Lo percaya nggak sama yang disebut ‘waktu yang tepat’? Gue percaya.
Tulisan ini
akan menjadi tulisan yang cukup panjang. Tapi semoga tidak
membuang-buang waktu bagi siapa saja yang sudah sudi mampir (lagi) ke blog ini. Jadi
ceritanya gini…
Dari kecil
gue suka nulis diary. Tidak konsisten setiap hari atau setiap minggu sih
(tuh kan dari kecil gue tuh udah punya masalah sama namanya konsistensi,
persistensi, dan istiqomah), tapi kalau ada peristiwa penting dalam hidup gue,
misal dibeliin sepatu baru, dikasih coklat sama cowok (anak kecil banyak
gayaaa), atau sehabis terima rapot, biasanya peristiwa-peristiwa tersebut akan
gue tulis dalam diary. Hobi ini berlanjut sampai gue SMP, tapi entah apa sebabnya
berhenti saat SMA. Lalu kemudian saat kuliah, teman gue, Hawa, mengenalkan gue
dengan blognya Raditya Dika, hingga akhirnya blog ini menjadi bacaan yang kala itu
tidak pernah gue lewatkan. Karena sering baca blog orang, dan terinspirasi dari
Hawa yang udah punya blog sendiri, gue pun akhirnya latah bikin blog juga. Blog pertama gue lahir sekitar tahun 2009, judulnya alwayshappyvenesssa.wordpress.com (silahkan dicari, siapa tahu ada yang curious labilnya gue jaman kuliah macam apa, hihihi). Mau tau nggak inspirasi judul blognya gue
dapat dari mana? Gue inget dulu pernah ada isu panas soal terbitnya majalah
Playboy Indonesia. Edisi pertama majalah tersebut menampilkan Andhara Early dengan headline Always Happy Early.
Hahaha entah kenapa menurut gue judul headline-nya keren jadi gue contek sebagai judul blog (judul headline-nya loh
yaaa, bukan majalahnya). Adanya blog ini membuat gue resmi melabeli diri sendiri
sebagai seorang blogger.
Walaupun
waktu kecil gue bukan penulis diary yang konsisten, ternyata di masa-masa awal
menulis blog, gue cukup rajin loh. Setelah gue tengok lagi blog lama gue,
ternyata selama 14 bulan, gue berhasil mempublikasikan 52 tulisan. Jadi
sekitar 3-4 tulisan per bulan, alias hampir seminggu sekali gue nulis.
Lumayanlah yaaa (apalagi kalau lihat frekuensi blogging sekarang yang makin… ah
sudahlah). Jadi, intinya adalah gue sangat menikmati
aktivitas menulis di blog, hingga gue sadar kalau ternyata hobi gue yang sebenarnya
adalah menulis, bukan membaca. Dan sebagaimana banyak sekali orang di muka bumi
ini yang hobi menulis dan ingin menerbitkan buku, gue pun
sama. Menulis buku menjadi salah satu mimpi yang pernah gue tulis di dream
board gue pada tahun 2011.
Lalu setelah mimpi itu tertulis, apa
yang lantas gue lakukan untuk mewujudkan mimpi itu? Jawabannya adalah.. tidak
ada, kecuali nulis di blog kalau lagi ada mood dan ide, tanpa paksaan, tanpa
dorongan, semua murni gue lakukan ketika gue ingin. Alhasil yang
terjadi adalah konsistensi menulis semakin menurun. Semakin banyak hal yang terjadi dalam hidup gue sehingga gue lupa, malas atau terlalu lelah untuk menulis lagi. Kalau kata penulis favorit gue, Kang Adhitya Mulya, life happens. Selama 6 tahun mimpi menulis buku menjadi mimpi kosong yang tidak pernah serius diikhtiarkan.
Hingga ‘waktu yang tepat’
itu tiba, akhir Agustus lalu. Supaya singkat, gue akan menceritakan kronologi kejadiannya menggunakan diagram alir (ala-ala) sebagai berikut:
Juli 2017 alhamdulillah
gue wisuda S2 à Oktober 2017 gue fokus banget nyari kerja, satu bulan itu
gue menjalani proses rekrutmen di 3 perusahaan berbeda: 1 BUMN, 1 start-up
sociopreneur, 1 perusahaan retail fashion Eropa (yang mana udah gue kecengin
dari lama karena perusahaan ini punya sustainability commitment yang serius
banget) à Akhir Agustus gue harus menghadapi
kenyataan bahwa gue ditolak di ketiga perusahaan tersebut à Gue sedih (of course), tapi gue tahu
kalau kejadian seperti ini bukanlah resiko yang tidak terprediksi ketika gue dahulu memutuskan resign,
jadi ya sabar aja, sambil berusaha lagià Gue mikir, kalau kegiatan gue cuma
fokus apply kerja doang, yang ada gue bakal sinting karena bosan, mau bagaimanapun juga
proses rekrutmen itu butuh waktu dan kesabaran à Gue harus mencari kegiatan lainnya à Gue ikutan Mentoring Menulis Online
dengan tekad dalam 30 hari naskah buku gue akan jadi.
Yeah,
waktunya tiba. Gue punya waktu, energi dan terpenting lagi tekad, untuk mewujudkan sebuah niat baik yang dulu pernah gue tulis.
Sekilas tentang Mentoring Menulis Online (MMO)
Jadi, MMO adalah sebuah program yang dikelola oleh
Inspirator Academy, milik Mas Brili Agung (satu lagi orang yang gue ketahui
sangat ambisius, in positive way, dengan mimpi luar biasa besar). Program ini
menggaransi bahwa setiap mentee akan dapat menyelesaikan naskah bukunya dalam
30 hari, tentu saja jika mentee tersebut mengikuti sistem yang sudah didesain
sedemikian rupa. Gue pertama kali denger MMO dari Teh Dian, temen di Siaware,
dia berhasil menerbitkan bukunya setelah ikut program ini. Gue beli dan baca
bukunya juga. Dari Teh Dian gue tahu kalau ternyata di Indonesia ini ada loh
program semacam MMO ini untuk orang-orang yang punya mimpi pengen jadi penulis.
Nah, masalahnya informasi soal MMO pertama kali gue dengar ketika gue lagi
ribet banget nyelesaiin tesis, jadi saat itu gue cuma simpan infonya dengan
label “very nice information”, tanpa ada rencana untuk mengikutinya dalam waktu
dekat. Hingga suatu
hari gue tahu kalau satu lagi temen gue ikutan MMO: Yosay. Yosay temen gue
dari S1 dan masih sering ngobrol sama gue hingga saat ini. Yah emang udah
takdir Allah, saat bulan Agustus gue mengalami kepusingan hidup, gue tiba-tiba
terpikir untuk ikutan MMO ini. Gue hobi menulis, punya waktu, dan memang ingin
bikin buku. Kurang cocok apalagi? Gue langsung chat Yosay dan nanya-nanya soal
programnya. Singkat cerita, tanggal 1 September gue mulai kelas pertama gue.
Lebih dari itu, gue mulai lembar pertama buku gue.
Tiga puluh hari
kemudian, draft novel ini jadi, walau belum di edit dan revisi. Bukan satu bulan yang mudah. Di satu minggu pertama saja gue sudah kepikiran untuk berhenti karena gue berhadapan pada kondisi yang super tidak nyaman yaitu 'dipaksa menulis'. Apalagi waktu itu kondisinya gue baru bayar DP 50%, jadi ada bisikan setan yang mengatakan "Nggak rugi-rugi amatlaaah, udah keluar ajaa." Ohiya satu lagi, di minggu pertama setiap mentee diminta mendeklarasikan komitmennya dan mengajak sebanyak-banyak orang untuk foto bersama dengan tulisan deklarasi komitmen tersebut, serta mempublikasikannya di media sosial. Duh beneran deh, gue paliiing males melakukan hal seperti itu. Tapi gue tahu tugas tersebut memiliki tujuan baik, jadi akhirnya gue lakukan juga, bahkan abang gojek pun gue ajak foto bersama (haha euweuh talent deui). Nggak tanggung-tanggung gue declare kalau bukunya akan menjadi best seller, padahal saat itu mau bikin cerita yang seperti apa juga gue masih bingung. Yaaa, tapi kalau mimpi kan katanya nggak boleh tanggung-tanggung, jadi silahkan bermimpi besar :). Siapa tau doa ini dikabulkan Allah.
Pada akhirnya gue membulatkan niat mengikuti MMO. Gue sempet solat istikharah dulu loh sebelum membulatkan keputusan, soalnya sempet galau mau lanjut atau nggak (tau sendirilah, labil is my middle name, hihi). Lalu gue merasa diberikan petunjuk ketika setelah satu minggu, gue dipilih menjadi mentee terbaik minggu pertama untuk kategori fiksi. Alhamdulillah, gue jadi lebih percaya diri dan berpikir "Hmm mungkin memang sekarang waktu yang paling tepat untuk mengikuti program ini, yaudah deh terusin aja apapun resikonya."
Setelah 30 hari masa penyelesaian naskah, gue masuk ke tahap revisi dan editing. Targetnya adalah naskah akhir selesai sebelum tanggal kunjungan ke penerbit. Kurang lebih 3 minggu waktu yang gue butuhkan untuk ngebut merevisi naskah, termasuk waktu jeda sejenak, nggak buka naskah sama sekali, semata-mata untuk mengendapkan pikiran dan biar tetap waras, hahaha.
Gue dan Mama. Mama yang mungkin sering bingung dengan keputusan-keputusan yang gue ambil, tapi selalu merestui <3 .="" td="">3> |
Pada akhirnya gue membulatkan niat mengikuti MMO. Gue sempet solat istikharah dulu loh sebelum membulatkan keputusan, soalnya sempet galau mau lanjut atau nggak (tau sendirilah, labil is my middle name, hihi). Lalu gue merasa diberikan petunjuk ketika setelah satu minggu, gue dipilih menjadi mentee terbaik minggu pertama untuk kategori fiksi. Alhamdulillah, gue jadi lebih percaya diri dan berpikir "Hmm mungkin memang sekarang waktu yang paling tepat untuk mengikuti program ini, yaudah deh terusin aja apapun resikonya."
Setelah 30 hari masa penyelesaian naskah, gue masuk ke tahap revisi dan editing. Targetnya adalah naskah akhir selesai sebelum tanggal kunjungan ke penerbit. Kurang lebih 3 minggu waktu yang gue butuhkan untuk ngebut merevisi naskah, termasuk waktu jeda sejenak, nggak buka naskah sama sekali, semata-mata untuk mengendapkan pikiran dan biar tetap waras, hahaha.
Naskah novel pertama, ciyeeee! |
Kayaknya bener deh kalau manusia itu harus hati-hati dengan
apapun yang ditulis, karena beneran (seizin Allah) bisa jadi kenyataan, walau
mungkin dengan sedikit penyesuaian yang lebih baik menurut Allah. Ini kedua
kalinya gue mengalami hal yang seperti itu. Pertama waktu SMA, gue kepengen banget masuk TL
ITB. Buku tulis waktu gue kelas 3 SMA, biasanya gue kasih tanda tangan terus gue tulis di bawahnya TL ITB 2007 atau FTSL ITB 2007. Singkat cerita,
tahun 2007 gue beneran kuliah di ITB, masuk SITH, sebuah takdir yang amat sangat gue syukuri. Lalu hidup mengalir panjaaaaaang, gue melangkah ke mana-mana dulu hingga akhirnya tahun 2015 gue beneran
loh kuliah di TL sebagai mahasiswa S2. Perkara nulis buku ini juga sama. Tahun 2011 gue tulis di dream board bahwa gue ingin menulis buku. Lalu sekali lagi hidup terus berjalan hingga mungkin gue sempat lupa pernah memimpikan hal ini. Butuh waktu lebih dari 6 tahun, hingga akhirnya Oktober 2017, naskah buku gue jadi juga. Mungkin buat siapapun yang mendengar pengalaman ini, rasanya akan biasa aja, tapi bagi gue yang menjalani sendiri, ini adalah hal luar biasa. Rasanya kayak bener-bener
merasakan ‘campur tangan’ Tuhan dalam hidup. Yah, Tuhan memang Maha Besar, tidak ada keraguan. Tidak semua orang juga dapat merasakan kemewahan seperti ini, gue sangat beruntung dan harus lebih banyak bersyukur.
Buku ini
memang belum pasti diterbitkan oleh penerbit mayor. Program MMO membantu peserta untuk menyelesaikan naskah, tapi perkara naskah tersebut dapat diterbitkan di penerbit mayor atau tidak, itu tergantung penerbit, kekuatan naskah dan niat penulis itu sendiri. Salah satu kelebihan program MMO ini adalah adanya kunjungan ke penerbit sehingga dapat memfasilitasi setiap pesertanya untuk bertemu langsung dengan editor di penerbitan yang besar dan menyerahkan naskahnya secara langsung. Akhir Oktober kemarin, gue kunjungan ke Penerbit Republika yang selama ini sudah menerbitkan buku-buku Tere Liye favorit gue. Kunjungan ini tentunya memperkaya wawasan gue terkait dunia penulisan dan penerbitan. Menurut Mbak Ana sebagai editor naskah fiksi, naskah yang sampai ke mejanya akan mendapat feedback
paling lama setelah 3 bulan karena ada banyak sekali naskah yang harus dibaca.
Lama banget kan. Tapi untungnya Penerbit Republika tidak keberatan kalau
penulis mengirimkan karyanya secara paralel ke penerbit lain, jadi minggu
kemarin gue coba kirim juga naskah gue ke penerbit lain. Tapi yaaa tetep aja
sih feedbacknya nggak bisa instan. Sabaaaar. Setidaknya gue sudah melakukan
porsi gue: berusaha.
Kita lihat 2
bulan lagi ya, kalau pun nggak lolos di penerbit mayor, naskah ini bisa jadi akan
gue terbitkan lewat jalur self-publishing. Atau, mungkin gue bagi-bagi saja
ceritanya secara sukarela di Wattpad atau Gramedia Writing Project. Yang pasti
gue sudah cukup bangga karena berhasil menyelesaikan novel fiksi pertama gue
ini, dan berjanji akan menulis lagi. Jika karya ini bisa dibaca banyak orang, apapun bentuknya, gue akan tambah
bersyukur.
Ya ampun,
waktu tahun 2015 aja ketika review buku Pak Josef Bataona yang gue tulis di
blog ini, direspon langsung bahkan direpost oleh Pak Josef di blognya, gue
udah seneeng banget. Mungkin setara dengan kebahagiaan pemenang nobel sastra.
Apalagi kalau beneran bisa lihat ada buku di rak Gramedia dengan nama penulis
Venessa Allia, kayaknya gue bisa pingsan, haha.
Ya sudahlah,
saat ini tidak perlu berandai-andai yang berlebihan dulu. Usaha saja terus, sambil dibawa doa, dan biarkan Tuhan membukakan jalan kebaikan. Sebenarnya sih sudah ada 1 orang yang membaca buku ini secara lengkap: Yohanna, seorang teman
yang gue kenal di Nutrifood. Dan entah apakah karena anak ini emang baik hati banget atau emang dia
bener-bener suka sama novel gue, tapi responnya terhadap buku ini sangat-sangat
membuat gue bahagia, Aaah Thank you Yoooo!
Banyak orang
di luar sana yang jago menulis. Banyak banget. Bahkan di sekitar gue sendiri,
gue melihat banyak sekali orang yang bisa membuat tulisan yang informatif, menyentuh dan enak dibaca. Tapi
menjadi penulis sebesar Andrea Hirata, butuh lebih dari itu. Gue nggak tahu apa yang ada di otak Andrea Hirata hingga dapat menuliskan cerita semenarik novel 'Ayah', tapi gue yakin prosesnya butuh kesabaran dan semangat untuk terus menulis, membaca dan belajar.
Gue banyak belajar
selama 2 bulan terakhir ini. Menyelesaikan sebuah buku, bukan hanya sekedar
menyelesaikan sebuah plot cerita. Tapi ada banyak perdebatan dengan diri
sendiri, dari mulai memutuskan nilai-nilai apa yang ingin dibagi hingga segala
perlawanan mengalahkan rasa lelah dan malas. Tentu saja gue pun tidak ingin
membuat sebuah cerita yang sama sekali tidak ada nilai baiknya. Gue nggak mau
membuang-buang waktu orang yang sudah bersedia membaca. Apalagi kalau udah
membayangkan suatu hari mungkin semua yang gue tulis ini akan diminta
pertanggung jawabannya. Heft. Proses selama MMO juga mengajarkan gue untuk
menurunkan ego karena harus mau menerima feedback dan kritik. Buat gue ini
bukan hal mudah, karena gue bukan orang yang suka dapet feedback, untungnya gue
tahu kalau feedback itu baik. Hehehe. Ohiya satu lagi, dan menurut gue ini yang
paling penting, beres proyek ini, gue nggak lagi-lagi mau ngatain “buku A
jelek, buku B nggak seru atau buku C ceritanya gitu doang.” Gila, dikata
gampang apa bikin novel. Susaaah ciiing.
Ah, tuhkan
gue mulai sok tahu lagi. Yah anggap saja itu hikmah yang ingin gue bagi J
Novel gue ini judulnya “Cerita Shabira”. Potongan cerita di bawah ini adalah salah satu bagian
favorit gue.
Saat gue mematikan laptop, seseorang
membuka pintu kamar gue tanpa mengetuk terlebih dahulu. Anak songong berjaket
biru itu nongol dari balik pintu.
“Lo bisa nggak sih ngetuk pintu dulu
sebelum masuk?” Gue menegur Alta atas kebiasaan buruknya tersebut.
“Hehehe, yaa kalau pintunya nggak
dikunci berarti kan lo lagi santai di kamar, ngapain juga gue ngetuk pintu
segala.” Alta nyelonong masuk kamar gue lalu duduk di kasur, “Lo habis ngapain
ngobrol sama siapa sih? Seru amat kayaknya. Bang Satryo ya?” Gue nggak pernah
cerita soal Satryo ke Alta, pasti dia tahu dari Kak Gladys.
“Habis Skype sama Meira. Anak kecil
nggak usah sotoy.” Gue memasukan laptop ke tas, lalu menoleh ke arah Alta, “Lo
mau ngapain ke kamar gue? Tidur sanaaa!” Malam ini gue sedang tidak ingin
berlama-lama ngobrol dengan Alta.
“Gue tidur di kamar lo ya.” Alta
seketika mengambil bantal dan tiduran di kasur gue. Gue pun langsung menarik
tangannya.
“Iiiih apa-apan lo! Kalau nggak ada
yang penting keluar sanaa. Gue capeek!” Alta hanya tersenyum jahil, bangkit
berdiri lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.
“Nih buat anak old school yang masih dengerin CD di era digital. Mulai besok pagi,
bangun tidur jangan lupa ketawa ya!” Alta melempar sebuah kotak CD berwarna
ungu ke atas kasur, lalu meroket keluar kamar secepat ia melesat masuk. Gue
mengambil kotak CD tersebut. Alta baru saja memberikan gue sebuah CD dari Maliq
& D’Essentials yang berjudul The Beginning of a Beatiful Life. Ada sebuah
kertas menempel di baliknya, dihiasi tulisan tangan yang gue kenal.
“If we believe in something, and we just keep on trying, we will
survive, we will survive.” (Maliq & D’Essentials)
P.S.
Udah lama nggak ngobrol sama lo, Kak. Apapun yang terjadi dalam
hidup lo, jangan lupa ketawa yah. Alta.
---
Terimakasih
yaa sudah membaca. Untuk siapa saja yang berminat ikut MMO, boleh japri gue, atau tinggalkan komen disini. Insya Allah gue bisa bantu J.
Salam,
Venessa Allia
1 comments:
Wow, sukses ya kak Veniiiii. Semoga projectnya goal ya. Yah, bakalan susah dong gue minta ttd :p
Posting Komentar