Kamis, 09 Mei 2013

Bicara Itu Diam


Apakah memang semakin banyak orang yang lupa bahwa berani bicara dan mengendalikan diri untuk diam itu sama pentingnya.


Berapa orang yang baca blog gw dan menyadari kalau media massa saat ini 100 kali lebih bawel dari biasanya? Rasanya semua orang di TV bicara, lebih-lebih mereka bicara dan merasa diri mereka yang paling benar. Sebuat attitude yang sangat tidak gw sukai. Itulah sebabnya gw paling males nonton Indonesia Lawyers Club karena menurut gw acara tersebut hanya memunculkan suatu masalah lalu sepanjang durasi heboh meributkannya tanpa berujung pada satu solusi atau sebuah kesimpulan yang konstruktif.

Belum lagi dunia saat ini dipenuhi media-media sosial. Bicara jadi semakin mudah saja. Twitter untungnya punya sistem follow-unfollow yang menyederhanakan masalah. Suka dengan apa yg dibicarakan, silahkan follow, jika tidak suka maka nggak perlu ribut-ribut, silahkan klik unfollow maka selesai masalah.

Dulu (dulu itu artinya kisarah tahun 2007-2011), gw kuliah diantara banyaaaak sekali orang yang gemar berbicara. Cukup banyak diantaranya yang kalau bicara bahasanya dewa. Beberapa orang dari mereka gw kagumi karena gw menangkap adanya kebenaran dari apa yang dibicarakan, juga adanya kerendahan hati untuk tidak sekedar yakin terhadap apa yang dikatakan tapi juga tetap terbuka untuk menahan diri dan mendengar.  Tapi ada juga diantara manusia-manusia vokal ini yang bicara hanya untuk meningkatkan eksistensi, terlebih lagi yang keras kepala dengan pendapatnya atau yang ketika bicara menerkam orang lain.

Sebenarnya apa intinya gw menuliskan ini semua?
Gw ingin berbagi atau lebih tepatnya menyebarkan pemahaman yang gw yakini saat ini bahwa pada dasarnya keberanian untuk bicara itu tidak lebih penting dari kesanggupan untuk menahan lisan supaya tetap diam. Keduanya sama pentingnya. Berani bicara itu artinya sanggup juga untuk diam. Karena ketika semua orang hanya berani bicara dan tidak sanggup untuk diam, maka semua orang akan bicara dan tidak akan ada lagi yang mendengarkan. Kalau sudah seperti itu lalu apa gunanya manusia bicara?

Orang yang tidak sanggup untuk diam, maka dipastikan dia tidak bisa dipercayai karena bagai ember dia pasti bocor banget.
Orang yang tidak sanggup diam, maka akan banyak sekali bicara, sehingga peluang dia untuk menyakiti orang lain dengan lisannya akan semakin besar.
Orang yang tidak sanggup diam, juga akan penuh kebohongan dan keraguan, karena mereka hanya akan banyak bicara tanpa mengkonfirmasi apa yang dikatakan.
Orang yang tidak sanggup diam, juga biasanya sulit mendengarkan, maka dia akan selalu merasa yang paling benar tanpa mau repot-repot memikirkan pendapat orang lain.

Ketika menulis ini, gw berdoa dalam hati supaya gw tidak menjadi manusia yang keberanian bicaranya lebih besar daripada kesanggupan menahan lisannya. Gw sadari selama ini gw adalah orang yang hanya akan bicara ketika gw merasa ada hal penting yang memang harus disampaikan. Gw pun bersyukur karena gw terbiasa untuk menyampaikan pendapat dengan penuh keterbukaan karena gw yakin bahwa kebenaran itu tidak ada yang mutlak dan ada sangat banyak kerelatifan di dunia ini. Ketika orang-orang di sekitar gw sudah mengambil peran sebagai pembicara, maka gw akan dengan sendirinya mengambil peran sebagai pendengar, karena gw merasa kalau semua orang bicara maka siapa yang bisa mendengar. Dan gw sudah beberapa kali mendapat pengalaman tidak mengenakan dari kespontanan untuk bicara tanpa dipikir, sehingga semakin dewasa gw berusaha untuk selalu memikirkan apa yang hendak gw bicarakan karena sungguh gw tidak pernah mau menyakiti orang lain.

Jadi silahkan bicara, tapi jangan lupa diam ya.

Omong-omong menulis adalah bentuk lain dari bicara.
Tapi menulis membuat kita meninggalkan jejak-jejak kalimat yang bisa dihapus atau diedit ketika kita menyadari apa yang kita sampaikan tidaklah baik atau benar.


Salam,
Venessa Allia

0 comments: