Jumat, 10 November 2017

Waktu Yang Tepat

Lo percaya nggak sama yang disebut ‘waktu yang tepat’? Gue percaya. 

Tulisan ini akan menjadi tulisan yang cukup panjang. Tapi semoga tidak membuang-buang waktu bagi siapa saja yang sudah sudi mampir (lagi) ke blog ini. Jadi ceritanya gini…

Dari kecil gue suka nulis diary. Tidak konsisten setiap hari atau setiap minggu sih (tuh kan dari kecil gue tuh udah punya masalah sama namanya konsistensi, persistensi, dan istiqomah), tapi kalau ada peristiwa penting dalam hidup gue, misal dibeliin sepatu baru, dikasih coklat sama cowok (anak kecil banyak gayaaa), atau sehabis terima rapot, biasanya peristiwa-peristiwa tersebut akan gue tulis dalam diary. Hobi ini berlanjut sampai gue SMP, tapi entah apa sebabnya berhenti saat SMA. Lalu kemudian saat kuliah, teman gue, Hawa, mengenalkan gue dengan blognya Raditya Dika, hingga akhirnya blog ini menjadi bacaan yang kala itu tidak pernah gue lewatkan. Karena sering baca blog orang, dan terinspirasi dari Hawa yang udah punya blog sendiri, gue pun akhirnya latah bikin blog juga. Blog pertama gue lahir sekitar tahun 2009, judulnya alwayshappyvenesssa.wordpress.com (silahkan dicari, siapa tahu ada yang curious labilnya gue jaman kuliah macam apa, hihihi). Mau tau nggak inspirasi judul blognya gue dapat dari mana? Gue inget dulu pernah ada isu panas soal terbitnya majalah Playboy Indonesia. Edisi pertama majalah tersebut menampilkan Andhara Early dengan headline Always Happy Early. Hahaha entah kenapa menurut gue judul headline-nya keren jadi gue contek sebagai judul blog (judul headline-nya loh yaaa, bukan majalahnya). Adanya blog ini membuat gue resmi melabeli diri sendiri sebagai seorang blogger.

Walaupun waktu kecil gue bukan penulis diary yang konsisten, ternyata di masa-masa awal menulis blog, gue cukup rajin loh. Setelah gue tengok lagi blog lama gue, ternyata selama 14 bulan, gue berhasil mempublikasikan 52 tulisan. Jadi sekitar 3-4 tulisan per bulan, alias hampir seminggu sekali gue nulis. Lumayanlah yaaa (apalagi kalau lihat frekuensi blogging sekarang yang makin… ah sudahlah). Jadi, intinya adalah gue sangat menikmati aktivitas menulis di blog, hingga gue sadar kalau ternyata hobi gue yang sebenarnya adalah menulis, bukan membaca. Dan sebagaimana banyak sekali orang di muka bumi ini yang hobi menulis dan ingin menerbitkan buku, gue pun sama. Menulis buku menjadi salah satu mimpi yang pernah gue tulis di dream board gue pada tahun 2011.

Lalu setelah mimpi itu tertulis, apa yang lantas gue lakukan untuk mewujudkan mimpi itu? Jawabannya adalah.. tidak ada, kecuali nulis di blog kalau lagi ada mood dan ide, tanpa paksaan, tanpa dorongan, semua murni gue lakukan ketika gue ingin. Alhasil yang terjadi adalah konsistensi menulis semakin menurun. Semakin banyak hal yang terjadi dalam hidup gue sehingga gue lupa, malas atau terlalu lelah untuk menulis lagi. Kalau kata penulis favorit gue, Kang Adhitya Mulya, life happens. Selama 6 tahun mimpi menulis buku menjadi mimpi kosong yang tidak pernah serius diikhtiarkan.

Hingga ‘waktu yang tepat’ itu tiba, akhir Agustus lalu. Supaya singkat, gue akan menceritakan kronologi kejadiannya menggunakan diagram alir (ala-ala) sebagai berikut:

Juli 2017 alhamdulillah gue wisuda S2 à Oktober 2017 gue fokus banget nyari kerja, satu bulan itu gue menjalani proses rekrutmen di 3 perusahaan berbeda: 1 BUMN, 1 start-up sociopreneur, 1 perusahaan retail fashion Eropa (yang mana udah gue kecengin dari lama karena perusahaan ini punya sustainability commitment yang serius banget) à Akhir Agustus gue harus menghadapi kenyataan bahwa gue ditolak di ketiga perusahaan tersebut à Gue sedih (of course), tapi gue tahu kalau kejadian seperti ini bukanlah resiko yang tidak terprediksi ketika gue dahulu memutuskan resign, jadi ya sabar aja, sambil berusaha lagià Gue mikir, kalau kegiatan gue cuma fokus apply kerja doang, yang ada gue bakal sinting karena bosan, mau bagaimanapun juga proses rekrutmen itu butuh waktu dan kesabaran à Gue harus mencari kegiatan lainnya à Gue ikutan Mentoring Menulis Online dengan tekad dalam 30 hari naskah buku gue akan jadi.

Yeah, waktunya tiba. Gue punya waktu, energi dan terpenting lagi tekad, untuk mewujudkan sebuah niat baik yang dulu pernah gue tulis.

Sekilas tentang Mentoring Menulis Online (MMO)

Jadi, MMO adalah sebuah program yang dikelola oleh Inspirator Academy, milik Mas Brili Agung (satu lagi orang yang gue ketahui sangat ambisius, in positive way, dengan mimpi luar biasa besar). Program ini menggaransi bahwa setiap mentee akan dapat menyelesaikan naskah bukunya dalam 30 hari, tentu saja jika mentee tersebut mengikuti sistem yang sudah didesain sedemikian rupa. Gue pertama kali denger MMO dari Teh Dian, temen di Siaware, dia berhasil menerbitkan bukunya setelah ikut program ini. Gue beli dan baca bukunya juga. Dari Teh Dian gue tahu kalau ternyata di Indonesia ini ada loh program semacam MMO ini untuk orang-orang yang punya mimpi pengen jadi penulis. Nah, masalahnya informasi soal MMO pertama kali gue dengar ketika gue lagi ribet banget nyelesaiin tesis, jadi saat itu gue cuma simpan infonya dengan label “very nice information”, tanpa ada rencana untuk mengikutinya dalam waktu dekat. Hingga suatu hari gue tahu kalau satu lagi temen gue ikutan MMO: Yosay. Yosay temen gue dari S1 dan masih sering ngobrol sama gue hingga saat ini. Yah emang udah takdir Allah, saat bulan Agustus gue mengalami kepusingan hidup, gue tiba-tiba terpikir untuk ikutan MMO ini. Gue hobi menulis, punya waktu, dan memang ingin bikin buku. Kurang cocok apalagi? Gue langsung chat Yosay dan nanya-nanya soal programnya. Singkat cerita, tanggal 1 September gue mulai kelas pertama gue. Lebih dari itu, gue mulai lembar pertama buku gue. 

Tiga puluh hari kemudian, draft novel ini jadi, walau belum di edit dan revisi. Bukan satu bulan yang mudah. Di satu minggu pertama saja gue sudah kepikiran untuk berhenti karena gue berhadapan pada kondisi yang super tidak nyaman yaitu 'dipaksa menulis'. Apalagi waktu itu kondisinya gue baru bayar DP 50%, jadi ada bisikan setan yang mengatakan "Nggak rugi-rugi amatlaaah, udah keluar ajaa." Ohiya satu lagi, di minggu pertama setiap mentee diminta mendeklarasikan komitmennya dan mengajak sebanyak-banyak orang untuk foto bersama dengan tulisan deklarasi komitmen tersebut, serta mempublikasikannya di media sosial. Duh beneran deh, gue paliiing males melakukan hal seperti itu. Tapi gue tahu tugas tersebut memiliki tujuan baik, jadi akhirnya gue lakukan juga, bahkan abang gojek pun gue ajak foto bersama (haha euweuh talent deui). Nggak tanggung-tanggung gue declare kalau bukunya akan menjadi best seller, padahal saat itu mau bikin cerita yang seperti apa juga gue masih bingung. Yaaa, tapi kalau mimpi kan katanya nggak boleh tanggung-tanggung, jadi silahkan bermimpi besar :). Siapa tau doa ini dikabulkan Allah. 


Gue dan Mama. Mama yang mungkin sering bingung dengan keputusan-keputusan yang gue ambil, tapi selalu merestui <3 .="" td="">

Pada akhirnya gue membulatkan niat mengikuti MMO. Gue sempet solat istikharah dulu loh sebelum membulatkan keputusan, soalnya sempet galau mau lanjut atau nggak (tau sendirilah, labil is my middle name, hihi). Lalu gue merasa diberikan petunjuk ketika setelah satu minggu, gue dipilih menjadi mentee terbaik minggu pertama untuk kategori fiksi. Alhamdulillah, gue jadi lebih percaya diri dan berpikir "Hmm mungkin memang sekarang waktu yang paling tepat untuk mengikuti program ini, yaudah deh terusin aja apapun resikonya."  

Setelah 30 hari masa penyelesaian naskah, gue masuk ke tahap revisi dan editing. Targetnya adalah naskah akhir selesai sebelum tanggal kunjungan ke penerbit. Kurang lebih 3 minggu waktu yang gue butuhkan untuk ngebut merevisi naskah, termasuk waktu jeda sejenak, nggak buka naskah sama sekali, semata-mata untuk mengendapkan pikiran dan biar tetap waras, hahaha.  

Naskah novel pertama, ciyeeee!

Kayaknya bener deh kalau manusia itu harus hati-hati dengan apapun yang ditulis, karena beneran (seizin Allah) bisa jadi kenyataan, walau mungkin dengan sedikit penyesuaian yang lebih baik menurut Allah. Ini kedua kalinya gue mengalami hal yang seperti itu. Pertama waktu SMA, gue kepengen banget masuk TL ITB. Buku tulis waktu gue kelas 3 SMA, biasanya gue kasih tanda tangan terus gue tulis di bawahnya TL ITB 2007 atau FTSL ITB 2007. Singkat cerita, tahun 2007 gue beneran kuliah di ITB, masuk SITH, sebuah takdir yang amat sangat gue syukuri. Lalu hidup mengalir panjaaaaaang, gue melangkah ke mana-mana dulu hingga akhirnya tahun 2015 gue beneran loh kuliah di TL sebagai mahasiswa S2. Perkara nulis buku ini juga sama. Tahun 2011 gue tulis di dream board bahwa gue ingin menulis buku. Lalu sekali lagi hidup terus berjalan hingga mungkin gue sempat lupa pernah memimpikan hal ini. Butuh waktu lebih dari 6 tahun, hingga akhirnya Oktober 2017, naskah buku gue jadi juga. Mungkin buat siapapun yang mendengar pengalaman ini, rasanya akan biasa aja, tapi bagi gue yang menjalani sendiri, ini adalah hal luar biasa. Rasanya kayak bener-bener merasakan ‘campur tangan’ Tuhan dalam hidup. Yah, Tuhan memang Maha Besar, tidak ada keraguan. Tidak semua orang juga dapat merasakan kemewahan seperti ini, gue sangat beruntung dan harus lebih banyak bersyukur.

Buku ini memang belum pasti diterbitkan oleh penerbit mayor. Program MMO membantu peserta untuk menyelesaikan naskah, tapi perkara naskah tersebut dapat diterbitkan di penerbit mayor atau tidak, itu tergantung penerbit, kekuatan naskah dan niat penulis itu sendiri. Salah satu kelebihan program MMO ini adalah adanya kunjungan ke penerbit sehingga dapat memfasilitasi setiap pesertanya untuk bertemu langsung dengan editor di penerbitan yang besar dan menyerahkan naskahnya secara langsung. Akhir Oktober kemarin, gue kunjungan ke Penerbit Republika yang selama ini sudah menerbitkan buku-buku Tere Liye favorit gue. Kunjungan ini tentunya memperkaya wawasan gue terkait dunia penulisan dan penerbitan. Menurut Mbak Ana sebagai editor naskah fiksi, naskah yang sampai ke mejanya akan mendapat feedback paling lama setelah 3 bulan karena ada banyak sekali naskah yang harus dibaca. Lama banget kan. Tapi untungnya Penerbit Republika tidak keberatan kalau penulis mengirimkan karyanya secara paralel ke penerbit lain, jadi minggu kemarin gue coba kirim juga naskah gue ke penerbit lain. Tapi yaaa tetep aja sih feedbacknya nggak bisa instan. Sabaaaar. Setidaknya gue sudah melakukan porsi gue: berusaha.

Kita lihat 2 bulan lagi ya, kalau pun nggak lolos di penerbit mayor, naskah ini bisa jadi akan gue terbitkan lewat jalur self-publishing. Atau, mungkin gue bagi-bagi saja ceritanya secara sukarela di Wattpad atau Gramedia Writing Project. Yang pasti gue sudah cukup bangga karena berhasil menyelesaikan novel fiksi pertama gue ini, dan berjanji akan menulis lagi. Jika karya ini bisa dibaca banyak orang, apapun bentuknya, gue akan tambah bersyukur.

Ya ampun, waktu tahun 2015 aja ketika review buku Pak Josef Bataona yang gue tulis di blog ini, direspon langsung bahkan direpost oleh Pak Josef di blognya, gue udah seneeng banget. Mungkin setara dengan kebahagiaan pemenang nobel sastra. Apalagi kalau beneran bisa lihat ada buku di rak Gramedia dengan nama penulis Venessa Allia, kayaknya gue bisa pingsan, haha.
Ya sudahlah, saat ini tidak perlu berandai-andai yang berlebihan dulu. Usaha saja terus, sambil dibawa doa, dan biarkan Tuhan membukakan jalan kebaikan. Sebenarnya sih sudah ada 1 orang yang membaca buku ini secara lengkap: Yohanna, seorang teman yang gue kenal di Nutrifood. Dan entah apakah karena anak ini  emang baik hati banget atau emang dia bener-bener suka sama novel gue, tapi responnya terhadap buku ini sangat-sangat membuat gue bahagia, Aaah Thank you Yoooo!

Banyak orang di luar sana yang jago menulis. Banyak banget. Bahkan di sekitar gue sendiri, gue melihat banyak sekali orang yang bisa membuat tulisan yang informatif, menyentuh dan enak dibaca. Tapi menjadi penulis sebesar Andrea Hirata, butuh lebih dari itu. Gue nggak tahu apa yang ada di otak Andrea Hirata hingga dapat menuliskan cerita semenarik novel 'Ayah', tapi gue yakin prosesnya butuh kesabaran dan semangat untuk terus menulis, membaca dan belajar. 

Gue banyak belajar selama 2 bulan terakhir ini. Menyelesaikan sebuah buku, bukan hanya sekedar menyelesaikan sebuah plot cerita. Tapi ada banyak perdebatan dengan diri sendiri, dari mulai memutuskan nilai-nilai apa yang ingin dibagi hingga segala perlawanan mengalahkan rasa lelah dan malas. Tentu saja gue pun tidak ingin membuat sebuah cerita yang sama sekali tidak ada nilai baiknya. Gue nggak mau membuang-buang waktu orang yang sudah bersedia membaca. Apalagi kalau udah membayangkan suatu hari mungkin semua yang gue tulis ini akan diminta pertanggung jawabannya. Heft. Proses selama MMO juga mengajarkan gue untuk menurunkan ego karena harus mau menerima feedback dan kritik. Buat gue ini bukan hal mudah, karena gue bukan orang yang suka dapet feedback, untungnya gue tahu kalau feedback itu baik. Hehehe. Ohiya satu lagi, dan menurut gue ini yang paling penting, beres proyek ini, gue nggak lagi-lagi mau ngatain “buku A jelek, buku B nggak seru atau buku C ceritanya gitu doang.” Gila, dikata gampang apa bikin novel. Susaaah ciiing.

Ah, tuhkan gue mulai sok tahu lagi. Yah anggap saja itu hikmah yang ingin gue bagi J

Novel gue ini judulnya “Cerita Shabira”. Potongan cerita di bawah ini adalah salah satu bagian favorit gue.

Saat gue mematikan laptop, seseorang membuka pintu kamar gue tanpa mengetuk terlebih dahulu. Anak songong berjaket biru itu nongol dari balik pintu.
“Lo bisa nggak sih ngetuk pintu dulu sebelum masuk?” Gue menegur Alta atas kebiasaan buruknya tersebut.
“Hehehe, yaa kalau pintunya nggak dikunci berarti kan lo lagi santai di kamar, ngapain juga gue ngetuk pintu segala.” Alta nyelonong masuk kamar gue lalu duduk di kasur, “Lo habis ngapain ngobrol sama siapa sih? Seru amat kayaknya. Bang Satryo ya?” Gue nggak pernah cerita soal Satryo ke Alta, pasti dia tahu dari Kak Gladys.
“Habis Skype sama Meira. Anak kecil nggak usah sotoy.” Gue memasukan laptop ke tas, lalu menoleh ke arah Alta, “Lo mau ngapain ke kamar gue? Tidur sanaaa!” Malam ini gue sedang tidak ingin berlama-lama ngobrol dengan Alta.
“Gue tidur di kamar lo ya.” Alta seketika mengambil bantal dan tiduran di kasur gue. Gue pun langsung menarik tangannya.
“Iiiih apa-apan lo! Kalau nggak ada yang penting keluar sanaa. Gue capeek!” Alta hanya tersenyum jahil, bangkit berdiri lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.
“Nih buat anak old school yang masih dengerin CD di era digital. Mulai besok pagi, bangun tidur jangan lupa ketawa ya!” Alta melempar sebuah kotak CD berwarna ungu ke atas kasur, lalu meroket keluar kamar secepat ia melesat masuk. Gue mengambil kotak CD tersebut. Alta baru saja memberikan gue sebuah CD dari Maliq & D’Essentials yang berjudul The Beginning of a Beatiful Life. Ada sebuah kertas menempel di baliknya, dihiasi tulisan tangan yang gue kenal.

“If we believe in something, and we just keep on trying, we will survive, we will survive.” (Maliq & D’Essentials)    

P.S.
Udah lama nggak ngobrol sama lo, Kak. Apapun yang terjadi dalam hidup lo, jangan lupa ketawa yah. Alta.

---

Terimakasih yaa sudah membaca. Untuk siapa saja yang berminat ikut MMO, boleh japri gue, atau tinggalkan komen disini. Insya Allah gue bisa bantu J.

Salam,
Venessa Allia

1 comments:

Unknown mengatakan...

Wow, sukses ya kak Veniiiii. Semoga projectnya goal ya. Yah, bakalan susah dong gue minta ttd :p