Kamis, 12 Januari 2012

Balada Kereta Ekonomi

Kalau ngerasa kurang rezeki, naik kereta ekonomi Serpong-Tanah Abang deh, seharusnya itu cukup menyadarkan utk lebih bersyukur. (@venessaallia)

Hari ini Mama pengen ngajarin gw dan Resa (sepupu gw) caranya naik kereta api dari stasiun Rawabuntu. Gw sendiri udah lamaaa banget gak naik kereta dalam kota. Seinget gw terakhir naik kereta api dalam kota itu waktu SMP. Padahal skill naik kereta menurut nyokap akan sangat berguna. Kata nyokap, kalau ke Jakarta lebih gampang dan efisien naik kereta, jarak tempuhnya jauh dan tidak akan kena macet. Gw sendiri cukup setuju, karena kereta api adalah mass public transportation yang efektif banget mengurangi macet. Lihat negara-negara maju, mereka punya sistem kereta subway yang sangat baik sehinga tidak ada lagi kemacetan di atas tanah separah yang terjadi di Jakarta. Jadilah hari ini kami bertiga ngebolang bersama naik kereta.

Rencana siang itu, kami ingin pergi ke Grand Indonesia menggunakan commuter line jurusan Serpong-Tanah Abang. Gw banyak mendengar komentar positif tentang commuter line ini sehingga gw pun tertarik untuk menggunakannya. Tapi sampai di loket dan melihat jadwal, kalau mau naik commuter line, kita masih harus nunggu 1 jam lagi, sementara kerepa api Serpong-Tanah Abang kelas ekonomi dijadwalkan akan tiba dalam 20 menit. Menurut nyokap sih kalau jam segitu (jam 11an) kereta api ekonomi nggak akan terlalu penuh, yaa masih bisa duduklah. Gw juga males kalau belum apa-apa harus menunggu 1 jam. Jadi rencana berubah, gw, nyokap dan Resa akan ke Tanah Abang menggunakan kereta api ekonomi. Harga karcisnya murah banget, cuma Rp 1500/orang.

Kereta tiba pada waktunya. Gw, nyokap, Resa naik tanpa harus desek-desekan, bisa langsung duduk pula. Kita bertiga naik di gerbong khusus wanita (yang tetep masih ada aja cowoknya -__-). Tidak lama berhenti, kereta pun jalan lagi. Walaupun ini kali kedua gw naik kereta dalam kota, tapi gw menganggap ini adalah kali pertama gw naik kereta dalam kota. Kenapa? Karena gw sudah tidak dapat lagi mengingat pengalaman pertama gw naik kereta api ini waktu SMP dulu.
Pelajaran ini pun gw dapatkan di dalam kereta

Ada macam-macam orang dalam kereta api ekonomi, tapi gw bisa pastikan rata-rata isi kereta ini adalah golongan menengah ke bawah, yah secara harga karcisnya cuma Rp1500/orang.
Gw memperhatikan rupa-rupa barang yang di jual diatas kereta dengan harga sangat murah: ikat pinggang, pulpen yang juga bisa jadi senter, salak, sabut cuci piring, pempek dengan kuah asam yang ditampung di dirigen udah macam minyak tanah, rupa-rupa aksesoris perempuan, kacang goreng (dengan cara menjual, si kacang di lempar ke pangkuan penumpang sambil bilang "kacang seribu seribu seribu", lalu tidak lama sang penjual menagih uang kepada si penumpang jika ia ingin kacang tersebut, atau mengambil kacang itu kembali jika penumpang tidak bersedia membeli).
Tapi yang paling bikin perasaan gw gak enak adalah melihat seorang laki-laki menggunakan tangannya membersihkan lantai kereta, berjalan jongkok menyusuri satu gerbong ke gerbong lainnya, lalu mengiba ke penumpang supaya dia dibayar seikhlasnya. Melihat pekerjaan seperti itu, orang-orang pun pasti terenyuh. Mungkin laki-laki ini menyadari, apa yang dia lakukan menimbulkan rasa kasihan sehingga cara ini efektif untuk mencari uang. Padahal gw merasa laki-laki itu masih cukup sehat dan muda. Seharusnya dia bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak. Entahlah, mungkin dia mendapat cukup uang untuk hidup dengan cara seperti ini. Atau mungkin sebenarnya dia ingin pekerjaan lain tapi tidak punya pilihan. Gw bener-bener gak tau. Yang pasti sedih banget melihat seorang manusia yang harus mendapatkan uang dengan cara seperti itu.

Saat itu gw sadar, gerbong kereta ekonomi ini menyimpan banyak sekali realita kehidupan masyarakat Indonesia kelas bawah. Kereta ini saksi perjuangan para manusia yang berusaha mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Laki-laki itu hanya satu contoh. Pedagang-pedagang yang menawarkan barang-barang dengan harga murah meriah adalah contoh kedua. Entah berapa rupiah pendapatan mereka setiap harinya. Belum lagi nasib pemeriksa karcis kereta. Juga penumpang-penumpang kereta yang wajahnya menyimpan kelelahan.

Saat itu gw sadar dan saat itu pula gw bersyukur. Betapa nikmatnya hidup gw selama ini. Betapa melimpahnya rezeki yang Allah berikan kepada keluarga gw. Gw berpikir, kereta ekonomi ini adalah sarana yang sangat efektif untuk mengingatkan orang-orang yang lebih beruntung untuk senantiasa bersyukur atas berkah yang dimilikinya. Makanya kalau ngerasa kurang rezeki, kurang bahagia, pokoknya ngerasa kurang terus, coba deh naik kereta api ekonomi, seperti yang tidak sengaja gw lakukan hari ini. Gw pikir seharusnya pemandangan di dalamnya bisa cukup mengingatkan bahwa masih banyak orang yang jauh lebih menderita dari kita.

Sesampainya di Tanah Abang, gw naik bajaj sama Mama dan Resa. Bajaj ini adalah realita sosial yang lain lagi. Bagaimana alat transportasi ini sebenarnya sangat layak di non-aktifkan karena suaranya yang berisik dan menimbulkan polusi, belum lagi getarannya yang membuat penumpang tidak nyaman. Tapi tentu saja memusnahkan bajaj bukan hal yang sederhana. Mau jadi apa para supir bajaj ini tanpa bajaj-bajaj mereka. Tanpa solusi yang jelas, efek pemusnahan bajaj bisa menimbulkan masalah baru yang panjang. Gw sendiri sebenarnya cukup fun naik bajaj, maklumlah lama di Bandung, katro, di Bandung nggak ada bajaj, jadi jarang-jarang naik kendaraan ini.

Setelah apa yang gw lihat di kereta ekonomi tadi, melihat Grand Indonesia jadi gak napsu sama sekali. Kok jomplang banget ya. Tembok-tembok Grand Indonesia ini menyimpan realita masyarakat Indonesia yang sungguh berbeda. Kalau pemandangan di kereta ekonomi mengiris hati, maka pemandangan di GI mengiritasi mata.

Yah, itulah negeriku, ada gap yang sangat besar, yang memisahkan rakyatnya. Yang kaya, kaya banget, yang miskin (nyaris) gak ketolong lagi.


Salam,

Venessa Allia


2 comments:

Annisa Maulida mengatakan...

Huhu makanana sehari2 banget gw sama kereta. miris yah GI dan Gerbong kereta api ekonomi :(

Penjelajah Malam mengatakan...

realita yang bisa macu kita untuk lebih baik