Jumat, 29 Desember 2017

Cerita Hanya Cerita

Akhirnya saya menulis lagi.
Setelah 2 minggu terakhir buka laptop aja rasanya malaas ampuuun (kecuali untuk aktifitas yang menghasilkan uang, HAHA). Hari ini saya niat keluar rumah, mencari tempat pewe untuk menulis, dan tahukah kawan apa yang terjadi? CHARGER LAPTOP GUE KETINGGALAN. Aseli kesyel! Untung baterai laptop masih penuh. Actually, setelah tadi dipakai untuk respon email penting (#sokpenting), yang mana bales emailnya musti disertai dengan attachment, yang mana lagi bikin attachment-nya teh (oke trilingual) musti mikir-baca-nulis, baterai laptop gue sekarang nyisa 50%.

Okeee, mari kita bercerita dengan sisa baterai yang ada. Karena kalau laptopnya keburu mati, saya berencana mau cabut nonton dan sampai rumah nanti, saya nggak yakin cukup rajin untuk buka laptop lagi.

Sekedar informasi, saat ini saya sedang berada di sebuah tempat cuci mobil di daerah BSD. Di daerah BSD ini saya sudah menemukan 2 tempat cuci mobil yang ada coffee shop-nya. Semuanya ajaaa di kopiin, tempat cuci mobil aja ada tempat ngopinya. Sebenarnya oke sih, jadi bisa nunggu mobil sambil produktif bekerja, ada wi-fi lagi. Tapi harga kopinya sudah 50% harga nyuci mobilnya (kopi kapitalis :p)

Oke jadi sekarang saya mau nulis apa? Plislah Venessa Allia kalau nulis di blog tuh kalau nggak bisa informatif, at least ada maknanyalah saeutik. Jangan rubish-rubish teuing (trilingual, again). Oke oke, sebenarnya ada 2 hal yang muter-muter di kepala saya minta ditulis,

1. Pandangan saya tentang film Ayat-Ayat Cinta 2
2. Baca ulang Harry Potter yang membuat saya semakin ingin menjadi pengajar.

Tentang Ayat-Ayat Cinta 2. Sudah pada nonton filmnya? Awalnya saya tidak ingin nulis review filmnya di blog pribadi karena merasa tidak perlu. Tapi, setelah membaca sebuah review film ini yang sangat viral (ada dua orang teman di dua grup berbeda yang share link-nya), saya jadi latah ingin bikin review juga, dengan sudut pandang yang jikalau tidak bisa disebut objektif (karena konon objektivitas adalah mitos), setidaknya lebih berimbanglah. Review film AAC2 yang viral tersebut dibuat penulis tersebut dengan sangaaat niat dan kocak (aseli kocak, tapi sekaligus jahat juga sih). Yah kritik penonton somehow memang kejam. Review yang ingin saya tulis tidak akan sepanjang dan seniat itu. Mungkin ini hanya short review (mengingat charger laptop ketinggalan juga), tapi semoga lebih halus ya. Ohiya, saya sengaja nggak mau ikut kasih link review film tersebut di sini, nanti artikelnya makin viral (terus gue iri, hahaha).

Saya tidak seantusias itu menantikan film Ayat-Ayat Cinta 2. Buat saya daya tarik film ini adalah Fedi Nuril semata (maapkan dangkalnya otak hamba). Waktu lihat trailernya, hmm biasa aja. Teman saya mengkritik adegan Fahri yang wefie sama Tatjana Saphira yang muncul di trailer, dan hal tersebut membuatnya malas nonton AAC2. Buat saya tidak masalah, selama yang jadi Fahrinya Fedi Nuril (woy!). Saya juga bukan penggemar film AAC1 yang pada saat itu banyak orang bilang filmnya bagus. Saya kurang tertarik dengan premisnya. Nonton filmnya waktu itu juga di TV (dan waktu itu saya belum sesuka itu sama Fedi Nuril-haha). Saya juga nggak baca bukunya, padahal katanya bukunya bagus. Genre cerita seperti AAC memang bukan favorit saya.

Pada akhirnya saya menonton film AAC2 juga karena merasa film ini film MAHAL, jadi nggak ada salahnya ditonton. Syuting di Scotland, pemainnya aktris premium semua (bukan, maksud saya bukan berarti mereka mantan bintang iklan Pertamina, maksud saya mereka aktris-aktris papan atas), dan soundtrack-nya aja dinyanyikan oleh 4 penyanyi mahal juga, sampai dibuatkan konsernya. Pokoknya marketing filmnya gila-gilaan (hormat MD Pictures). Jadi terpengaruh juga ingin nonton. Terus, mama saya juga ngajak nonton film ini. Jadi hayuklah kita nonton. Bareng kakak ipar saya yang sudah 3 tahun lebih nggak nonton bioskop karena sudah ada anak. Jadilah kita nonton bersama.

Saya masuk bioskop tanpa ada ekspektasi apa-apa. Keluar bioskop saya bingung.

Bingung hendak menyimpulkan apakah film ini film yang bagus atau tidak :).

Begini. Tidak ada karya yang sempurna, sepakat? Saya juga tidak bisa mengatakan film ini jelek, karena film ini terlihat digarap dengan niat kok. Pengambilan gambar dan tata musik yang dipakai bagus dan enjoyable. Banyak yang mengkritik penggunaan Bahasa Indonesia padahal ceritanya si Fahri ngajar di Scotland, buat saya itu faktor teknis dan bisa dimaafkan, karena filmnya akan tayang di Indonesia, jadi buat saya nggak masalah kalau beliau pakai Bahasa Indonesia.

Kelebihan film ini ada dari pesan yang ingin dibagi, dan menurut saya itu penting. Saya tipe penikmat film yang menilai lebih faktor "nilai" yang dibagi di film. Satu pesan penting yang saya dapat dari film ini adalah soal niat yang melandasi semua perbuatan baik. Apakah semua kebaikan Fahri selama ini sudah karena Allah, atau semata-mata pelariannya terhadap hilangnya Aisha? Apakah kepergian Aisha ke Gaza adalah murni karena Allah atau karena melarikan diri dari kekecewaannya setelah keguguran? Pesan ini tercermin dari dialog antara Fahri dan Misbah (Arie Untung). Silahkan nonton sendiri ya, saya nggak mau merusak pengalaman orang lain dengan menjadi spoiler. Mengingat ilmu ikhlas dan pasrah adalah memang ilmu tingkat tinggi yang harus dipelajari seumur hidup, pesan ini menurut saya sangat penting dan membuat saya sangat menghargai film ini. Pesan lain dari film ini tentu saja tentang berbuat baik kepada semua orang tanpa terkecuali, tapi rasanya ada banyak film yang cerita soal ini, jadi saya tidak menganggapnya terlalu istimewa.   

Kekurangan terbesar film ini menurut saya cuma satu: mengusik logika penonton :).
Apalagi kalau penontonnya logis perfeksionis :). Saya pernah diajarkan bahwa sefiksi-fiksinya cerita, tentunya ada pola sebab akibat dalam cerita yang perlu diperhatikan. Nah, saya sendiri menangkap ada setidaknya 2 hal besar dalam cerita AAC2 yang saya pertanyakan. Satu, tentang kelogisan solusi di ending (bikin mikir, "hah emang bisa yah kayak gitu?"). Dua, soal plot twist yang sebenarnya bagus dan menguatkan cerita, tapi juga bikin tanda tanya "kok bisa yaaa?" Sorry, penjelasannya rada-rada absurd, soalnya kalau dijelaskan secara gamblang, jadinya malah ngebocorin kisahnya, dan saya nggak mau melakukan itu. Silahkan tonton dan ambil kesimpulan sendiri :). Tapi lalu saya kepikiran, apakah pertanyaan-pertanyaan saya atau penonton lainnya ini tidak terpikir oleh pembuat film atau penulis cerita? Saya rasa mereka sudah memikirkannya juga, jadi pasti mereka punya alasan yang baik dengan membiarkan ceritanya tetap begini.

Hal lain lagi, saya terusik dengan bagian 'debat' Fahri, menurut saya terlalu berlebihan, jadi saya tidak aneh kalau bagian ini dihajar babak belur sama reviewer film di luar sana. Katanya sih bagian debat ini diceritakan lebih seru di bukunya, sayangnya saya tidak baca buku AAC, jadi murni hanya menilai film. Juga karakter Fahri yang luar biasa baik sekali, membuat saya bertanya-tanya adakah manusia di dunia nyata yang punya sifat sebaik itu? Tentunya selain Rasullah SAW. Tapi saya positive thinking, siapa tau memang ada, hanya saya saja yang belum diberi kesempatan untuk kenal orang tersebut. Wallahu a'lam.

Jadi kalau ditanya lagi apakah filmnya bagus, saya nggak bisa end up dengan satu jawaban singkat, saya harus bilang:
- Pemainnya bagus (Dewi Sandra terutama, aktingnya bagus. Dan yaaah faktor pemain utamanya semuanya eye candy gitu, cakep-cakep amaaaat)
- Soundtracknya bagus
- Settingnya bagus (bikin pengen kuliah di luar negeri)
- Pesan filmnya bagus
- Jalan ceritanya masih kurang oke karena ada pola sebab akibat yang tidak terjelaskan.

Saya pribadi jauh lebih suka film Surya Yang Tidak Dirindukan 2 daripada film ini. Karena SYTD2 punya cerita yang menarik, sederhana dan logis, dengan pesan yang dalam dan menyentuh. Tapi saya juga tetap bisa menikmati film AAC2 ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya (terlebih lagi film ini bisa membuat saya bergerak menulis review-nya, saya bohong kalau bilang film ini tidak berkesan).

Satu hal yang pasti film AAC2 ini: LAKU! (Congrats Pak Manoj, tapi lain kali modalin film yang setipe film festival dong pak, kayak Night Bus, saya pengen banget nonton film ini pak tapi filmnya kayaknya kurang promo dan cuma bentar banget di bioskop - curhat kali aja dibaca sama si bapake :p)        

Review ini ingin saya tutup dengan kesadaran bahwa terlepas dari apapun komentar saya tentang film ini, saya masih tidak yakin bahwa saya dapat membuat sebuah cerita yang lebih baik dari cerita AAC ini. Paling enak memang nulis tentang karya orang lain, bisa bebas lepas (in the name of freedom of speech), tapi tetap saja, menurut saya penting untuk menahan diri dari komentar yang menyakiti orang-orang yang sudah susah payah membuat karya. Jadi inget, saya pernah bikin review tentang film (atau sinetron ya, rada lupa) 'Ketika Cinta Bertasbih', tapi tulisannya akhirnya saya hapus karena saya sadar tulisannya kurang baik (lalu beberapa tahun kemudian saya ditakdirkan kenal dengan salah satu pemain filmnya, dan orangnya baiiiik banget, bikin makin nggak enak kalau inget review itu lagi).

Saya pernah coba bikin cerita fiksi dan susah booook (soklah cobain). Saya jadi semakin salut sama siapa pun orang yang sudah berani mempublikasikan karyanya, karena itu membuktikan keberanian mereka. Keberanian dalam menerima sambutan orang lain, positif dan negatif, sambutan netijen ibu peri atau netijen tukang julid, penonton perfeksionis atau yang less-detail-high-tolerance. Siap-siap telen aja komennya (#mentaljuara).

Wow sudah cukup panjang ternyata tulisannya. Baterai laptop masih ada 30% sih tapi saya harus cabut sekarang, hehehe.
Tulisan selanjutnya saya ingin berbagi cerita soal obrolan singkat dengan dosen pembimbing s2 saya dulu dan pengalaman baca ulang Harry Potter 3 yang membuat saya semakin menghargai profesi pengajar.

Terimakasih sudah membaca tulisan saya yang intinya sih cuma ingin cerita, hihi.
Stay positive yaaa.

Salam,
Venessa Allia

P.S. Febuari cepetan datang dooong, pengen mulai kerja lagi (awas aja nanti kalau udah mulai kerja malah begging pengen cuti -__-).

2 comments:

Ayu Welirang mengatakan...

Eh Al, btw nggak boleh ada iklan jualan tauuuuk. Wkwkwk. Nanti dimarahin patroli 1m1c.XD

Nah, menyangkut Fedi Nuril, menurut gue sih dia sekarang lagi mengubah citra gitu. Gue suka banget Fedi Nuril pas jaman Janji Joni sama Garasi, dia kan jadi anak band yang bandel dan sebat mulu gitu. Wkwkwk. Makin ke sini, image dia jadi image 'Ke-bapak-an', kayak di AAC2 dan SYTD2. Di 2 film itu, dia digambarkan baik dan terlalu peduli sama orang lain sampai kadang bikin orang lain salah paham. Ahahaha. Nah terlepas dari hal itu, gue inginnya Fedi Nuril kembali seperti jaman Garasi. :(

*komennya nggak nyambung tapi biarin ya.

Venessa Allia mengatakan...

@Ayu Welirang: Eh nggak boleh ya? huahaha baru tau gue yu. Udah gue delete kok barusan (takut dimarahin patroli :D).

Gue nggak nonton Garasi dong, cupu bgt yah. Jadi baru sukanya sama Bang Fedi yang sekarang. Yaa dia makin mature (dan tua) juga sih, jadi mungkin udah gak cocok sama karakter di Garasi