidak sedih lagi.
            “Kamu mau coba, Len?” Chiki menawarkan bekalnya, dia mulai tersenyum.
            “Mau dong,” Ellen menyendokan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, dia mengunyah dengan lahap, nampak sangat menikmati nasi goreng buatan Mama Chiki, “Emmm, enak banget Chik. Mama kamu hebat banget. Terimakasih ya. Aku sekarang mau makan bekal aku deh.” Chiki pun membuka bungkus roti miliknya.  
Chiki kembali menikmati nasi goreng bekalnya. Dia sudah tahu kalau masakan Mamanya memang paling enak se-Jakarta. Itulah sebabnya katering Mama Chiki tidak pernah sepi pesanan. Chiki senang menghabiskan waktu istirahat bersama Ellen. Ellen gemar memuji dan selalu ceria. Lesung pipit Ellen tidak pernah hilang dari pipinya karena Ellen selalu tersenyum. Tapi sebenarnya hari ini Chiki sudah murung sedari pagi, bahkan sebelum Dio menghilangkan penghapusnya.
Tiba-tiba Ellen berseru, “Yaaah, Papa kok bawain aku roti isi stroberi sih. Papa pasti lupa deh kalau aku nggak suka stroberi. Stroberi kan nggak enak, rasanya kayak obat batuk.” Sekali ini Ellen merengut, dia tidak mau memakan rotinya dan menutup kotak bekalnya.
            “Yaudah, Len. Sini makan nasi goreng sama aku aja. Mamaku bawainnya kebanyakan nih.” Mereka pun makan nasi goreng bersama. Sementara itu seekor kucing mendekati mereka nampaknya ingin diajak makan bersama juga.
            Matahari saat ini sudah bersinar tanpa malu-malu lagi. Murid-murid SD tak sungkan lagi berlarian di taman. Chiki dan Ellen masih asik makan bekal menggunakan satu sendok berdua. Saat sedang lahap makan, Chiki bertanya, “Papa kamu rajin sekali ya Len. Pagi-pagi sudah menyiapkan bekal. Setiap pagi juga kamu diantar Papa ke sekolah, kan?”
            “Hihihi, ini karena Mamaku sedang menengok nenek di Palembang. Jadi Papa yang menyiapkan bekal. Papaku itu lucu sekali Chik. Setiap pagi di mobil, Papa selalu bercerita hal yang lucu kepadaku, aku jadi semangat pergi ke sekolah. Papamu masih di luar negeri ya Chik?” Ellen bercerita walau di mulutnya masih ada sisa makanan. Mata Ellen berbinar saat bercerita tentang papanya, terlihat sekali kalau Ellen sangat sayang Papa.
              “Iya nih. Papaku masih di Australia,” jawab Chiki singkat. Matanya memandang ikan-ikan di kolam taman. Tiba-tiba saja selera makannya hilang.
            “Papamu sering sekali ke Australia Chik. Kamu pasti senang sekali punya banyak oleh-oleh dari negeri kangguru. Kapan-kapan aku mau jalan-jalan ke Australia juga ah sama Papa. Eh, tapi minggu depan, kita kan ada acara Father Goes To School. Papamu bakal datang, kan?” Ellen menoleh ke arah Chiki yang sudah tidak melanjutkan makannya, ia pun menghabiskan satu sendok terakhir bekal Chiki.
            “Iya, Len. Papaku bakal datang kok. Nanti kalau Papaku bawa oleh-oleh, kamu akan aku kasih juga deh.” Chiki tersenyum, namun wajahnya menghindari tatapan Ellen. Perasaannya tidak enak. Tapi Ellen tidak tahu itu, ia kembali memamerkan lesung pipitnya, membalas senyum Chiki dengan gembira.
            Teng…. Teng…Teng…
            Lonceng sekolah kembali berdentang tiga kali. Waktu istirahat telah usai. Matahari kini sudah lebih berani menunjukan sinarnya yang terik. Titik-titik air di rumput taman sudah mengering. Chiki dan Ellen membereskan tempat bekal mereka, lalu bersama kembali ke kelas.  
***
            Di rumah, Chiki dan Mama selalu makan di meja makan. Ruang makan mereka tidak besar, hanya ruangan 3x3 meter dengan meja makan bundar di tengah berlapis taplak kuning muda. Chiki dan Mama duduk bersebelahan. Kata Mama, makan di meja makan adalah kebiasaan yang ditularkan oleh Papa. Waktu Chiki masih bayi, Papa selalu membawa keranjang bayi Chiki ke ruang makan saat makan malam supaya Chiki bisa ikut makan bersama Mama dan Papa.
            Nasi, ayam bakar dan tumis kanggung telah habis disantap. Mama baru saja menghidangkan puding karamel favorit Chiki, namun kali ini Chiki tidak menanggapinya.
            “Loh kok pudingnya nggak di makan? Kenapa sayang?” Mama bertanya lembut, dia menyadari ada yang aneh dari putri semata wayangnya.
            “Ma, Papa kapan pulang sih?” Chiki balas bertanya, matanya sendu menatap Mama.
           “Papa, masih di Australia sayang. Belum bisa pulang,” jawab Mama sambil membereskan piring makanan.        
            “Tapi Papa sudah lama sekali tidak pulang Ma. Menelepon hanya sesekali saja. Papa kemana sih, Ma?” Chiki sungguh-sungguh minta jawaban. Ekspresinya serius. Tangannya menarik-narik daster coklat yang sedang dipakai Mama. Di luar, gerimis turun kembali, nampaknya langit belum puas membasahi bumi tadi pagi.
            “Loh, Chiki kan tahu Papa sedang bekerja ke Australia. Pekerjaan Papa sangat banyak jadi tidak bisa sering-sering menghubungi kita. Bulan kemarin Papa kan sudah mengirimkan Chiki oleh-oleh boneka koala, masa Chiki masih tidak senang?” Mama menyibukan diri dengan merapikan taplak meja walau taplak tersebut masih bersih dan rapi. Mata Mama enggan menatap Chiki. Chiki tidak menyadari bahwa ekspresi Mama mendadak serius karena tegang. Petir mulai bergemuruh di angkasa, suaranya memperburuk suasana ruang makan keluarga Chiki yang mendadak tidak nyaman. Kalau saja tidak ada gemuruh petir itu, mungkin Chiki bisa mendengarkan betapa keras jantung Mamanya berdebar.
            “Tapi minggu depan ada acara Fathers Goes To School di sekolah Chiki. Chiki mau Papa datang. Chiki tidak butuh oleh-oleh, Chiki..cuma..mau..Papa..datang.” Suara Chiki meninggi. Air matanya jatuh karena ia bersikeras ingin Papanya datang. Di luar hujan pun sudah turun deras.
            “Oooh, nanti Om Pram saja yang datang bagaimana? Kan Chiki pernah bilang, kalau Om Pram itu paman favorit Chiki.” Mama akhirnya memberanikan diri menengok dan tersenyum kepada Chiki, berusaha melunakan ekspresinya, tapi Chiki malah marah.
“Ma! Minggu depan itu Fathers Goes To School, bukan Uncle Goes To School. POKOKNYA CHIKI MAU PAPA PULANG!” Chiki tidak bermaksud membentak Mama, tapi dia begitu emosi menginginkan Papanya pulang. Air mata membasahi meja makan malam itu. Bukan hanya air mata Chiki, tapi juga air mata mama. Bersamaan dengan itu semua, petir keras menggetarkan kaca jendela dan bulu kuduk siapapun yang mendengarnya.
“Chiki masuk kamar sekarang! Tidur di kamar Chiki sendiri! Kamu dihukum, tidak boleh tidur dengan Mama malam ini!” Setiap kalimat Mama ucapkan dengan tegas. Muka Mama memerah karena menahan diri. Mama menatap Chiki dengan galak. Hati Mama pedih sekali saat menghukum gadis kesayangannya, tapi demi mengakhiri topik ini, dia tahu dia harus melakukannya.
Chiki berlari menuju kamarnya. Hukuman tidur sendiri adalah hukuman terberat dari Mama bagi Chiki karena Chiki masih takut tidur sendiri. Malam ini pun dia tetap takut tidur sendiri, tapi rasa takutnya kalah oleh rasa sedihnya yang tidak terbilang. Di dalam kamar, di balik selimut, Chiki menangis tersedu. Suara tangisnya tersamarkan oleh suara hujan yang turun semakin lebat. Nampaknya langit turut merasakan kesedihan Chiki.  
“Chiki kangen Papa, Chiki kangen Papa, Chiki mau Papa,” kata hati Chiki berulang-ulang. Hingga akhirnya mata Chiki sudah terlalu berat menumpahkan air mata, Chiki pun tertidur dalam harap dapat bertemu Papa dalam mimpi.
Lalu, apakah hujan di luar sudah berhenti? Tidak, hujan masih sama derasnya karena langit tidak hanya bersedih bersama Chiki, tapi juga bersama Mama. Masih di ruang makan, air mata Mama memang sudah tidak mengalir lagi. Bukan karena Mama tidak sedih, tapi karena dia sudah lelah menangis. Kesedihan Mama sudah lebih dalam dari deraian air mata, biarlah langit yang menggantikannya menangis. Mama Chiki sejatinya adalah ibu yang luar biasa. Selama berbulan-bulan ini dia menyembunyikan fakta yang tidak ingin sampai diketahui putri gembilnya yang cantik. Dan rahasia ini harus tetap bertahan hingga dua tahun ke depan.
Dalam langkah gontai, Mama menuju kamar Chiki dan dilihatnya Chiki sudah terlelap. Dibukanya selimut Chiki yang masih basah oleh air mata. Mama tidak kuasa menahan haru, air matanya tumpah juga. Seandainya Chiki tahu bahwa Mama pun merindukan Papa. Mama mencabut hukuman Chiki. Dibaringkannya tubuhnya di samping Chiki yang tidur menghadap tembok yang dingin, sedingin udara malam yang berhembus di luar. Hujan mulai mereda namun belum juga berhenti. Mama memeluk Chiki dari belakang. Sebagaimana seorang Mama di seluruh dunia yang selalu jago multi tasking, Mama Chiki juga sekarang sedang melakukan tiga hal bersamaan: menghantarkan kehangatan seorang ibu untuk Chiki, merasakan ketulusan cinta kasih seorang putri yang rindu ayahnya, dan menyampaikan titipan peluk penyesalan dari seorang ayah yang saat ini sedang berada di penjara.
Chiki, suatu hari nanti, kamu akan mengerti. Begitu cintanya Mama kepadamu. Mama tidak ingin merusak kebanggaanmu kepada Papa. Papa tidak di Australia, Papa di penjara. Bukan karena Papa bersalah, tapi karena Papa difitnah. Boneka koala itu adalah oleh-oleh dari Om Pram yang rela membantu Mama bersandiwara. Chikita, saat ini kamu masih terlalu kecil. Kejamnya dunia ini bukanlah hal yang pantas untuk kamu ketahui. Jangan benci Mama ya, Nak.” Mama menjelaskan kepada Chika, meski dalam hati.
 

----

Stay positive yaaa.

Salam,
Venessa Allia




6 comments:

Unknown mengatakan...

duh bagus yaa cerpennyaa... aku mah belum bisa bikin cerita kayak gini

Levina Tabita mengatakan...

Ceritanya sederhana tapi ngena. Suka deh. Keep up the good work, makin sering nulis yaaa!

Ayu Welirang mengatakan...

Hai-hai! Wah, pertamax nih gue. Hehe.

Gue suka nih plot twist di akhir cerpennya. Tapi gue ada beberapa koreksi nih, siapa tahu bermanfaat.

1. Jam dinding raksasa yang terpasang di dekat gerbang sekolah pukul 10.00 pagi, ini waktu pulang bagi siswa kelas satu dan waktu istirahat bagi siswa kelas dua hingga enam.

Koreksi: Ini kayaknya kurang kata "menunjukkan" di bagian sebelum pukul 10 pagi. Dan kalau udah disebutkan 10 pagi, nggak usah disebutkan 10.00 (karena 10.00 itu memang waktu pagi). Jadi, pilih salah satu aja. Mau 10.00 apa 10 pagi.

Terus, bagian "ini waktu pulang bagi siswa...." sebaiknya dijadikan kalimat baru aja, jangan disambung soalnya kepanjangan itu kalimatnya kalau disambung sama yang "jam dinding raksasa", padahal antara dua kalimat tersebut premisnya udah berbeda.

2. “Mau dong,” Ellen menyendokan satu sendok nasi goreng ke mulutnya, dia mengunyah dengan lahap, nampak sangat menikmati nasi goreng buatan Mama Chiki, “Emmm, enak banget Chik. Mama kamu hebat banget. Terimakasih ya. Aku sekarang mau makan bekal aku deh.” Chiki pun membuka bungkus roti miliknya.

Koreksi: Bagian itu harusnya "Ellen pun membuka bungkus roti miliknya."
Dan kenapa di awal disebutkan roti cokelat, padahal pas Ellen buka itu roti stroberi? Apakah Ellen tahu itu isinya apa sehingga dia menyebut roti cokelat padahal roti stroberi? Hehe. Ini cuma masalah logical fallacy doang sih, nggak serius. Tapi buat beberapa pembaca, mungkin bisa dianggap serius. :D

3. Papa tidak di Australia, Papa di penjara.

Koreksi: untuk yang ini agak rancu sih hmm. Dipenjara bisa berupa imbuhan di-penjara atau berupa kata tunjuk di penjara. Tapi jika memang mengacu ke kata tunjuk, sebaiknya ditambahkan penjelas, misalnya: Papa tidak di Australia, Papa ada di penjara.

4. Mama menjelaskan kepada Chika, meski dalam hati.

Koreksi: anaknya Chika atau Chiki? :D


***

Semangat menulisnya! :D

Rhoshandhayani KT mengatakan...

Wuah keren kok untuk level cerpen pertama, apalagi temanya anak2, cukup antimainstream siih..

Yang kurang menurutku hmmm... Itu kenapa ada Dio di awal cerita? Kurasa cerita dan ngobrol sama sahabatnya sudah cukup mewakili intro cerpen ini sih
Kurasa begitu

Ditunggu cerpen kedua ya
Semangaaaaat

.dedeph. mengatakan...

nice :) jadi pengen cari inspirasi buat cerepen selanjutnya juga hehehe
-dedeph-

Venessa Allia mengatakan...

Mbak Ani, Mbak Levina, Mbak Rhoshandhayani dan Mbak Dedeph, terimakasih banyaaak. Jadi semangat nulis cerpen lagi :) :)


Dan @Ayu Welirang, thank you so much, ini gue baca ulang dan sadar kalau banyak error nulisnya, hehe, ada yang typo juga. Makasih udah dikoreksi yuuu :)