Senin, 13 September 2010

Tribute to Abak

Moment Idul Fitri memang waktu yang paling tepat untuk bicara tentang keluarga. Inilah waktu dimana suatu keluarga besar bisa berkumpul bersama, mempererat silaturahmi, saling bertanya kabar dan menyampaikan berita. Seperti dua tahun sebelumnya, Idul Fitri tahun ini aku rayakan di Padang, kampung halaman kedua orang tuaku. Sesampainya di Padang, semua nampak sama. Kota ini memang agak lambat perkembangannya. Yah ada sih perbedaan kecil, seperti sekarang di Padang sudah ada J.Co dan Bread Talk, tapi selebihnya sama. Perbedaan terasa sesampainya aku di rumah orang tua Papa di Purus (nama suatu jalan di kota Padang). Aku menemukan satu perbedaan besar: Abak.
Abak adalah kakekku. Beliau ayah dari ayahku. Melihat dirinya seperti melihat papa atau melihat om-omku yang lain. Secara definisi, Abak sebenarnya berarti ayah dalam bahasa Minang. Seharusnya kami (saya dan saudara-saudara sepupu) sabagsi generasi ketiga memanggil beliau dengan sebutan kakek. Tapi kami mengikuti para orang tua kami dengan memanggil beliau Abak. Abak hobi membaca. Persis seperti papa. Sudah lama Abak terserang stroke. Sejak tahun kemarin bicaranya menjadi sulit dimengerti. Aku sering sedih apabila Abak mengajakku bicara tapi aku tak mampu memahaminya. Tahun ini kesedihanku bertambah lagi melihat Abak menjadi sangat kurus. Jauh lebih kurus dari terakhir kali aku bertemu beliau. Tahun lalu, saat terakhir aku bertemu Abak, beliau memang sudah stroke, tapi badannya masih berisi. Aku masih melihatnya sebagai orang tua yang sehat. Tapi tahun ini berbeda sekali. Satu tahun telah membuat daging di tubuh Abak habis. Abak sempat kanker prostat. Aku tidak tahu kurusnya Abak disebabkan kankernya atau karena hal lain. Mama bilang itu namanya penyakit hari tua.
Sebagai seorang cucu, aku mungkin bukan cucu berbakti. Tapi aku menyayangi keluargaku. Aku sayang Abak. Aku kagum pada beliau. Beliaulah yang mendidik papa dan papalah yang mendidikku. Papa bisa sukses karena Abak mengajarkannya cara-cara untuk sukses. Kesuksesan dan kesehatan Abak nampaknya memang harus takluk pada usia. Usia yang melemahkan sistem imun tubuh, sehingga penyakit mudah sekali datang. Yah, apapun penyakit yang Allah berikan pada Abak, aku ingin Abak tetap semangat untuk terus mempertahankan hidupnya. Sempat terpikir olehku, mengapa kita yang sudah pasti mati, harus berkorban sedemikian rupa untuk menyembuhkan penyakit yang kita terima, apalagi jika kita sudah tua. Tapi ternyata itu logika yang salah. Aku yakin kita tidak bisa sekedar pasrah pada Tuhan yang memberikan kita penyakit. Berapa pun usia kita, seberapa pun parahnya penyakit yang kita alami, semangat melanjutkan hidup adalah sebuah kewajiban setiap insan bernyawa.
Untuk Abak: Allia ingin Abak tetap samangat. Walaupun Abak sangat kurus dan Allia sering sulit mengerti perkataan Abak, tapi Allia ingin Abak tetap ada. Allia ingin Abak melihat Allia sebagai seorang sarjana. Allia ingin Abak bisa melihat fase-fase kehidupan Allia selanjutnya. Allia ingin Abak sehat. Allia ingin Abak bahagia.

Untuk semua kakek di dunia: Terimakasih telah mendidik ayah-ayah kami menjadi ayah-ayah yang hebat. Terimakasih untuk menjadi kakek yang begitu hebat! Terimakasih! Terimakasih! Terimakasih!

0 comments: